Rabu, Juni 02, 2010

SEBUAH KECEMASAN YANG BERLEBIH-LEBIHAN [Tanggapan untuk tulisan Afrizal Harun]

Oleh : Alee Kitonanma,
anggota teater imam bonjol.

Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 23 Mei 2010



Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Afrizal Harun “SenimanTeater Sumatera Barat: Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian” yang terbit di koran Padang Ekspres edisi 16 Mei 2010. Dalam tulisan tersebut, Afrizal Harun mengemukakan beberapa pikiran tentang seniman teater di Sumatra Barat.

Pertama, seniman Sumatra Barat memperlihatkan kepongahan dalam berkesenian. Kepongahan ini terutama muncul di kalangan seniman yang merasa diri punya kekuatan lebih dari apa yang sesungguhnya mereka miliki. Afrizal menyebut kecendrungan itu sebagai “panyakit Post-Power Syndrome.”

Saya berpandangan, arogansi yang muncul (kalau pun demikian realitasnya) adalah keawajaran belaka jika memang didukung oleh karya yang dihasilkan. Sebab, untuk memproduksi sebuah pementasan teater, kita tahu, para seniman teater melewati proses yang luar biasa. Mereka latihan berbulan-bulan tanpa menerima upah yang setimpal. Mereka dengan sukarela menghabiskan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk itu. Kemudian tidak jarang, mereka melewati konflik-konflik sesama aktor, atau dengan sutradara yang terkadang terasa menambah beban hidup demi mengharapkan tepuk tangan para penonton setelah pementasan usai. Apakah salah kiranya kalau seniman teater kemudian merasa puas, bangga, dan mungkin terkesan arogan—walaupun sebenarnya saya tidak yakin kata itu yang cocok dipakai untuk melihat realitas berkesenian hari ini di Sumatera Barat.

Kedua, Afrizal Harun menganggap seniman teater di Sumatera Barat dalam sepuluh tahun terakhir terkesan anti kritik, emosional dalam menanggapi kritik. Ini disebabkan karena, tutur Afrizal, adanya gap-gap, jurang-jurang yang memisahkan pekerja teater di Sumatera Barat. Afirzal Harun menulis: “Paradigma gap (jurang pemisah, kesenjangan) seperti ini telah menjadikan pribadi seniman teater cendrung anti-kritik dan emosional dalam menyikapi persoalan berteater yang sedang dihadapi.”

Pertanyaan saya, apakah benar telah tercipta gap-gap yang demikian lebar sehingga menyebabkan pekerja teater menjadi anti-kritik? Apakah memang separah itukah kehidupan teater Sumatera Barat? Saya rasa tidak, “Berperang Pikiran” merupakan sebuah pancingan untuk menghadirkan ide-ide baru ke depannya. Setidaknya, usai perdebatan, menyisakan hal-hal yang dapat diambil dari gagasan orang lain. Sepanas-panas apapun diskusi karya, toh belum ada terdengar kabar seorang seniman teater saling tidak bertegur sapa, atau saling benci setelah perdebatan teater usai. Bahkan tidak jarang kita melihat mereka tertawa riuh bersama di kedai kopi, atau bertemu di jalan setelah berperang pikiran di belakang pentas atau di media masa.

Ketiga, Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur dalam berkesenian, dengan membandingkan seniman teater Sumatra Barat dengan sepuluh lebih seniman teater di Indonesia yang terkenal. Setelah itu mengemukakan alasan mengapa mereka bisa exist di dunia teater. Berikut kutipannya; “Hal itu tercermin karena mereka berproses secara intens, kontinyu, dewasa dalam menyikapi teater Indonesia sehingga melahirkan karya-karya yang layak diapresiasi sampai saat sekarang ini.” Bukankah dengan kata lain Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan seorang seniman teater. Saya rasa tidak seperti itu. Dunia teater bukanlah dunia sinetron yang sering “kita” tonton. Sering muncul, laris di pasaran, dan selalu rutin berkarya bukanlah tujuan utama dalam berteater. Bukankah kita lebih mengutamakan proses dan pembelajaran?

