Selasa, Oktober 26, 2010

Tya Setiawati : menampilkan monolog berjudul “Demokrasi” karya Putu Wijaya dalam Mimbar Teater Indonesia (MTI) II

Padang Ekspres, Edisi Minggu 24 Oktober 2010

Oleh : Afrizal Harun


Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tanggal 4-10 Oktober 2010, Taman Budaya Surakarta (TBS) kali ini mengambil tema “Menyoal karya-karya Putu Wijaya”. Terdapat dua puluh delapan penampil monolog dan empat penampil grup teater yang ikut berpartisipasi menjadi peserta dalam iven nasional tersebut seperti Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Teater Lungid (Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), Teater Tanah Air (Jakarta)Teater Cermin (Solo), Herlina Syarifudin (Jakarta), Dalif (Tinambung, Sulbar), Bramanty S. Riyadi (Tegal), Ria Ellysa Mifelsa (Bandung), Putu Satria Kusuma (Singaraja, Bali), Luna Vidya (Makassar), Genthong HAS (Yogyakarta), Anton Y. Kieting (Takengon, Aceh Tengah), Abuy Asmarandana (Samarinda), Wawan Sofwan (Bandung), Tya Setyawati (Padang), Ujang GB (Jakarta), Sih Wahyuning (Semarang), Agus Nur Amal (Jakarta), Nani Tandjung (Jakarta), Syamsul Fajri Nurawat (Mataram), Lingkar Study Teater Palembang (Palembang), Rizaldo Gonzales (Kotabaru, Kalimantan), Boni Avibus (Bandung), Agus Susilo (Medan), Heliana Sinaga (Bandung), Ikranagara (Jakarta), Irwan Jamal (Bandung), Lisa Syahtiani (Jakarta), dan Rita Matumona (Jakarta).
Pembicara seminar dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tersebut adalah Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff (Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin (Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).
Hari ketiga, 6 Oktober 2010 pukul 21.15 WIB di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), setelah pertunjukan “Dam” oleh Wawan Syofwan dari Bandung, Tya Setiawati menampilkan naskah monolog Putu Wijaya berjudul “Demokrasi”. Naskah ini pada dasarnya merupakan kritik Putu Wijaya dalam menyikapi persoalan demokrasi di Indonesia. Kita berada dalam paradigma demokrasi yang salah kaprah, demokrasi hanyalah sebuah jargon atas nama kepentingan oleh segelintir orang yang berkuasa, ambisius, dan hipokrit, demokrasi menjadi sebuah kata yang dekat dengan politik konspirasi. Kata demokrasi dalam perspektif Putu Wijaya hanyalah sebuah wacana belaka, tidak ada implementasi yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai pondasi dalam melihat kepentingan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian mampu dibayar dengan uang dan kekuasaan. Siapa yang terpedaya dengan uang dan kekuasaan atas nama demokrasi, maka demokrasi tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan, demokrasi sudah mati karena kita sendiri yang telah membunuh kata demokrasi tersebut.
Begitulah Tya Setiawati (sebut saja Tya) menampilkan naskah monolog “Demokrasi” karya Putu Wijaya melalui pendekatan sosio-kultur dan dialek vokal yang berirama ke-Jawa-an. Melalui gaya akting yang sedikit komikal, naskah ini mampu dikomunikasikan secara baik oleh Tya. Set dan properti yang minimalis berupa kursi panjang, keranjang, dan kostum ganti yang terdapat di dalam keranjang tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif. Elemen pencahayaan yang ditata oleh Enrico Alamo tidak begitu memilih efek warna secara dominan, hanya beberapa titik pencahayaan yang berfungsi untuk menegaskan pola bloking, suasana dramatik lakon yang sedang dimainkan dan juga berfungsi sebagai batas area permainan.
Kemampuan Tya dalam menjaga ritme permainan, kesadaran terhadap penggunaan set dan properti, bisnis akting, gestur dan caranya menyikapi penonton teater malam itu, penulis sangat mengapresiasinya dengan baik. Walaupun sebenarnya terdapat kecelakaan teknis diawal pertunjukan, hal itu disebabkan oleh operator sound system yang begitu lama dalam mengaktifkan musik digital, sehingga pertunjukan sempat tertunda sekitar tujuh menit. Jelas saja, kecelakan teknis yang disebabkan oleh operator Sound System sangat mengganggu konsentrasi penonton yang akan menyaksikan pertunjukan monolog ini.
Setelah lampu pertunjukan secara perlahan dihidupkan dan musik digital sudah bisa diaktifkan oleh operator sound system, lalu seorang tokoh perempuan (Tya) masuk sambil membawa keranjang ke area panggung, ia menari mengikuti irama musik sambil mengelilingi area permainan. Setelah musik berhenti (fade out), perempuan itu duduk di kursi panjang. Sejenak suasana kembali hening, perempuan itu menatap ke sekeliling penonton, menerawang ke langit-langit gedung pertunjukan, akhirnya ia mengucapkan kalimat “Saya mencintai Demokrasi” dalam dialek Jawa. Sebuah teknik muncul yang sederhana dan biasa namun mampu memberikan daya sugesti yang baik. Penonton telah membangun impresi positif dalam pikirannya terhadap apa yang dilakukan oleh Tya diawal pertunjukan. Persoalan-persoalan dalam pertunjukan mulai digulirkan kehadapan penonton. Tokoh perempuan tersebut menceritakan kalau dia adalah pimpinan demonstrasi RT Gang Gusus Depan. Ia bersama penghuni RT Gugus Depan menolak pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh petugas kelurahan yang telah bekerja sama dengan pimpinan pabrik tekstil di kota itu. Pelebaran jalan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan bersama dan atas nama nilai-nilai demokrasi.
Pelebaran jalan dengan cara memangkas rumah warga yang berukuran enam meter kali empat bertujuan untuk memudahkan akses para buruh pabrik menuju tempat kerja mereka. Hal ini dipahami sebagai bentuk cita-cita demokrasi yang akan membantu masyarakat RT Gugus Depan secara ekonomi. Jalan tersebut akan ramai dilalui, termasuk juga mobil-mobil, bajaj dan kendaran bermotor. Para demonstran tetap melakukan penolakan terhadap eksekusi tanah seluas dua meter tersebut. Petugas kelurahan mengerahkan Buldozer sebagai jawaban atas penolakan warga tersebut, warga terus melakukan perlawanan, walaupun nyawa yang harus menjadi taruhannya, demokrasi harus tetap ditegakkan.
Tokoh Perempuan yang berperan sebagai pimpinan para demonstran akhirnya tidak tega menghadapi situasi yang begitu parah tersebut. Dengan sedikit melakukan pergantian kostum di atas panggung, Ia berniat dan memberanikan diri untuk menemui pimpinan perusahaan tekstil itu sendirian. Berbagai bujukan dan rayuan secara lisan oleh pimpinan perusahan tekstil tersebut tidak mudah menggoyahkan sikap demokrasi yang sudah tertanam dalam dirinya. Namun, ketika uang disodorkan tepat dihadapan matanya, ia mulai bertanya dalam hati “apakah ia benar-benar mencintai demokrasi?” ternyata tidak, perempuan itu telah rapuh, goyah dan terpedaya. Matanya melotot memandang uang dalam amplop yang bertuliskan angka sebesar satu milyar. Kata-kata demokrasi yang selalu ia kumandangkan akhirnya hilang dan lenyap begitu saja waktu itu. Kemudian secara perlahan lampu mulai dipadamkan (fade out) dan penonton bertepuk tangan. Maka selesai sudah pula “Demokrasi” dalam pertunjukan malam itu.
Beberapa pertunjukan yang penulis amati dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, baik penampil grup maupun peserta monolog memiliki keberagaman dalam mencermati konsep pertunjukan dan tafsir terhadap teks-teks naskah drama Putu Wijaya. Keberagaman tersebut tercermin dari kemampuan para performer menyikapi wilayah permainan baik secara indoor maupun outdoor secara cerdas. Benny Yohanes dalam seminar Mimbar Teater Indonesia sempat memberikan ulasan terhadap beberapa pertunjukan yang telah disaksikannya, termasuk pertunjukan monolog “Dam” Wawan Syofwan dan “Demokrasi” Tya Setiawati. Dua pertunjukan ini dalan perspektif Benny Yohannes merupakan suatu usaha dalam mewujudkan akting representasional di atas pentas, pilihan ini tidak bisa dipandang secara sederhana begitu saja. Untuk menjadi seorang aktor yang baik dan mampu diterima oleh masyarakat penontonnya memang membutuhkan proses panjang dalam melatih kemampuan bermain tanpa henti, membina kecerdasan intelektual, emosional, spritual, termasuk juga kecerdasan secara sosial.
Konteks lain, menyangkut penyelenggaraan iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, tetap saja memiliki kekurangan yang cukup signifikan. Afrizal Malna menilai bahwa penyelenggaan iven ini seperti tidak ada persiapan yang matang. Tidak ada foto-foto dan dokumentasi visual mengenai pertunjukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri-nya. Iven ini begitu miskin dalam menyikapi masyarakat penonton teater terutama untuk penonton awam, karena (menurut Afrizal Malna) tidak semua penonton mampu mengetahui secara mendalam mengenai proses kreatif Putu Wijaya melalui teater Mandiri-nya. Kemudian, Benny Yohanes juga kembali menambahkan, bahwa tidak ada ruang tersendiri untuk para kreator dapat bertemu dan berbagi pengalaman mengenai proses kreatif dan sejauh-mana tafsir mereka dalam menyikapi teks-teks naskah drama Putu Wijaya tersebut.
Semoga kita semua dapat belajar dari peristiwa budaya yang telah berlalu ini. Salam Teater**

