Senin, Januari 17, 2011

MERASAKAN MINANGKABAU LEWAT FILM (Catatan Pameran Skenario dan Pemutaran Film Mahasiswa Jurusan Televisi ISI Padangpanjang)


Oleh: Edi Suisno dan Afrizal Harun
Koran Haluan, 9 Januari 2011


Tanggal 5-6 Januari 2011, Jurusan Televisi ISI Padangpanjang menyelenggarakan Pameran Skenario dan Pemutaran film dokumenter, fiksi, dan iklan layanan masyarakat sebagai bentuk agenda ujian akhir mahasiswa Jurusan Televisi. Nilai-nilai budaya, sejarah, dan kritik terhadap eksploitasi manusia (anak) menjadi sumber inspirasi utama dalam karya-karya yang mereka ciptakan.
Tiga jenis skenario yang dipamerkan dalam acara tersebut adalah: skenario film berjudul Jadul karya Novalina, Mak Tambaro karya Riri Irma Suryani, dan Koordinat  4820 karya Indah Susanti. Skenario film Jadul karya Novalina menceritakan tentang kisah seorang Sumando dari Jawa yang hidup dalam kultur Minangkabau. Skenario film Mak Tambaro karya Riri Irma Suryani, bercerita tentang implikasi jemputan dalam adat di Minangkabau. Sementara, skenario film berjudul Koordinat 4820 menceritakan tentang misi penyelamatan orang hilang dalam pendakian di gunung Singgalang.
Secara umum, tiga skenario yang dipamerkan nampak menghadirkan berbagai ‘bias’ terhadap fenomena kultur (Minangkabau) sebagai latar cerita. Jika Mak Tambaro hadir sebagai bentuk ‘gugatan’ terhadap keberadaan jemputan yang acapkali mereduksi kekerabatan sosial di Pariaman, maka Jadul diwujudkan  sebagai  pikiran kritis sang penulis terhadap ketimpangan sistem matrilineal di Minangkabau, tentu saja dalam sudut pandang yang ‘radikal’ dari seorang sumando urban (Jawa). Begitupun dengan Koordinat 8420, Indah Susanti nampaknya mencoba memotret prilaku anak muda Minangkabau yang melakukan perlawanan terhadap kondisi keluarga yang broken home. Hutan dan lereng gunung tiba-tiba menjadi tempat yang nyaman untuk melampiaskan perlawanan tersebut, meskipun resiko yang dihadapi justru merunyamkan persoalan.
Menelusuri konflik-konflik yang terdapat dalam tiga skenario tersebut, Nampak para penulis sudah berhasil mempertimbangkan struktur dramatik dalam rajutan alurnya. Penuturan konflik, juga sangat mempertimbang montage dan unsure-unsur videografi secara maksimal, sayang sekali penanda-penanda kultur tampak masih dieksplorasi secara global. Berbagai logika cerita, seringkali juga diterabas sehingga prilaku-prilaku yang muncul dalam dinamika karakter tampak terkesan ‘dipaksakan’. Pun begitu, tiga penulis skenario tersebut nampak mulai membekali semangat otokrtik pada tempat di mana ia berpijak secara ‘cerdas’ dan terkemas.
Terdapat tujuh karya yang menarik untuk diapresiasi dalam ajang tersebut yaitu: karya film berjudul Generasi Televisi oleh Edison, film dokumenter berjudul Pai ka Tampek karya Watnel Fitria, film fiksi berjudul Anak Pohon karya Depri Apriandi, film berjudul Ratapan Ibu sebuah Tugu karya Saufal Hadi, film dokumenter berjudul Tari Piring Suluah karya Dilmei Putra, film dokumenter berjudul Silek Pauah karya Toni Melza, dan penayangan tiga buah iklan layanan Masyarakat dengan tema Stop Ekspoitasi Anak karya Nurul Afdal Fitra.
Tiga karya film menonjol yang dapat dikedepankan di sini antara lain Anak Pohon karya Depri Apriandi, film Ratapan Ibu Sebuah Tugu karya Saupal Hadi dan tiga iklan layanan masyarakat dengan tema Stop Eksploitasi Anak karya Nurul Afdal Fitra. Anak Pohon karya Depri Apriandi menceritakan tentang seorang perempuan idiot (Ema) yang memiliki seorang anak (Son) di luar nikah. Konflik dalam lakon ini digentingkan secara runtut melalui kehadiran seorang perempuan (Susi) yang pernah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung perempuan idiot tersebut. Di akhir cerita, film ini menampilkan penyelesaian konflik secara mengejutkan, karena ternyata yang menghamili perempuan idiot tersebut adalah suami dari Susi sendiri. Jalinan konflik dalam film ini dituturkan secara logis, gambar-gambar dihadirkan secara filmis, alunan musik-pun diperdengarkan dengan sangat menyayat hati. Seluruh jalinan cerita mengalir secara ironis tanpa terkesan mendayu-dayu. Film ini semakin lengkap karena ditunjang oleh keaktoran para pemeran secara maksimal. Sayang sekali, casting para aktor yang tergolong masih muda, belum mampu memperlihatkan gambaran karakter secara fisik yang pas dengan tokoh di dalam cerita.
Film Ratapan Ibu Sebuah Tugu karya Saupal Hadi menceritakan tentang seorang nenek yang ditinggal suaminya yang gugur di masa perjuangan kemerdekaan. Nenek tersebut akhirnya dipertemukan dengan seorang anak nakal bernama Badu, ketika anak tersebut tengah mengejar layangan putus yang tersangkut di pohon depan rumahnya. Melalui cerita nenek tersebut, Badu akhirnya menyadari kenakalannya dan lahir kembali sebagai anak yang secara polos mencoba mengekspresikan rasa cintanya kepada tanah tumpah darah.
Tokoh-tokoh dalam Film Ratapan Ibu Sebuah Tugu terasa begitu unik dan memukau, gambar pun disajikan dengan sangat indah. Pilihan terhadap tone colour, agle kamera terlihat sangat ekslusif. Sayang sekali, tokoh-tokoh tidak diberikan ruang untuk berkembang dalam menajamkan dramatik cerita, sehingga interaksi tokoh-tokoh hanya terlihat selintas. Dialog yang dibuat minim pada akhirnya membatasi lahirnya ironi-ironi yang sesungguhnya sangat mungkin dihadirkan. Nampaknya, Saupal Hadi lebih percaya pada penonjolan bahasa gambar ketimbang kekuatan dramatik yang dimunculkan melalui dialog tokoh. Film-pun akhirnya terjebak pada landscape dokumentasi sejarah lokal. Namun demikian, film ini memang pantas mendapat apresiasi pada tingkatan gagasan atau ide  cerita.
Tiga iklan layanan masyarakat memiliki fokus pada tema eksploitasi anak sebagai komuditas untuk mendatangkan uang. Secara umum, tiga iklan tersebut dihadirkan dengan penggarapan editing yang sangat cermat dan maksimal. Metafor-metafor yang dipesankan dapat dikomunikasikan dengan baik. Bahkan, tiga sekuel iklan ini telah memenuhi kaidah spot, yakni memberikan pesan yang tajam dalam tayangan per detiknya. Sayang sekali, dalam beberapa gambar, Afdal terkesan masih sangat verbal dalam menuturkan iklannya. Pada adegan perkosaan perempuan di bawah umur misalnya, Afdal masih terkesan mengulang-ulang adegan, sehingga terlihat sedikit artifisial. Pun begitu, sentuhan iklan ini tidak hanya sanggup menyampaikan pesan, tetapi juga mampu menyajikan iklan secara artistik.
Sementara karya-karya yang lain seperti Pai ka Tampek karya Watnel Fitria, Tari Piring Suluah karya Dilmei Putra, Generasi Televisi oleh Edison dan Silek Pauah karya Toni Melza tampak memperlihatkan para kreator yang masih belum melengkapi karya-karyanya dengan gambar-gambar yang terencana secara maksimal. Narasi film yang dihadirkan, masih dodominasi oleh bahasa-bahasa verbal dan tidak tereksplorasi secara maksimal melalui bahasa gambar. Polemik obyek dokumentasi yang dihadirkan seperti dalam film dokumenter Tari Piring Suluah, Pai kaTtampek, dan Silek Pauah pun belum mengerucut secara tuntas. Bahkan dalam Generasi Televisi kecerdasan gagasan lakon yang menyoal dampak televisi justru terjebak pada bombase cerita yang terkesan sangat menggurui. Alhasil, karya film ini malah memperlihatkan gagasan yang justru mereduksi dan memiskinkan unsur-unsur film yang lain seperti kekuatan konflik, dinamika gambar, tampilan akting para pemeran di dalam film tersebut.
Di luar berbagai hal di atas, pameran dan pemutaran film oleh mahasiswa televisi ini tampaknya telah memberikan stimuluis besar terhadap para pembuat film, pemerhati film bahkan penonton awam sekali pun sebagai lecutan kreativitas. Hal ini penting untuk menjadikan Ranah Minang sebagai subjek maupun objek penciptaan film, yang akhir-akhir ini, terutama untuk jenis film-film Independen (lewat ajang Jiffest, festival confident, SCTV Award, festival Film Palembang, Festival Film Mahasiswa Nasional) ternyata telah diperhitungkan secara nasional. Lewat pameran dan pemutaran film ini, telah terbaca talenta-talenta muda, yang bisa jadi akan menyuburkan iklim perfilman daerah maupun nasional.

