Rabu, Juni 02, 2010

SEMOGA AROGANSI DAN INFANTILISME BERKESENIAN ITU CAIR


Oleh: Ganda Cipta
Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 30 Mei 2010


Benarkah seniman teater Sumatera Barat berkesenian antara sikap arogan dan kekanak-kanak? Atau itu hanyalah suatu kecemasan yang berlebih-lebihan dari Afrizal Harun, seorang teaterawan muda Sumatera Barat? Inilah yang menjadi pertanyaan besar dari Alee Kitonanma dalam tulisannya, Sebuah Kecemasan yang Berlebih-lebihan (Padang Ekspres, 23 Mei 2009, halaman 16)

Tulisan tersebut merupakan tanggapan dari tulisan Afrizal Harun yang dimuat pada koran dan halaman yang sama, seminggu sebelumnya. Dengan judul Senimat Teater Sumatera Barat, Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian.

Dari tulisan Afrizal Harun, saya mengambil kesimpulan, bahwa iklim teater di Sumbar cenderung arogan dan invantil. Di mana penyebabnya utamanya adalah dana untuk memproduksi karya yang terbatas dan sulit didapatkan. Kemudian dari ketersedian dana yang terbatas itu, para pelaku teater mesti saling saing, saling rebut, atau bahkan saling sikut. Layaknya orang-orang yang terjebak berhari-hari di tengah padang pasir luas bertemu satu sumber mata air.

Dari sana persaingan bermula. Para pelaku seni (oknum) yang sering kalah bersaing, dan tidak mampu mengakali jalannya produksi karya mereka, lebih banyak ngomong dari pada berkesenian. Sebagaimana Babab, begitulah panggilan akrab Afrizal Harun, saya juga merasakan arogansi dari sejumlah oknum teater di Sumbar ini.

Banyak contoh yang telah bersua oleh saya, selama 7 tahun saya berdekatan dengan dunia teater Sumbar (waktu yang masih pendek tentunya). Sebuah atau beberapa group yang sering mendapat dana hibah dari berbagai sumber sering dipergunjingkan. Gawatnya, pergunjingan tersebut sering juga disampaikan ke tengah anak-anak muda yang baru bersentuhan dengan seni yang komplit dan kompleks ini. Secara tidak langsung para oknum ini, mengajak anak-anak muda itu, untuk tidak respek terhadap group yang sedang mereka pergunjingkan. Inilah salah satu penyebab gap itu menganga.

Contoh lain, ketika satu komunitas atau institusi pemerintahan membuat sebuah event, yang dengan dana terbatas, tentunya tidak bisa merangkul seluruh group yang ada, para oknum teater yang tidak dibawa serta, sering pula mencak-mencak. Tak jarang mereka menuduh, group yang ikut serta dalam sebuah ivent adalah group “dalam rangka”. Kalau ada iven baru berkesenian, kalau tidak, tidur dalam khayalan-khayalan kreativitasnya. Padahal, tanpa mereka (oknum) sadari, hal yang sama juga mereka lakukan. Bukankah ini sifat yang kekanak-kanakan?

Pada kesempatan lain saya juga menemukan arogansi sebagaimana dimaksudkan Afrizal, dalam bentuknya yang lain barangkali. Oknum tersebut merasa dan sering mengungkapkan, bahwa dia telah berpuluh tahun berkesenian, dan telah banyak karya yang dibuat dan dimainkan, tapi kenapa tidak mereka yang diundang. Lalu pertanyaan muncul dari kegelisahan oknum tersebut, apakah saya tidak seniman pula? Saya rasa itu juga sebuah bentuk arogansi berkesenian.

Jadi saya setuju dengan unek-unek Babab dalam tulisannya tersebut. Tapi pertanyaan kemudian yang ingin saya munculkan, apakah tak pernah disadari dan dilakukan perbaikan terhadap geliat buruk itu? Dengan yakin dan percaya saya ingin menjawabnya sendiri dalam kesempatan ini. Pernah dan sedang dilakukan.

Lalu siapa yang melakukannya? Mereka adalah para pemula atau anak-anak muda yang baru seumur jagung berkecimpung dalam dunia teater. Dari bantuan “kaum tua” yang sadar akan buruknya persaingan dunia teater kita dari berpuluh tahun yang lalu. Dari kaum tua tersebut, para pemula ini mendapatkan cerita tentang buruknya sejarah geliat teater Sumbar, dan itupun masih terasa sampai kini, saat mereka bersentuhan langsung. Dan tidak sekedar hanya mendapatkan cerita.

Dalam hal ini, saya tidak bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang mensinyalir Afrizal Harun –atau barangkali Alee sendiri?- kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda. Seperti tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dan seniman-seniman muda.

Pada kemudian, mereka merapatkan barisan, saling membuka diri dan bersilaturhmi. Membangun jejaring antar individu dam komunitas. Tidak hanya di Sumbar saja, tapi melebar hingga ke luar. Tidak hanya pada satu genre kesenian saja, tapi melintas antar genre seni lainnya. Tidak hanya kalangan mereka saja, tapi juga pada seniman yang telah lebih dahulu bereksenian daripada mereka. Hal itu saya rasakan, karena saya bagian dari mereka, anak-anak muda atau pemula.

Buktinya, antara lain bisa dilihat dalam catatan-catatan pementasan yang sering muncul di media cetak daerah ini. Sebagian besar yang menulis itu adalah anak muda. Dan tak ada saya temukan kritikan dalam catatan-catatan itu keluar dari konteks pementasan. Anak-anak muda ini tetap menulis catatan pementasan, tanpa memandang siapa dan group mana yang tampil

Meskipun harus diakui pula, bukan berarti pergunjingan antara mereka tidak ada. Namun pergunjingan itu hanya sebatas dalam komunitas masing-masing mereka, tidak dibawa keluar. Yang lebih sebagai bahan introspeksi diri. Sehingga kerapatan barisan yang telah disusun, sampai saat ini, setahu saya masih kokoh berdiri.

Dalam hal ini saya bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang dalam tulisannya tersebut mengatakan, tidak sedikit acara yang diselenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara yang dibuat. Seperti acara “Seribu Puisi Untuk Chairli Anwar” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Sastra Unand. Di mana anak-anak muda penggiat seni teater dari berbagai komunitas juga terlibat dalam acara tersebut. Yang memperlihatkan ajang tersebut bukan sekedar silaturrahmi antar komunitas, tapi juga menunjukan keakraban mereka dalam berkesenian.

Lalu timbul pula pertanyaan lain. Apakah kesadaran dari generasi muda seniman Sumatera Barat untuk melakukan perubahan terhadap arogansi dan infatilisme berkesenian para seniman Sumatera Barat secara umum, sebagaimana dinyatakan Afrizal Harun itu, telah berhasil?
 
Seperti yang saya beberkan dalam tulisan di atas, maka saya menjawabnya belum. Dan saya meragukan, hal ini bisa merubah prilaku arogansi dan infantilisme pada sejumlah oknum seniman.

Namun, saya melihat ada harapan yang muncul dari kesadaran para anak-anak muda atau pemula itu. Kesadaran untuk tidak mengulang hal yang sama, yang menjadikan persoalan uang sebagai pemicu retaknya hubungan harmonis yang sedang mereka bangun ini, hingga ketika kelak mereka jadi tua dan jadi panutan pada generasi selanjutnya. Mudah-mudahan!


Penulis adalah penikmat dan pengamat seni teater


Tidak ada komentar:

Posting Komentar