Penulis adalah Penonton Teater,
Sekarang tinggal di Solo

Senin, September 27, 2010

tokobuku INSISTPress: Mengkritisi Peran FTA*

tokobuku INSISTPress: Mengkritisi Peran FTA*: "Judul : Memperdagangkan Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa Penulis : Martin Khor Penerbit : Insist press, Yogyakarta Tahun : ..."

Kamis, September 23, 2010

tokobuku INSISTPress: Kapita Selekta Sastra Minangkabau

tokobuku INSISTPress: Kapita Selekta Sastra Minangkabau: "Judul: Kapita Selekta Sastra Minangkabau Penulis: Adriyetti Amir Penerbit: Minangkabau Press ISBN: 978-602-95529-2-8 Edisi: I, Nov-09 Detail..."

tokobuku INSISTPress: Orang-orang yang bergegas (dua naskah drama)

tokobuku INSISTPress: Orang-orang yang bergegas (dua naskah drama): "Judul: Orang-orang yang bergegas (dua naskah drama)/ Penulis: Puthut EA/ Penerbit: AKY Press, 2004/ Tebal: xxiii, 165 p. ; 19 cm./ Harga: 25..."

tokobuku INSISTPress: Undang-Undang Minangkabau Perspektif Tasawuf Sufi

tokobuku INSISTPress: Undang-Undang Minangkabau Perspektif Tasawuf Sufi: "Judul: Undang-Undang Minangkabau Perspektif Tasawuf Sufi Penulis: Zuriati Penerbit: Minangkabau Press (Fak. Sastra UNAND) ISBN: 979-15876..."

tokobuku INSISTPress: Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis

tokobuku INSISTPress: Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis: "Judul: Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis (edisi baru 2010) Penulis: Mansour Fakih, Roem Topatimasang, & Toto Rahardjo Penerbit:..."

Rabu, Juli 28, 2010

PUTRI EMBUN DAN PANGERAN BINTANG: Imaji-imaji yang begitu liar


 (catatan pertunjukan Bengkel Mime Theatre, di Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 29-30 Mei 2010).

Oleh: Afrizal Harun

Ketika sutradara (Andi Sri Wahyudi) meminta saya untuk mencatat beberapa komentar dan kritik mengenai pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’, suatu kehormatan dan kepercayaan yang tidak mungkin saya tolak begitu saja. Dengan segala keterbatasan dalam dunia penulisan, akhirnya saya-pun mencoba memulainya, membuka catatan kecil yang tersimpan dalam handphone, dan mengingat-ingat kembali struktur pertunjukan yang ditampilkan pada malam itu. Mudah-mudahan komentar dan kritik ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk kelancaran proses karya ini selanjutnya.
Sebuah pertunjukan kategori Inovatif yang didukung oleh Yayasan Kelola. Bengkel Mime Theatre melalui pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ mencoba memberikan sebuah tawaran visual yang baru, berbeda, dibandingkan pertunjukan-pertunjukan mereka sebelumnya seperti Suspect, Aku Malas Pulang ke Rumah, Repertoar Tiga Fragmen (Three Little Duck, Rudi Berangkat Sekolah, dan Becakku Hilang Bersama Angin) dan lain-lain.
Bila pertunjukan mereka terdahulu lebih menonjol pada aspek keaktoran dalam membangun imaji-imaji dramatik pertunjukan. Kali ini, pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ lebih spesifik memberikan tawaran visual artistik kepada penonton dalam bentuk pengolahan setting panggung, pencahayaan, properti dan kostum. Malam itu, Bengkel Mime Theatre betul-betul melakukannya secara maksimal. Mata dan perasaan penonton seolah-olah dimanjakan untuk larut pada ruang imaji yang penuh dengan fantasi-fantasi. Mereka masuk pada sebuah negeri entah berantah, mungkin saja tentang kerajaan bulan dan bintang. Suatu eksplorasi yang begitu menakjubkan.
Hal lain yang patut kita apresiasi bersama adalah kemampuan mereka dalam mengolah kostum dan properti pemain. Kostum dan properti yang mereka kenakan berangkat dari perkakas rumah tangga seperti wajan, panci, sendok, garpu, baskom, ember, kursi, meja, drum, mangkok, botol bekas air mineral, tempat sampah, hanger, tali jemuran, taplak dan lain-lain.
Kehadiran perkakas rumah tangga ini tidak lagi bernilai fungsi seperti apa yang kita pahami dalam keseharian, namun telah berubah menjadi pernak-pernik kostum dan properti yang ditata secara cerdas dan inovatif. Dari eksplorasi ini maka hadirlah tokoh-tokoh seperti Mat Panci, Nenek Kursi, Kakek Meja, Pemuda Wajan, Detektif, Prajurit Malam, Anjing Besi dan Adhik Bunga. Walaupun ada juga para pemain yang tidak berangkat dari perkakas rumah tangga seperti Pangeran Bintang, Putri Embun, Malaikat Kecil, dan Gadis Bulan.
Begitulah sutradara dan beberapa pemain lain seperti Ari Dwianto, Hindra Setyarini, Eka Nusa Pratiwi, Asita, Ficky Tri Sanjaya, Setyadi, Bagus Taufiqurahman, M. Ahmad Jalidu, Nunung Deni Puspitasari, Megartruh dan Febrinawan melalui perkakas rumah tangga, mereka mencipta peristiwa –peristiwa  secara unik, komikal, dan lucu.
Pertunjukan ini dibagi menjadi tiga area permainan dengan beberapa struktur ceritanya, yaitu (1) depan gedung Societed, layaknya seperti pasar malam. Penonton dihadapkan situasi yang anti-fokus. Semua menjadi sembrawut, benang kusut yang tidak teratur. Tidak ada penanda untuk mulainya pertunjukan ini. Penonton dan pemain telah lebur menjadi satu, komentator begitu asyik dengan pengeras suaranya, lelaki menimba sumur, perempuan sedang mencuci baju, penjual Jus, pembuat kue, perempuan mengayuh sepedanya di keramaian, perempuan sedang membaca disudut cahaya lampu, lelaki sedang merias seorang bocah, dan seorang pemuda di dalam cerita ini bernama Fredy sedang menyapu sampah di jalanan. Karena letih ia-pun duduk di sebuah pohon besar, saat itulah dirinya berada dalam lamunan, malaikat kecil kemudian hadir dan mengajak lamunannya bercengkrama tentang imaji-imaji, semua benda-benda yang tadinya hanya diam mulai hidup dan bergerak, terbang menelusuri lorong waktu menuju dunia fantasi, (2) di ruang tengah gedung Societed, penonton kembali dibawa pada masa transisi antara ruang imaji dan kenyataan. Pemuda desa bernama Fredy telah berubah wujud menjadi pangeran Bintang. Ia mulai bergelut dengan imajinasinya, bertemu dengan tokoh-tokoh dari perkakas rumah tangga yang hidup, dan (3) di atas pentas dalam gedung Societed, penonton dihadapkan pada dunia fantasi tentang Kerajaan Bintang dan Bulan. Pangeran Bintang bertemu dengan gadis cantik dan periang bernama Putri Embun. Mereka berdua menjalin hubungan asmara, bercanda dan bermain dengan riangnya. Hubungan mereka mulai terusik, ketika Pemuda Wajan muncul bersama prajuritnya berusaha  merebut hati Puteri Embun, mereka berperang satu sama lain. Akhirnya, Puteri Empun berhasil dibawa lari oleh Pemuda Wajan. Pangeran Bintang sangat kesal, bersama para sahabatnya ia-pun mencari dimana Puteri Embun berada. Setelah Puteri Embun berhasil mereka selamatkan. Pemuda Wajan dan prajuritnya marah besar, akhirnya mereka kembali bertempur. Puteri Embun berusaha melerai perkelahian mereka berdua. Ketika Pemuda Wajan memberikan setangkai bunga, Puteri Embun menolaknya, Ia-pun menerima bunga pemberian dari Pangeran Bintang. Anehnya, bunga tersebut malah diserahkan pada Mat Panci, sosok tokoh yang tidak begitu menjadi fokus dalam cerita ini secara tidak terduga telah mencuri perhatian penonton waktu itu. Dalam kesedihan Pangeran Bintang, Gadis Bulan mencoba menghibur hatinya yang sedang gundah dengan sebuah lagu.
Sutaradara menaiki panggung, dan selesai sudah cerita ini dengan beribu tanda tanya dibenak kita. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini? Semua menjadi liar dan berakhir begitu saja. Para pemain dengan seperangkat properti dan kostum yang digunakan terasa begitu lelah dalam memaknai apa yang telah mereka lakukan. Asumsi ini barangkali saja bisa benar, atau malah sebaliknya.

Imaji-imaji yang Liar: Sutradara telah membunuh Ekspresi para Aktornya
            Mengamati pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ ini dari awal sampai akhir, saya melihat ada satu yang terlupakan dari proses ini yaitu pentingnya membangun peristiwa dramatik. Sebagai kelompok yang berangkat pada basis pantomim, Bengkel Mime Theatre selalu hadir dengan kemampuan dan kecerdasan para aktornya dalam mengolah peristiwa melalui akting (ekspresi, gestur) yang komikal, satir, parodi, lentur dan lucu. Dari beberapa rekaman video pertunjukan yang saya amati, memang kemampuan para aktor Bengkel Mime Theatre merupakan faktor utama dan dominan dalam menyikapi setiap cerita yang diperankan. Hampir setiap suasana sedih, senang, gembira, putus asa, tangis, tawa dan kecewa diolah sedemikian rupa menjadi perpaduan yang utuh (unity), kompleks dan intens.
Namun, dalam pentas ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ kali ini, saya tidak melihat keunggulan itu hadir dan muncul di atas panggung. Semua bergerak secara sendiri-sendiri, sehingga hampir keseluruhan adegan yang dibangun kehilangan nilai motivasinya. Interaksi pemain hanyalah sebuah gambaran yang lewat begitu saja, pergi kemudian bertemu lagi dan begitu seterusnya. Pangeran Bintang, Puteri Embun dan Gadis Bulan dan pemain bertubuh wajan, panci, bunga, besi dan lain-lain tidak mampu mengangkat peristiwa dramatik secara baik, terkesan masih menoton dan datar (flat). Barangkali saja karena keterbatasan proses latihan sehingga para pemain terlihat begitu masih direpotkan oleh properti dan kostum yang digunakan.
Begitu dominan dan liarnya imaji-imaji sutradara dalam penggarapan artistik seperti setting, properti, pencahayaan (panggung dan properti) dan kostum.  Sehingga saya mencermati bahwa sutradara tidak begitu fokus pada pengolahan akting pemain dan memperkuat struktur dramatik cerita. Wajar tidak terlihat peristiwa mana yang harus ditonjolakan (emphasis) dalam cerita ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ ini, apakah Pangeran Bintang, Puteri Embun, Pemuda Wajan, Mat panci, Gadis Bulan atau pemuda desa bernama Fredy.
Senada dengan hal di atas, beberapa komentar dari penonton sehabis pertunjukan juga memandang hal yang sama mengenai pertunjukan ini berkaitan tentang dominannya unsur artistik sehingga mematikan peranan aktor di atas panggung, kurangnya fokus penceritaan, pemain sangat direpotkan oleh properti yang digunakan dan akhir cerita yang tidak kuat sehingga tidak menemukan esensi sebenarnya yang ingin disampaikan sutradara dalam pertunjukan ini.

Ilustrasi Musik yang Mengganggu
Musik jelas merupakan faktor pendukung dalam membantu dan mempertegas suasana adegan dalam pertunjukan. Musik secara internal bisa saja muncul melalui pemain dalam menyikapi sett dan properti di atas panggung. Secara eksternal musik dapat dihadirkan secara langsung (live) maupun musik digital (komputerisasi). Pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ hampir secara keseluruhan menggunakan musik digital. Setiap ilustrasi yang muncul dari musik digital seyogianya dapat membantu, memperkuat dan mempertegas suasana dramatik pertunjukan. Namun. Justru kehadirannya malah mengganggu setiap suasana adegan yang tengah dibangun. Musik yang ditata oleh Ari Wulu cenderung bergerak secara sendiri-sendiri, banyak pengulangan-pengulangan dan tidak menyatu dengan aktor di atas panggung sehingga melemahkan peranan aktor dalam mewujudkan dramatik cerita.
Alangkah baiknya pertunjukan ini tidak menggunakan musik digital seperti itu, tetapi menghadirkan beberapa peralatan alat seperti Piano, Biola, Cello, Xylophone, Timpani, dan lain-lain layaknya mini orkestra dengan beberapa orang pemain musik mengetengahkan ilustrasi dan efek bunyi yang sesuai dengan kebutuhan cerita. Hadirnya bentuk musik non-digital ini diharapkan antara aktor, setting, properti, pencahayaan, akan terlihat penyatuan-penyatuan adegan yang begitu kuat dan saling mengisi antara satu dengan yang lain. Namun, pertunjukan malam itu telah memberikan refleksi yang besar bagi kita sebagi penonton, berangkat dari sebuah imaji yang begitu sederhana namun telah melahirkan sebuah proses yang sungguh luar biasa. Salut untuk Bengkel Mime Theatre. Salam Teater*


Solo, 31 Mei 2010

Penulis adalah Pemerhati Seni dan budaya
Khususnya Teater

Kamis, Juni 17, 2010

Sayembara Penulisan Lakon Realis

SAYEMBARA PENULISAN LAKON REALIS DIPERPANJANG SAMPAI 31 JULI 2010

Dalam dua dekade terakhir panggung teater Indonesia mengalami kemerosotan drastis dalam kuantitas pementasan bergaya realis, seiring dengan semakin banyaknya kemunculan “teater tubuh”. Sejumlah pengamat pernah menyatakan bahwa dalam teater kita telah terjadi krisis aktor. Hal itu mengacu pada kenyataan bahwa tidak banyak aktor yang menunjukkan kepiawaian menghidupkan teks (dialog) dan membangun karakter. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah kelangkaan lakon yang mengutamakan seni peran. Beberapa naskah jenis itu, yang sedikit jumlahnya, terlalu sering dipentaskan ulang tanpa menawarkan kesegaran. Sehubungan dengan itulah Komunitas Salihara menyelenggarakan Sayembara Penulisan Lakon Realis.

Syarat-Syarat:
1. Tema bebas.
2. Ditulis dalam bahasa Indonesia.
3. Memperhitungkan durasi pementasan, antara 1 sampai 1,5 jam.
4. Tidak berbentuk monolog dan dibuat untuk dimainkan oleh maksimal 5 (lima) karakter/tokoh.
5. Belum pernah dipentaskan/diterbitkan sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.
6. Naskah diterima panitia paling lambat pada tanggal 31 Juli 2010.
7. Pementasan perdana naskah pemenang menjadi hak panitia.
8. Nama dan biodata pengarang ditulis pada lembar terpisah dari naskah.
9. Naskah dikirim rangkap 4 (empat) dalam amplop yang ditulisi “Sayembara Penulisan Lakon Realis” di pojok kiri atas, ke:

Komunitas Salihara
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520


Pemenang dan Hadiah:
1. Dewan Juri akan memilih 3 (tiga) finalis dan menentukan 1 (satu) lakon terbaik.
2. Pemenang akan diumumkan pada Festival Salihara, September 2010.
3. Lakon terbaik akan mendapatkan hadiah uang Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan dua lakon finalis lain masing-masing mendapat uang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah); pajak ditanggung penerima hadiah.
4. Lakon terbaik akan dipentaskan untuk pertama kalinya di Teater Salihara sebagai produksi Komunitas Salihara.


Dewan Juri dan lain-lain:
1. Dewan Juri terdiri dari 3 orang: Iswadi Pratama (penulis lakon dan sutradara Teater Satu, Lampung), Zen Hae (penyair dan penulis cerita), dan Seno Joko Suyono (wartawan budaya Koran Tempo, pengamat seni pertunjukan).
2. Panitia (kurator dan seluruh karyawan Komunitas Salihara) dan anggota Dewan Juri dilarang mengikuti sayembara ini.
3. Keputusan Dewan Juri akan dipertanggungjawabkan pada saat pengumuman pemenang, dan tidak dapat diganggu-gugat.


Jakarta, 01 Januari 2010
Komunitas Salihara,
Panitia Sayembara Penulisan Lakon Realis

Minggu, Juni 13, 2010

Nama Calon Pemenang Sayembara Naskah Pusbuk 2010

Bersama ini saya informasikan daftar nama calon pemenang sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan tahun 2010 dari Kementrian Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan yang saya dapatkan langsung dari teman saya yang lolos tahun ini.

Nama-nama hebat yang dipanggil itu berhak ke Jakarta dari tanggal 7 s.d. 10 Juni 2010 dan menginap di Hotel “OASIS AMIR” Jakarta Pusat. Pengumuman pemenang langsung disiarkan di TVRI hari Rabu 9 Juni 2010 di TVRI Pusat Jakarta, pukul 15.00 s.d. 16.30 WIB.

Cerita Anak

1. Suherma, S.PD, Guru SDN Paoman III, judul Keluarga Pelangi
2. Suparni, Guru TK Aissyiah Bustanul Athfal V, judul Sahabat
3. Tuswadi, Guru SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, judul Kidung Masa Kecil

Cerpen SMP

1. Al Varidah, S.Sos, Guru SMP Al-Muttaqin Fullday School, Judul wasiat Bunga
2. Gusti Diah Antasari, S.Pd, Guru SMPN 17 Jakarta Pusat, judul Pelangi tak Terbatas
3. Siti Anisah, Guru MTs Darul Farah Sukorejo Ponorogo, judul Mereka yang Tak Menyerah

Novel SMP/SMA

1. Drs. Asli br Sembiring, Guru SMK 1 Medan Area, Judul Laskar Sunggal- Membongkar Jaringan ekor Naga Putri Hijau di tanah Deli
2. Gatot Supriyanto, guru SMPN 1 Grabag (SSN), judul Nyanyian Codet
3. Lili Akhmad MR, guru SMAN 4 Bekasi, judul Namaku Abdul (Anak kampung Jejerukan)
4. Mirawati, S.Pd, Guru SMKN 1 Rangas Mamuju, judul Sang Guru
5. Suprihatin, S.Pd, Guru SMP 3 Jelita, Judul Kolong Surga
6. Yeni Sukmawati, Guru SMPN 2 Majalengka, judul Saat kamboja Berbunga

Pantun SD

1. Heri Kurniawan, Pustakawan SMPN 8 Yogyakarta, judul menjadi anak negeri: Kumpulan Pantun
2. Drs. Kamulyo Santosa Hasyim, guru SMAN 7 Tangerang, judul Mengenal Budaya Nusantara melalui pantun
3. Sadino, guru SDN Tepisari 02 Sukoharjo Jateng, judul Meningkatkan IQ dan EQ dengan pantun terpadu

Puisi SD/SMP

1. Bussairi D. Nyak Diwa, Drs, Guru SMAN 1 Kluet Utara, Aceh Selatan, judul Ziarah Hati
2. Hidayat Raharja, S.Pd, guru SMA Negeri 1 Sumenep, judul Jalan Ke Rumahmu
3. Lufiana, S.S, guru SMP Muh. Glondo, judul kabar dari alam
4. Purwaningsih, guru SMPN 23 Purworejo, judul Larik-larik Persembahan
5. Sultan Efendy, S.Pd, Guru SMP N 10 Pare-pare Sulsel, judul Menunggu di pintu waktu
6. Tjachjono Widarmanto, Guru SMAN 2 Ngawi, judul Mata Ibu

Drama SMA

1. Drs. Sumpeno, M.Sn, Dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta, judul Sepasang Mata yang Berharap
2. Muh Arif Wijayanto, S.Sn, Guru SMK 1 Kasihan Yogyakarta, judul Air Mata semar
3. Nanik Irawati, S.Pd, guru SMKN 7 Purworejo, judul Dolalak Dukuh Jenar

Pengayaan Pengetahuan Alam dan Matematika

1. Arief Fadillah, Guru SMAIT Thariq bin Ziyad Bekasi, judul Mangapa Harus Takut pada Radiasi?
2. Elizabeth Tjahja Darmawan, S.Si, M.Pd, guru SMA Xaverius 1 Jambi, judul Cassiavera dari Kelinci- Primadona Dunia
3. Endang Sri Sulistyrini, S.Pd, guru Guru SDN Karangsari 2 Blitar Jawa Timur, judul Ketika Mama Pergi
4. Gunawan, A.Ma.Pd, guru SD N 1 Sukokerto, judul Rahasia Dibalik sampah
5. Hary Tridayanto, S.Si, Widyaiswara P4TK, Cianjur Jawa Barat, judul Sumber energi dan Upaya penghematan Energi
6. Ikbal Gazalba, S.Si, Pengajara BTA Alumni Cijantung Jaktim, judul Aku dan Gempa
7. Ranny Noviany,guru SD yayasan cahaya mutiara Cimahi Jawa Barat, judul Matematika Itu Menyenangkan
8. Sri Kuncoro, A.Ma, Guru SDN 04 Jatisobo, Karang anyar jawa Tengah, judul Air (Antara Misteri, Kawan, dan Lawan)
9. Winda rahmalia, S.Si, M.Si., Dosen Univ. Tanjungpura Pontianak Kalbar, judul Mengenal Sumber Bahan baku dan Metode Pembuatan Bio diesel

Pengayaan Pengetahuan Sosial

1. Cucu Munawar bin Abduurohim, guru SMAN 3 Sukabumi Jawa Barat, judul Mengenal dasar ekonomi syariah
2. Drs. Heri Suritno, Kepala SDN Siwarak Wetan, Banyumas jawa Tengah, judul Pesona taman bawa tanah “Gua Petruk”
3. Ir. Soetawi, M.P., Dosen fakultas Pertanian Peternakan Kampus III UMM, judul Remaja dan Rokok Penyakit, Kemiskinan, dan fatwa
4. Johan wahyudi, guru SMPN 2 Kalijambe, Sragen Jawa Tengah, judul Menjadi Cerpenis
5. Murhamsyah, SI.P, guru SMP YPVDP Bontang Selatan Kal-Tim, judul Mengapa Bumiku makin panas?
6. Ruliani Indrawati, Guru SMP N 4 Cianjur, judul Bunga-bunga Bahasa
7. Sunarsih, guru SD Islam Terpadu Nurul Islam, judul Yuk, ke Desa

Pengayaan Keterampilan

1. Das Salirawati, M.Si, Dosen Univ Negeri Yogyakarta, judul Nata de Banana Skin Home Industri yang menjanjikan
2. Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd, Dosen UNNES Semarang Jawa Tengah, judul Mosaik-Menata Kepingan Menjadi Karya Menarik
3. Drs. Mudiono/Muslimah hariyani, guru SDN Trahan/SDN Karangturi, Rembang jateng, judul Aku Ingin Menjadi Jagoan Batik
4. Kurnia hadinata, s.Pd, guru SMP N 2 Pati Pasaman, Sumbar, judul Pelajar Ayo Buat Film (Penuntun Praktis dan Jitu Membuat Film Pendek Cara Indie)
5. Nur Laili Munazalah, guru Jarimatika Unit Cemani, Lawetan Jateng, judul Kebun sayur Organik
6. Tejo Wahyono, guru SDN 1 Banyuroto, jawa Tengah, judul Menjadi Peternak Kelinci Teladan

Biografi

1. Dra. Eko Sri Israhayu, M.Hum, Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Purwokerto Jateng, judul NH Dini, Tak Pernah kekeringan Ide

Kepada para pemenang sayembara penulisan naskah buku pengayaan tahun 2010, saya ucapkan selamat mendapatkan hadiah uang sebesar Rp.21.000.000 untuk Juara Pertama, Rp. 20.000.000 untuk juara kedua, dan Rp. 19.000.000 untuk juara ketiga.

Link Terkait: http://wijayalabs.com

Rabu, Juni 02, 2010

SEMOGA AROGANSI DAN INFANTILISME BERKESENIAN ITU CAIR


Oleh: Ganda Cipta
Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 30 Mei 2010


Benarkah seniman teater Sumatera Barat berkesenian antara sikap arogan dan kekanak-kanak? Atau itu hanyalah suatu kecemasan yang berlebih-lebihan dari Afrizal Harun, seorang teaterawan muda Sumatera Barat? Inilah yang menjadi pertanyaan besar dari Alee Kitonanma dalam tulisannya, Sebuah Kecemasan yang Berlebih-lebihan (Padang Ekspres, 23 Mei 2009, halaman 16)

Tulisan tersebut merupakan tanggapan dari tulisan Afrizal Harun yang dimuat pada koran dan halaman yang sama, seminggu sebelumnya. Dengan judul Senimat Teater Sumatera Barat, Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian.

Dari tulisan Afrizal Harun, saya mengambil kesimpulan, bahwa iklim teater di Sumbar cenderung arogan dan invantil. Di mana penyebabnya utamanya adalah dana untuk memproduksi karya yang terbatas dan sulit didapatkan. Kemudian dari ketersedian dana yang terbatas itu, para pelaku teater mesti saling saing, saling rebut, atau bahkan saling sikut. Layaknya orang-orang yang terjebak berhari-hari di tengah padang pasir luas bertemu satu sumber mata air.

Dari sana persaingan bermula. Para pelaku seni (oknum) yang sering kalah bersaing, dan tidak mampu mengakali jalannya produksi karya mereka, lebih banyak ngomong dari pada berkesenian. Sebagaimana Babab, begitulah panggilan akrab Afrizal Harun, saya juga merasakan arogansi dari sejumlah oknum teater di Sumbar ini.

Banyak contoh yang telah bersua oleh saya, selama 7 tahun saya berdekatan dengan dunia teater Sumbar (waktu yang masih pendek tentunya). Sebuah atau beberapa group yang sering mendapat dana hibah dari berbagai sumber sering dipergunjingkan. Gawatnya, pergunjingan tersebut sering juga disampaikan ke tengah anak-anak muda yang baru bersentuhan dengan seni yang komplit dan kompleks ini. Secara tidak langsung para oknum ini, mengajak anak-anak muda itu, untuk tidak respek terhadap group yang sedang mereka pergunjingkan. Inilah salah satu penyebab gap itu menganga.

Contoh lain, ketika satu komunitas atau institusi pemerintahan membuat sebuah event, yang dengan dana terbatas, tentunya tidak bisa merangkul seluruh group yang ada, para oknum teater yang tidak dibawa serta, sering pula mencak-mencak. Tak jarang mereka menuduh, group yang ikut serta dalam sebuah ivent adalah group “dalam rangka”. Kalau ada iven baru berkesenian, kalau tidak, tidur dalam khayalan-khayalan kreativitasnya. Padahal, tanpa mereka (oknum) sadari, hal yang sama juga mereka lakukan. Bukankah ini sifat yang kekanak-kanakan?

Pada kesempatan lain saya juga menemukan arogansi sebagaimana dimaksudkan Afrizal, dalam bentuknya yang lain barangkali. Oknum tersebut merasa dan sering mengungkapkan, bahwa dia telah berpuluh tahun berkesenian, dan telah banyak karya yang dibuat dan dimainkan, tapi kenapa tidak mereka yang diundang. Lalu pertanyaan muncul dari kegelisahan oknum tersebut, apakah saya tidak seniman pula? Saya rasa itu juga sebuah bentuk arogansi berkesenian.

Jadi saya setuju dengan unek-unek Babab dalam tulisannya tersebut. Tapi pertanyaan kemudian yang ingin saya munculkan, apakah tak pernah disadari dan dilakukan perbaikan terhadap geliat buruk itu? Dengan yakin dan percaya saya ingin menjawabnya sendiri dalam kesempatan ini. Pernah dan sedang dilakukan.

Lalu siapa yang melakukannya? Mereka adalah para pemula atau anak-anak muda yang baru seumur jagung berkecimpung dalam dunia teater. Dari bantuan “kaum tua” yang sadar akan buruknya persaingan dunia teater kita dari berpuluh tahun yang lalu. Dari kaum tua tersebut, para pemula ini mendapatkan cerita tentang buruknya sejarah geliat teater Sumbar, dan itupun masih terasa sampai kini, saat mereka bersentuhan langsung. Dan tidak sekedar hanya mendapatkan cerita.

Dalam hal ini, saya tidak bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang mensinyalir Afrizal Harun –atau barangkali Alee sendiri?- kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda. Seperti tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dan seniman-seniman muda.

Pada kemudian, mereka merapatkan barisan, saling membuka diri dan bersilaturhmi. Membangun jejaring antar individu dam komunitas. Tidak hanya di Sumbar saja, tapi melebar hingga ke luar. Tidak hanya pada satu genre kesenian saja, tapi melintas antar genre seni lainnya. Tidak hanya kalangan mereka saja, tapi juga pada seniman yang telah lebih dahulu bereksenian daripada mereka. Hal itu saya rasakan, karena saya bagian dari mereka, anak-anak muda atau pemula.

Buktinya, antara lain bisa dilihat dalam catatan-catatan pementasan yang sering muncul di media cetak daerah ini. Sebagian besar yang menulis itu adalah anak muda. Dan tak ada saya temukan kritikan dalam catatan-catatan itu keluar dari konteks pementasan. Anak-anak muda ini tetap menulis catatan pementasan, tanpa memandang siapa dan group mana yang tampil

Meskipun harus diakui pula, bukan berarti pergunjingan antara mereka tidak ada. Namun pergunjingan itu hanya sebatas dalam komunitas masing-masing mereka, tidak dibawa keluar. Yang lebih sebagai bahan introspeksi diri. Sehingga kerapatan barisan yang telah disusun, sampai saat ini, setahu saya masih kokoh berdiri.

Dalam hal ini saya bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang dalam tulisannya tersebut mengatakan, tidak sedikit acara yang diselenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara yang dibuat. Seperti acara “Seribu Puisi Untuk Chairli Anwar” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Sastra Unand. Di mana anak-anak muda penggiat seni teater dari berbagai komunitas juga terlibat dalam acara tersebut. Yang memperlihatkan ajang tersebut bukan sekedar silaturrahmi antar komunitas, tapi juga menunjukan keakraban mereka dalam berkesenian.

Lalu timbul pula pertanyaan lain. Apakah kesadaran dari generasi muda seniman Sumatera Barat untuk melakukan perubahan terhadap arogansi dan infatilisme berkesenian para seniman Sumatera Barat secara umum, sebagaimana dinyatakan Afrizal Harun itu, telah berhasil?
 
Seperti yang saya beberkan dalam tulisan di atas, maka saya menjawabnya belum. Dan saya meragukan, hal ini bisa merubah prilaku arogansi dan infantilisme pada sejumlah oknum seniman.

Namun, saya melihat ada harapan yang muncul dari kesadaran para anak-anak muda atau pemula itu. Kesadaran untuk tidak mengulang hal yang sama, yang menjadikan persoalan uang sebagai pemicu retaknya hubungan harmonis yang sedang mereka bangun ini, hingga ketika kelak mereka jadi tua dan jadi panutan pada generasi selanjutnya. Mudah-mudahan!


Penulis adalah penikmat dan pengamat seni teater


SEBUAH KECEMASAN YANG BERLEBIH-LEBIHAN [Tanggapan untuk tulisan Afrizal Harun]

Oleh : Alee Kitonanma,
anggota teater imam bonjol.

Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 23 Mei 2010



Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Afrizal Harun “SenimanTeater Sumatera Barat: Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian” yang terbit di koran Padang Ekspres edisi 16 Mei 2010. Dalam tulisan tersebut, Afrizal Harun mengemukakan beberapa pikiran tentang seniman teater di Sumatra Barat.