Pertanyaan yang juga muncul dari kutipan esai Afrizal Harun di atas untuk keteateran Sumatra Barat hari ini adalah; “Mengapa teater Sumatra Barat tidak sepopuler teater yang ada di luar?” Di daerah Jawa misalnya, para seniman berkesenian dengan kemapanan, menjual tiket pementasan teater dengan harga ratusan ribu perkepala adalah hal yang biasa. Begitu juga halnya dengan penonton, kesiapan dalam materil menjadi syarat utama untuk mendapatkan tontonan teater yang entah berguna entah tidak bagi mereka. Kemudian gedung pertunjukan pun penuh sesak. Sampai-sampai penonton harus memesan tiket jauh-jauh hari. Layaknya sebuah penerbangan pesawat terbang pada musim libur dan mudik. Hal inilah yang menjadi kecemasan bagi Afrizal Harun, lalu muncul perkiraan Afrizal Harun berupa keluhan-keluhan para seniman teater Sumatra Barat yang menurut Afrizal Harun tudak bisa dihindarkan lagi. Seperti kutipan berikut ini; “(1) mengenai minimnya dana produksi (2) proposal pertunjukan belum dikabulkan oleh pihak donator Instansi pemerintah dan swasta, dan (3) tiket pertunjukan belum begitu membudaya karena kecendrungan penonton ingin menyaksikan teater secara gratis.

Seperti kita rasakan bersama, iklim teater Sumatra Barat dari dulu sampai hari ini, para seniman teater memang melakukan pertunjukan teater dengan musiman, bila ada iven, festival, atau diundang untuk mengisi sebuah acara. Berdasarkan sejarah kultur di Minangkabau, segala bentuk permainan anak nagari di mainkan ketika mereka butuh saja. Mereka bermain atas kesenangan saja. Tidak tergantung mapan atau tidak. Ketika keinginan itu muncul, latihan tidak dapat dibendung lagi, lalu hadirlah mereka di atas pentas, entah dapat dana dari mana, entah ada dana atau tidak. Pernahkah kita mendengar sebuah pertujukan teater di Sumatra Barat dibatalkan karena tidak mendapatkan dana? Permasalahan yang sama muncul dari pikiran penonton. Sebagai anak nagari yang menikmati seni, wajarlah sebuah pementasan teater sepi ketika penonton harus merogoh saku dulu. Tapi pernahkah kita mendengar, seniman teater menjadi pesimis dan tidak mau berkarya lagi karena minimnya penonton yang datang ketika sebuah pementasan menjual tiket? Satu lagi kutipan dari tulisan Afrizal Harun; “Sehingga banyak seniman-seniman teater yang sebelumnya produktif berkarya menjadi pesimis, mengurangi proses kreatifnya atau bahkan meninggalkan teater itu sendiri.” Agaknya, sedikit lucu kalimat di atas.

Keempat, tidak adanya ruang dialog dan iven kreatifitas bersama antar komunitas dan seniman teater. Afrizal Harun mengatakan; “Berkaca pada situasi ‘seniman teater’ Sumatra Barat hari ini, penulis menilai, iklim kesenian teater tidak ubahnya seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Suatu suasana permainan yang penuh persaingan, gap-gap, penuh kecurigaan, ambisi, anti-kritik, emosional, dan lain-lain.” Adanya Temu Karya satu kali empat bulan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas seni dan teater di Sumatra Barat merupakan sebuah pernyataan bahwa komunitas teater tidak memiliki gap-gap dan mengutamakan arogansi dalam berkesenian seperti yang diperkirakan Afrizal Harun. Kemudian, tidak sedikit acara yang di selenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara di sana. Pada tanggal 28 April 2010 lalu, Penggiat sastra UNAND menggelar acara “Seribu Puisi Untuk Chairil Anwar,” para penyair dan sastrawan Sumatra Barat menyumbangkan puisinya dalam acara tersebut. Terlihat para penggiat seni yang pada umumnya pekerja teater saling memberikan dukungan dan partisipasi dalam acara tersebut. Jelas, ini bukan hanya ajang silahturahmi antar komunitas seni, tapi mereka menunjukkan keakraban mereka dalam berkesenian.

Tidak hanya itu, bahkan satu komunitas tidak segan-segan mengundang personil dari komunitas lain untuk ikut “bermain” dalam sebuah pementasan. Seperti halnya pementasan “Rumah Jantan” produksi Teater Noktah kerya Syuhendri pada pertengahan Juli 2009 lalu. Di sana membaurlah tim produksi dan tim artistik yang tergolong dari komunitas yang berbeda. Seperti Julnadi yang berasal dari Teater Imambonjol, Rio SY dari komunitas Teater Oase, Tatang Rusmana, M.Sn dari ISI Padangpanjang dan lain sebagainya. Terbukti, mereka membuka diri satu sama lain, bermain asik, tanpa ada rasa pongah, rasa ingin muncul dan menang sendiri.

Sebagai orang akedimisi yang memberikan pandangan pada dunia teater, seharusnya Afrizal Harun mengadakan penelitian untuk menulis iklim teater Sumatra Barat hari ini. Tidak hanya menyangkal dan memperhatikan dari jauh.

Tapi, ada benarnya juga Afrizal Harun Berkata demikian, barangkali Afrizal Harun kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda, seperti, tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dengan seniman-seniman muda. Barangkali kita mencemaskan hal yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar