Rabu, Juli 28, 2010

PUTRI EMBUN DAN PANGERAN BINTANG: Imaji-imaji yang begitu liar


 (catatan pertunjukan Bengkel Mime Theatre, di Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 29-30 Mei 2010).

Oleh: Afrizal Harun

Ketika sutradara (Andi Sri Wahyudi) meminta saya untuk mencatat beberapa komentar dan kritik mengenai pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’, suatu kehormatan dan kepercayaan yang tidak mungkin saya tolak begitu saja. Dengan segala keterbatasan dalam dunia penulisan, akhirnya saya-pun mencoba memulainya, membuka catatan kecil yang tersimpan dalam handphone, dan mengingat-ingat kembali struktur pertunjukan yang ditampilkan pada malam itu. Mudah-mudahan komentar dan kritik ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk kelancaran proses karya ini selanjutnya.
Sebuah pertunjukan kategori Inovatif yang didukung oleh Yayasan Kelola. Bengkel Mime Theatre melalui pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ mencoba memberikan sebuah tawaran visual yang baru, berbeda, dibandingkan pertunjukan-pertunjukan mereka sebelumnya seperti Suspect, Aku Malas Pulang ke Rumah, Repertoar Tiga Fragmen (Three Little Duck, Rudi Berangkat Sekolah, dan Becakku Hilang Bersama Angin) dan lain-lain.
Bila pertunjukan mereka terdahulu lebih menonjol pada aspek keaktoran dalam membangun imaji-imaji dramatik pertunjukan. Kali ini, pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ lebih spesifik memberikan tawaran visual artistik kepada penonton dalam bentuk pengolahan setting panggung, pencahayaan, properti dan kostum. Malam itu, Bengkel Mime Theatre betul-betul melakukannya secara maksimal. Mata dan perasaan penonton seolah-olah dimanjakan untuk larut pada ruang imaji yang penuh dengan fantasi-fantasi. Mereka masuk pada sebuah negeri entah berantah, mungkin saja tentang kerajaan bulan dan bintang. Suatu eksplorasi yang begitu menakjubkan.
Hal lain yang patut kita apresiasi bersama adalah kemampuan mereka dalam mengolah kostum dan properti pemain. Kostum dan properti yang mereka kenakan berangkat dari perkakas rumah tangga seperti wajan, panci, sendok, garpu, baskom, ember, kursi, meja, drum, mangkok, botol bekas air mineral, tempat sampah, hanger, tali jemuran, taplak dan lain-lain.
Kehadiran perkakas rumah tangga ini tidak lagi bernilai fungsi seperti apa yang kita pahami dalam keseharian, namun telah berubah menjadi pernak-pernik kostum dan properti yang ditata secara cerdas dan inovatif. Dari eksplorasi ini maka hadirlah tokoh-tokoh seperti Mat Panci, Nenek Kursi, Kakek Meja, Pemuda Wajan, Detektif, Prajurit Malam, Anjing Besi dan Adhik Bunga. Walaupun ada juga para pemain yang tidak berangkat dari perkakas rumah tangga seperti Pangeran Bintang, Putri Embun, Malaikat Kecil, dan Gadis Bulan.
Begitulah sutradara dan beberapa pemain lain seperti Ari Dwianto, Hindra Setyarini, Eka Nusa Pratiwi, Asita, Ficky Tri Sanjaya, Setyadi, Bagus Taufiqurahman, M. Ahmad Jalidu, Nunung Deni Puspitasari, Megartruh dan Febrinawan melalui perkakas rumah tangga, mereka mencipta peristiwa –peristiwa  secara unik, komikal, dan lucu.
Pertunjukan ini dibagi menjadi tiga area permainan dengan beberapa struktur ceritanya, yaitu (1) depan gedung Societed, layaknya seperti pasar malam. Penonton dihadapkan situasi yang anti-fokus. Semua menjadi sembrawut, benang kusut yang tidak teratur. Tidak ada penanda untuk mulainya pertunjukan ini. Penonton dan pemain telah lebur menjadi satu, komentator begitu asyik dengan pengeras suaranya, lelaki menimba sumur, perempuan sedang mencuci baju, penjual Jus, pembuat kue, perempuan mengayuh sepedanya di keramaian, perempuan sedang membaca disudut cahaya lampu, lelaki sedang merias seorang bocah, dan seorang pemuda di dalam cerita ini bernama Fredy sedang menyapu sampah di jalanan. Karena letih ia-pun duduk di sebuah pohon besar, saat itulah dirinya berada dalam lamunan, malaikat kecil kemudian hadir dan mengajak lamunannya bercengkrama tentang imaji-imaji, semua benda-benda yang tadinya hanya diam mulai hidup dan bergerak, terbang menelusuri lorong waktu menuju dunia fantasi, (2) di ruang tengah gedung Societed, penonton kembali dibawa pada masa transisi antara ruang imaji dan kenyataan. Pemuda desa bernama Fredy telah berubah wujud menjadi pangeran Bintang. Ia mulai bergelut dengan imajinasinya, bertemu dengan tokoh-tokoh dari perkakas rumah tangga yang hidup, dan (3) di atas pentas dalam gedung Societed, penonton dihadapkan pada dunia fantasi tentang Kerajaan Bintang dan Bulan. Pangeran Bintang bertemu dengan gadis cantik dan periang bernama Putri Embun. Mereka berdua menjalin hubungan asmara, bercanda dan bermain dengan riangnya. Hubungan mereka mulai terusik, ketika Pemuda Wajan muncul bersama prajuritnya berusaha  merebut hati Puteri Embun, mereka berperang satu sama lain. Akhirnya, Puteri Empun berhasil dibawa lari oleh Pemuda Wajan. Pangeran Bintang sangat kesal, bersama para sahabatnya ia-pun mencari dimana Puteri Embun berada. Setelah Puteri Embun berhasil mereka selamatkan. Pemuda Wajan dan prajuritnya marah besar, akhirnya mereka kembali bertempur. Puteri Embun berusaha melerai perkelahian mereka berdua. Ketika Pemuda Wajan memberikan setangkai bunga, Puteri Embun menolaknya, Ia-pun menerima bunga pemberian dari Pangeran Bintang. Anehnya, bunga tersebut malah diserahkan pada Mat Panci, sosok tokoh yang tidak begitu menjadi fokus dalam cerita ini secara tidak terduga telah mencuri perhatian penonton waktu itu. Dalam kesedihan Pangeran Bintang, Gadis Bulan mencoba menghibur hatinya yang sedang gundah dengan sebuah lagu.
Sutaradara menaiki panggung, dan selesai sudah cerita ini dengan beribu tanda tanya dibenak kita. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini? Semua menjadi liar dan berakhir begitu saja. Para pemain dengan seperangkat properti dan kostum yang digunakan terasa begitu lelah dalam memaknai apa yang telah mereka lakukan. Asumsi ini barangkali saja bisa benar, atau malah sebaliknya.