Pertama, seniman Sumatra Barat memperlihatkan kepongahan dalam berkesenian. Kepongahan ini terutama muncul di kalangan seniman yang merasa diri punya kekuatan lebih dari apa yang sesungguhnya mereka miliki. Afrizal menyebut kecendrungan itu sebagai “panyakit Post-Power Syndrome.”

Saya berpandangan, arogansi yang muncul (kalau pun demikian realitasnya) adalah keawajaran belaka jika memang didukung oleh karya yang dihasilkan. Sebab, untuk memproduksi sebuah pementasan teater, kita tahu, para seniman teater melewati proses yang luar biasa. Mereka latihan berbulan-bulan tanpa menerima upah yang setimpal. Mereka dengan sukarela menghabiskan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk itu. Kemudian tidak jarang, mereka melewati konflik-konflik sesama aktor, atau dengan sutradara yang terkadang terasa menambah beban hidup demi mengharapkan tepuk tangan para penonton setelah pementasan usai. Apakah salah kiranya kalau seniman teater kemudian merasa puas, bangga, dan mungkin terkesan arogan—walaupun sebenarnya saya tidak yakin kata itu yang cocok dipakai untuk melihat realitas berkesenian hari ini di Sumatera Barat.

Kedua, Afrizal Harun menganggap seniman teater di Sumatera Barat dalam sepuluh tahun terakhir terkesan anti kritik, emosional dalam menanggapi kritik. Ini disebabkan karena, tutur Afrizal, adanya gap-gap, jurang-jurang yang memisahkan pekerja teater di Sumatera Barat. Afirzal Harun menulis: “Paradigma gap (jurang pemisah, kesenjangan) seperti ini telah menjadikan pribadi seniman teater cendrung anti-kritik dan emosional dalam menyikapi persoalan berteater yang sedang dihadapi.”

Pertanyaan saya, apakah benar telah tercipta gap-gap yang demikian lebar sehingga menyebabkan pekerja teater menjadi anti-kritik? Apakah memang separah itukah kehidupan teater Sumatera Barat? Saya rasa tidak, “Berperang Pikiran” merupakan sebuah pancingan untuk menghadirkan ide-ide baru ke depannya. Setidaknya, usai perdebatan, menyisakan hal-hal yang dapat diambil dari gagasan orang lain. Sepanas-panas apapun diskusi karya, toh belum ada terdengar kabar seorang seniman teater saling tidak bertegur sapa, atau saling benci setelah perdebatan teater usai. Bahkan tidak jarang kita melihat mereka tertawa riuh bersama di kedai kopi, atau bertemu di jalan setelah berperang pikiran di belakang pentas atau di media masa.

Ketiga, Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur dalam berkesenian, dengan membandingkan seniman teater Sumatra Barat dengan sepuluh lebih seniman teater di Indonesia yang terkenal. Setelah itu mengemukakan alasan mengapa mereka bisa exist di dunia teater. Berikut kutipannya; “Hal itu tercermin karena mereka berproses secara intens, kontinyu, dewasa dalam menyikapi teater Indonesia sehingga melahirkan karya-karya yang layak diapresiasi sampai saat sekarang ini.” Bukankah dengan kata lain Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan seorang seniman teater. Saya rasa tidak seperti itu. Dunia teater bukanlah dunia sinetron yang sering “kita” tonton. Sering muncul, laris di pasaran, dan selalu rutin berkarya bukanlah tujuan utama dalam berteater. Bukankah kita lebih mengutamakan proses dan pembelajaran?

Pertanyaan yang juga muncul dari kutipan esai Afrizal Harun di atas untuk keteateran Sumatra Barat hari ini adalah; “Mengapa teater Sumatra Barat tidak sepopuler teater yang ada di luar?” Di daerah Jawa misalnya, para seniman berkesenian dengan kemapanan, menjual tiket pementasan teater dengan harga ratusan ribu perkepala adalah hal yang biasa. Begitu juga halnya dengan penonton, kesiapan dalam materil menjadi syarat utama untuk mendapatkan tontonan teater yang entah berguna entah tidak bagi mereka. Kemudian gedung pertunjukan pun penuh sesak. Sampai-sampai penonton harus memesan tiket jauh-jauh hari. Layaknya sebuah penerbangan pesawat terbang pada musim libur dan mudik. Hal inilah yang menjadi kecemasan bagi Afrizal Harun, lalu muncul perkiraan Afrizal Harun berupa keluhan-keluhan para seniman teater Sumatra Barat yang menurut Afrizal Harun tudak bisa dihindarkan lagi. Seperti kutipan berikut ini; “(1) mengenai minimnya dana produksi (2) proposal pertunjukan belum dikabulkan oleh pihak donator Instansi pemerintah dan swasta, dan (3) tiket pertunjukan belum begitu membudaya karena kecendrungan penonton ingin menyaksikan teater secara gratis.

Seperti kita rasakan bersama, iklim teater Sumatra Barat dari dulu sampai hari ini, para seniman teater memang melakukan pertunjukan teater dengan musiman, bila ada iven, festival, atau diundang untuk mengisi sebuah acara. Berdasarkan sejarah kultur di Minangkabau, segala bentuk permainan anak nagari di mainkan ketika mereka butuh saja. Mereka bermain atas kesenangan saja. Tidak tergantung mapan atau tidak. Ketika keinginan itu muncul, latihan tidak dapat dibendung lagi, lalu hadirlah mereka di atas pentas, entah dapat dana dari mana, entah ada dana atau tidak. Pernahkah kita mendengar sebuah pertujukan teater di Sumatra Barat dibatalkan karena tidak mendapatkan dana? Permasalahan yang sama muncul dari pikiran penonton. Sebagai anak nagari yang menikmati seni, wajarlah sebuah pementasan teater sepi ketika penonton harus merogoh saku dulu. Tapi pernahkah kita mendengar, seniman teater menjadi pesimis dan tidak mau berkarya lagi karena minimnya penonton yang datang ketika sebuah pementasan menjual tiket? Satu lagi kutipan dari tulisan Afrizal Harun; “Sehingga banyak seniman-seniman teater yang sebelumnya produktif berkarya menjadi pesimis, mengurangi proses kreatifnya atau bahkan meninggalkan teater itu sendiri.” Agaknya, sedikit lucu kalimat di atas.

Keempat, tidak adanya ruang dialog dan iven kreatifitas bersama antar komunitas dan seniman teater. Afrizal Harun mengatakan; “Berkaca pada situasi ‘seniman teater’ Sumatra Barat hari ini, penulis menilai, iklim kesenian teater tidak ubahnya seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Suatu suasana permainan yang penuh persaingan, gap-gap, penuh kecurigaan, ambisi, anti-kritik, emosional, dan lain-lain.” Adanya Temu Karya satu kali empat bulan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas seni dan teater di Sumatra Barat merupakan sebuah pernyataan bahwa komunitas teater tidak memiliki gap-gap dan mengutamakan arogansi dalam berkesenian seperti yang diperkirakan Afrizal Harun. Kemudian, tidak sedikit acara yang di selenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara di sana. Pada tanggal 28 April 2010 lalu, Penggiat sastra UNAND menggelar acara “Seribu Puisi Untuk Chairil Anwar,” para penyair dan sastrawan Sumatra Barat menyumbangkan puisinya dalam acara tersebut. Terlihat para penggiat seni yang pada umumnya pekerja teater saling memberikan dukungan dan partisipasi dalam acara tersebut. Jelas, ini bukan hanya ajang silahturahmi antar komunitas seni, tapi mereka menunjukkan keakraban mereka dalam berkesenian.

Tidak hanya itu, bahkan satu komunitas tidak segan-segan mengundang personil dari komunitas lain untuk ikut “bermain” dalam sebuah pementasan. Seperti halnya pementasan “Rumah Jantan” produksi Teater Noktah kerya Syuhendri pada pertengahan Juli 2009 lalu. Di sana membaurlah tim produksi dan tim artistik yang tergolong dari komunitas yang berbeda. Seperti Julnadi yang berasal dari Teater Imambonjol, Rio SY dari komunitas Teater Oase, Tatang Rusmana, M.Sn dari ISI Padangpanjang dan lain sebagainya. Terbukti, mereka membuka diri satu sama lain, bermain asik, tanpa ada rasa pongah, rasa ingin muncul dan menang sendiri.

Sebagai orang akedimisi yang memberikan pandangan pada dunia teater, seharusnya Afrizal Harun mengadakan penelitian untuk menulis iklim teater Sumatra Barat hari ini. Tidak hanya menyangkal dan memperhatikan dari jauh.

Tapi, ada benarnya juga Afrizal Harun Berkata demikian, barangkali Afrizal Harun kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda, seperti, tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dengan seniman-seniman muda. Barangkali kita mencemaskan hal yang sama.

Jumat, Mei 21, 2010

SENIMAN TEATER SUMATERA BARAT: antara arogansi dan infantilisme berkesenian

Oleh: Afrizal Harun
 diterbitkan: Koran Padang Ekspress, Minggu 16 Mei 2009

Teater modern Sumatera Barat tumbuh dan berkembang jelas karena faktor seniman yang terus menghidupinya. Kata ‘menghidupi’ di sini tentu saja memiliki banyak kendala dan persoalan yang dihadapi. Dalam menghidupi teater, seniman terus saja kewalahan dalam setiap akses pendanaan untuk menunjang pementasan. Hampir setiap proposal yang diajukan kepada Instansi Pemerintah dan Swasta  baik melalui prosedur birokrasi ataupun kontak personal, terkadang tidak semua bisa dikabulkan dan diharapkan. sehingga seniman teater Sumatera Barat selalu berada pada posisi dilematis dalam menghidupi teaternya sendiri, terengah-engah, karena terlalu lelah dan letih. Namun tetap saja, pertunjukan teater sebagai ekspresi estetik-artistik berjalan walaupun hanya dengan dana yang begitu pas-pasan.
Seniman teater Sumatera Barat, kembali bisa bernafas lega apabila ada bantuan proses dari setiap iven teater yang diselenggarakan oleh Taman  Budaya, Dinas Pariwisata, Institusi Seni apalagi kalau lulus dalam hibah seni (inovatif dan keliling) yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola Jakarta setiap tahunnya. Maka, eksplorasi terhadap naskah drama sebagai kendaraan pertunjukan teater mulai dilakukan, pemain-pemain mulai dihadirkan, elemen artistik  mulai dimunculkan dan sutradara yang lebih mengutamakan penuangan gagasan melalui eksplorasi tubuh-pun juga menghadirkan  bentuk-bentuk pertunjukan beraneka-warna dalam koridor yang sering disebut dengan istilah teater tubuh. Namun, setelah bantuan dan hibah itu-pun usai, seniman teater kembali kepada persoalan-persoalan klasik yang cenderung dijadikan sebagai ajang perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya. Teater kembali vakum, dan secara tidak sadar seniman telah membunuh kehidupan teater dalam dirinya.
Peliknya kehidupan teater di Sumatera Barat, kebanyakan hampir semua gagasan dan pikiran cemerlang seniman hanya selesai di kedai kopi, berdebat layaknya perseteruan dua aktor di atas panggung pada momen suasana konflik yang begitu dramatis, walaupun terkadang perdebatan tersebut tidak pernah menemukan titik yang bersifat solutif, perdebatan eksistensi seolah-olah teater dunia berada digenggaman dan orang-orang yang menyaksikan begitu terkesima tanpa mengedipkan mata karena kebingungan. Situasi ini cenderung menjadikan seniman teater Sumatera Barat memperlihatkan sisi kepongahan dalam berkesenian, apalagi bagi mereka yang mengidap penyakit Post-Power Syndrome.
 Ketika seniman teater itu kembali pada habitatnya masing-masing (komunitas atau kelompok) maka ia kembali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan berkesenian yang tidak sesuai  dengan apa yang diharapkan.  Keluhan-keluhan tidak bisa lagi dihindarkan misalnya, (1) mengenai minimnya dana produksi, (2) proposal pertunjukan belum dikabulkan oleh pihak donator Instansi Pemerintah dan Swasta, dan (3) tiket pertunjukan belum begitu membudaya karena kecenderungan penonton ingin menyaksikan teater secara gratis. Sehingga banyak seniman-seniman teater yang sebelumnya produktif berkarya menjadi pesimis, mengurangi proses kreatifnya atau bahkan meninggalkan teater itu sendiri. Sementara, bagi mereka yang masih ingin dianggap eksis sebagai ‘seniman teater’ cenderung menghadirkan karya-karya teaternya secara instan (kejar tayang), hanya memperhatikan sisi kuantitas saja tanpa mempertimbangkan sisi kualitas dari karya yang ditampilkan.
 Sehingga dapat dipahami, seniman teater seperti ini mencoba mencari kesenangan lain dalam rangka menutupi kekurangan diri dan proses kreatifnya dengan cara menyatakan keunggulan-keunggulan karya-karyanya dihadapan orang banyak terutama dihadapan pemula. Lebih parah lagi apabila seniman seperti ini cenderung menciptakan iklim berkesenian yang tidak kondusif dengan cara menjelek-jelekkan karya dan pribadi seniman lain, menganggap karyanya lebih bagus dan layak daripada seniman lain. Paradigma gap (jurang pemisah, kesenjangan) dalam berkesenian seperti ini telah menjadikan pribadi seniman teater cenderung  anti-kritik dan  emosional dalam menyikapi persoalan berteater yang sedang dihadapi. Apabila hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tujuan berteater itu sendiri sebagai suatu wujud kontribusi ekspresi estetik dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tidak akan tercipta dengan baik.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan personal seniman apalagi salah satu kelompok ataupun komunitas teater manapun di Sumatera Barat. Ini hanyalah sebuah refleksi terhadap pengamatan penulis terhadap iklim perteateran di Sumatera Barat sepuluh tahun terakhir. Teater Sumatera Barat menghadapi banyak sekali persoalan namun seolah-olah tidak perlu dipersoalkan oleh senimannya. Sehingga tetap menjadi api dalam sekam. Hal ini dapat diamati dari persoalan proses kreatif, pendanaan, dan interaksi dialogis sesama seniman. Sinergisme ini dalam iklim teater di Sumatera Barat tidak tercipta secara baik. Sehingga menyebabkan adanya sekat-sekat yang berlarut-larut dan harus dihancurkan secara bijak dan cerdas. bukan arogan dan kekanak-kanakan.

Benarkah Seniman Teater Sumatera Barat Arogan dan Infantil?

Seniman Teater, sebuah penamaan yang terkadang begitu mudah untuk disebutkan, namun tetap saja memiliki beban yang sangat berat untuk dipikul.  Seseorang disebut seniman teater bukan karena ia memproklamirkan diri untuk diakui keberadaannya, tetapi karena adanya faktor masyarakat, kritikus,  dan pengamat yang menilainya. Tergantung sejauh mana sumbangsih seniman itu  dihadapan publik  dalam berteater secara kontinyu, intens, berkualitas dan mampu diterima oleh masyarakat. Kita mengenal tokoh-tokoh teater di Indonesia bukanlah karena namanya yang besar tetapi adalah karya-karyanya yang begitu besar sebut saja Teguh Karya (alm), Suyatna Anirun (alm), W.S Rendra (alm), Putu Wijaya, Ikranegara, Arifin C Noer (alm), Wisran Hadi, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon W.S  dan lain-lain. Hal itu tercermin karena mereka berproses secara intens, kontinyu, dewasa dalam menyikapi teater Indonesia sehingga melahirkan karya-karya teater yang layak diapresiasi sampai saat sekarang ini. Di sinilah letak idealisme kreatifitas seorang seniman yang patut kita contoh dan teladani yang tidak hanya berfikir untuk mengejar popularitas karena kualitas itu benar-benar tercermin dari karya-karya teater yang dihasilkan.
Penamaan terhadap kata ‘seniman teater‘ memang membutuhkan paradigma berfikir yang dewasa dan konstruktif. Menyingkirkan seluruh tendensi yang berbau arogan dan kekanak-kanakan. Apakah anda seniman teater? Berapa lama anda berproses teater? Sudah berapa banyak karya teater yang anda buat? Bagaimana anda memulai berteater? Seperti apakah metode teater anda? Sejauh mana kontribusi anda dalam dunia teater di Sumatera Barat dan Nasional? Barangkali saja, inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu tersimpan dalam memori seseorang yang dikatakan sebagai ‘seniman teater’, suatu pertanyaan yang tidak bisa hanya dijawab dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan.
Berkaca pada situasi ‘seniman teater’ Sumatera Barat hari ini, penulis menilai bahwa iklim kesenian teater tidak ubahnya seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Suatu suasana permainan yang penuh persaingan, gap-gap, penuh kecurigaan, ambisi, anti-kritik, emosional, dan lain-lain. Apakah anda termasuk kategori seperti itu? Maka bercerminlah, maka anda akan menemukan jawabannya. Inilah situasi perteateran di Sumatera Barat sepuluh tahun terakhir, cenderung arogan (pongah-sombong) dan invantil (kekanak-kanakan). Iklim teater di Sumatera Barat layaknnya seperti api dalam sekam, lain dimulut ternyata lain pula dihati, onak dalam duri, penyakit hati yang harus dicarikan jalan keluar pengobatannya. Namun siapakah yang mampu untuk menjadi obat penawar? Jawabannya adalah seniman itu sendiri, asal ia punya keinginan untuk terbuka dan menyadari kalau penyakit itu hadir karena ulahnya sendiri.

Perlunya Ruang dialog dan iven kreatifitas bersama
 Kurangnya komunikasi sesama seniman teater sehingga menciptakan sekat-sekat dan gap menyebabkan interaksi yang seharusnya dapat dibina dengan baik jarang terjadi, inilah yang tidak disadari oleh seniman teater di Sumatera Barat. Padahal perkembangan teater hari ini di Indonesia terus saja bergerak maju dalam bentuk eksplorasi-eksplorasi gagasan-pertunjukan secara artistik-estetik, pembenahan manajemen kelompok/komunitas secara baik, membangun jejaring kesenian seluas-luasnya, sehingga kendala-kendala dalam berteater baik menyangkut proses kreatif, pendanaan, interaksi sesama seniman dapat teratasi.
 Sementara di daerah (Sumatera Barat) pikiran teater hanya sibuk dalam konteks mengedepankan eksistensi masing-masing ‘inilah aku, kau tidak ada apa-apanya’  kesalahan dalam cara pandang ini diharapkan memang harus bisa disikapi secara bersama. Melihat teater Sumatera Barat berada pada tiga tempat yang strategis yaitu Padang, Padangpanjang dan Payakumbuh. Hal ini, sangat memberikan peluang bagi seniman yang mau membuka diri untuk saling bahu-membahu dalam menciptakan iklim berteater di Sumatera Barat yang kondusif dan Indonesia secara umum.
Ruang dialog seniman teater Sumatera Barat dan iven kreatifitas bersama adalah jawaban untuk menjernihkan segala persoalan yang dialami oleh seniman-seniman teater itu sendiri juga menjadi obat dari penyakit hati yang sudah bersarang selama ini. Tentunya, banyak sekali nilai positif yang dapat diambil dari ruang dialog dan kreativitas dilakukan yaitu, (1) membangun ruang komunikasi dan silaturrahmi sesama seniman teater Sumatera Barat dalam konteks meng-eleminir kecenderungan gap-gap dalam berkesenian teater juga menepis semua penyakit hati seniman teater yang cenderung arogan dan infantil, (2) mampu menjadi ruang efektif dalam berbagi informasi dari seluruh aspek yang bersentuhan dengan teater seperti proses kreatif, penyutradaraan, keaktoran, manajemen kesenian, jejaring kesenian dan lain-lain, (3) dengan adanya ruang ini maka kendala-kendala yang menyangkut  pendanaan proses kreatif dan pementasan, sebagai langkah untuk menghidupi teater Sumatera Barat dapat teratasi dengan baik, dan (4) teater Sumatera Barat benar-benar mampu diperhitungkan dalam percaturan teater secara Nasional bahkan Internasional. Salam Teater*


Solo, 12 Mei 2010
Penulis adalah Pemerhati Seni dan budaya
Khususnya Teater

Selasa, Mei 04, 2010

MAYUR: Tragedi Negeri yang Diparut dalam Ruang Kecil
(catatan kecil pertunjukan Teater Ruang berjudul Mayur karya/sutradara Ery Aryani).

Oleh: Afrizal Harun


Pertemuan sayur-mayur dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain bercerita tentang pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau manusia bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang "bertangan besi" (Joko Bibit Santoso)


Ketika lampu perlahan dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang panggung, perempuan dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui sebuah gerak teatrikal, perempuan membelakangi penonton menuju samping kanan, perempuan tersebut menepuk parut sehingga memberikan gambaran kehidupan yang jatuh lalu diinjak tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak jantung dalam mengawali pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja lelaki 1) dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam muncul dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong (sebut saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah gambaran kehidupan yang absurd.

Tanpa kata, namun pertunjukan berusaha memberikan ruang komunikasi dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh, sett, properti, dan pencahayaan sebagai teks pertunjukan yang penuh dengan muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki berdialog bersama parut dan tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh layaknya fenomena teater tubuh yang begitu menjadi perhatian dalam perkembangan teater kontemporer di Indonesia saat sekarang ini seperti Teater Sae (Budi S Otong), Teater Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman Sabur), komunitas seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin), Teater Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya Setiawati), namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang berbeda dalam menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba tidak ‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum pertunjukan dimulai) mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara mentah-mentah, karena jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak untuk digali dan dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater Indonesia.

Kembali pada pertunjukan, perempuan kembali muncul dengan membawa parut berukuran besar, ditengahnya tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba memahami parut besar dalam konteks tekanan-tekanan. Perempuan meniduri ribuan paku yang tertancap pada papan parut, bercinta dengan keperihan dan kepahitan, walaupun terkadang sedikit kosong. Perempuan tetap saja berada pada posisi yang tidak begitu menguntungkan dalam kehidupan, sub-ordinat, eksploitasi, pelecehan, dan semua istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek marginalisasi gender. Kemudian, Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas batten lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1 muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang ke beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung Mayur pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu peristiwa dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan lagu “Bintang Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut layaknya Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk tangan-pun menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan pertanyaan dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?

Begitulah akhir dari pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur, karya/sutradara Ery Aryani yang dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung Tanggul Dawung Wetan RT 3/15, Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei 2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan yang sama juga sudah digelar pada hari sebelumnya, taanggal 30 April 2010.

Tragedi negeri yang diparut dalam ruang kecil
Barangkali saja, ini hanyalah sebuah interpretasi penulis dalam menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara Ery Aryani produksi teater Ruang Surakarta. Walaupun banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa dimunculkan dalam pertunjukan ini. Sebuah peristiwa pertunjukan yang menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam mengkomunikasikan teks-teks sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman tersirat, karena teks pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan Indonesia, yang begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus globalisasi menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi subur, karena pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky Fred Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah berubah menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup dan lain sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh carut-marut, kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana bernama teater tubuh.

Panggung kecil dalam kantong kebudayaan dan seni pertunjukan yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater Ruang mencoba memberikan penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan pencahayaan. Walaupun secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana, sutradara Ery Aryani mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur mayur selama satu bulan” karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami pernah membeli sayur mayur dari para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual kepada para pedagang di Pasar Legi Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan sayur yang sempat rugi Rp 4 juta akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk membuat pertunjukan Mayur. Selama satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi bentuk, dan mencari kemungkinan-kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan properti sehingga menghasilkan sebuah karya teater tubuh yang layak untuk diapresiasi.

Bukan hanya sekedar pujian, barangkali sebuah kritik juga akan bisa membantu untuk proses selanjutnya. Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila ini dieksplorasi lagi lebih mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan kekuatan-kekuatan baru dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan “saya hanya suka melihat pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain juga mengatakan “karena posisi saya begitu awam dengan teater, karena saya mahasiswa tari. Saya melihat pertunjukan malam ini seperti koreografi tari karena tidak ada dialog sedikitpun, walaupun hanya tembang, tapi tetap saja yang saya lihat adalah tari”. sebuah komentar yang harus disikapi dengan cermat dan bijak.

Penulis begitu mengapresiasi semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit Santoso dalam melakukan proses kreatif teater, menciptakan kantong-kantong pertunjukan sendiri walau sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif sehingga menjadi catatan tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati dalam melakukan proses eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh itu sendiri sehingga tidak terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial, tanpa sebuah motivasi laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks pertunjukan hanyalah sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh setidaknya mampu menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang dicermati dalam peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas pentas. Salam Teater*


Solo, 2 Mei 2010


Link Terkait: http://afrizalharun.blogspot.com