Imaji-imaji yang Liar: Sutradara telah membunuh Ekspresi para Aktornya
            Mengamati pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ ini dari awal sampai akhir, saya melihat ada satu yang terlupakan dari proses ini yaitu pentingnya membangun peristiwa dramatik. Sebagai kelompok yang berangkat pada basis pantomim, Bengkel Mime Theatre selalu hadir dengan kemampuan dan kecerdasan para aktornya dalam mengolah peristiwa melalui akting (ekspresi, gestur) yang komikal, satir, parodi, lentur dan lucu. Dari beberapa rekaman video pertunjukan yang saya amati, memang kemampuan para aktor Bengkel Mime Theatre merupakan faktor utama dan dominan dalam menyikapi setiap cerita yang diperankan. Hampir setiap suasana sedih, senang, gembira, putus asa, tangis, tawa dan kecewa diolah sedemikian rupa menjadi perpaduan yang utuh (unity), kompleks dan intens.
Namun, dalam pentas ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ kali ini, saya tidak melihat keunggulan itu hadir dan muncul di atas panggung. Semua bergerak secara sendiri-sendiri, sehingga hampir keseluruhan adegan yang dibangun kehilangan nilai motivasinya. Interaksi pemain hanyalah sebuah gambaran yang lewat begitu saja, pergi kemudian bertemu lagi dan begitu seterusnya. Pangeran Bintang, Puteri Embun dan Gadis Bulan dan pemain bertubuh wajan, panci, bunga, besi dan lain-lain tidak mampu mengangkat peristiwa dramatik secara baik, terkesan masih menoton dan datar (flat). Barangkali saja karena keterbatasan proses latihan sehingga para pemain terlihat begitu masih direpotkan oleh properti dan kostum yang digunakan.
Begitu dominan dan liarnya imaji-imaji sutradara dalam penggarapan artistik seperti setting, properti, pencahayaan (panggung dan properti) dan kostum.  Sehingga saya mencermati bahwa sutradara tidak begitu fokus pada pengolahan akting pemain dan memperkuat struktur dramatik cerita. Wajar tidak terlihat peristiwa mana yang harus ditonjolakan (emphasis) dalam cerita ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ ini, apakah Pangeran Bintang, Puteri Embun, Pemuda Wajan, Mat panci, Gadis Bulan atau pemuda desa bernama Fredy.
Senada dengan hal di atas, beberapa komentar dari penonton sehabis pertunjukan juga memandang hal yang sama mengenai pertunjukan ini berkaitan tentang dominannya unsur artistik sehingga mematikan peranan aktor di atas panggung, kurangnya fokus penceritaan, pemain sangat direpotkan oleh properti yang digunakan dan akhir cerita yang tidak kuat sehingga tidak menemukan esensi sebenarnya yang ingin disampaikan sutradara dalam pertunjukan ini.

Ilustrasi Musik yang Mengganggu
Musik jelas merupakan faktor pendukung dalam membantu dan mempertegas suasana adegan dalam pertunjukan. Musik secara internal bisa saja muncul melalui pemain dalam menyikapi sett dan properti di atas panggung. Secara eksternal musik dapat dihadirkan secara langsung (live) maupun musik digital (komputerisasi). Pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ hampir secara keseluruhan menggunakan musik digital. Setiap ilustrasi yang muncul dari musik digital seyogianya dapat membantu, memperkuat dan mempertegas suasana dramatik pertunjukan. Namun. Justru kehadirannya malah mengganggu setiap suasana adegan yang tengah dibangun. Musik yang ditata oleh Ari Wulu cenderung bergerak secara sendiri-sendiri, banyak pengulangan-pengulangan dan tidak menyatu dengan aktor di atas panggung sehingga melemahkan peranan aktor dalam mewujudkan dramatik cerita.
Alangkah baiknya pertunjukan ini tidak menggunakan musik digital seperti itu, tetapi menghadirkan beberapa peralatan alat seperti Piano, Biola, Cello, Xylophone, Timpani, dan lain-lain layaknya mini orkestra dengan beberapa orang pemain musik mengetengahkan ilustrasi dan efek bunyi yang sesuai dengan kebutuhan cerita. Hadirnya bentuk musik non-digital ini diharapkan antara aktor, setting, properti, pencahayaan, akan terlihat penyatuan-penyatuan adegan yang begitu kuat dan saling mengisi antara satu dengan yang lain. Namun, pertunjukan malam itu telah memberikan refleksi yang besar bagi kita sebagi penonton, berangkat dari sebuah imaji yang begitu sederhana namun telah melahirkan sebuah proses yang sungguh luar biasa. Salut untuk Bengkel Mime Theatre. Salam Teater*


Solo, 31 Mei 2010

Penulis adalah Pemerhati Seni dan budaya
Khususnya Teater