Roh- Jilatang, Sebuah Pementasan



Oleh: Afrizal Harun
Padang Ekspres, 9 januari 2011



Akhir Desember 2010, menjadi momentum berharga bagi kehidupan teater di Sumatera Barat, yaitu dilaksanakannya agenda Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2010 (disingkat FTI Award). Anugerah FTI Award merupakan agenda yang memiliki tujuan untuk memberikan penghargaan kepada seniman teater Indonesia yang dipandang telah memberikan kontribusi penting terhadap kehidupan dan perkembangan kesenian di Indonesia, khususnya teater. Semenjak didirikan pada tahun 2005, Anugerah FTI Award sudah diberikan kepada tokoh-tokoh teater seperti W.S Rendra (2006), Putu Wijaya (2007), Nano Riantiarno (2008), dan Slamet Rahardjo (2009).
Tahun 2010, agenda kelima dalam agenda Anugerah FTI Award diberikan kepada tokoh teater Indonesia yang berdomisili di Sumatera Barat yaitu Wisran Hadi. Pemberian Anugerah FTI Award  kepada Wisran Hadi dinilai sebagai suatu keharusan dengan alasan kontribusinya dalam percaturan teater Indonesia semenjak tahun 1976 sampai saat sekarang ini. Disamping sebagai sutradara teater, Wisran Hadi juga seorang penulis naskah drama yang sangat produktif.
Semenjak tahun 1976 sampai tahun 2003, Wisran Hadi selalu menjadi pemenang Sayembara naskah drama yang dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan beberapa dari naskah tersebut sudah pernah dipentaskan seperti Imam Bonjol, Gaung, Perguruan, Jalan Lurus, Ring, Cendra Mata, Anggun Nan Tongga, Malin Kundang, dan lain-lain. Alasan tersebut, dewan juri terdiri dari Jajang C. Noer, Amoroso Katamsi, Aspar Paturusi, Radhar Panca Dahana, dan Afrizal Malna memutuskan untuk agenda Anugerah FTI Award 2010 ini diberikan kepada tokoh teater Wisran Hadi.
Tanggal 26 Desember 2010, pukul 20.30 agenda FTI Awad diawali dengan dua buah pertunjukan teater yang berangkat dari karya Wisran Hadi, karya pertama berupa pertunjukan monolog yang diambil dari cerita Jilatang berbahasa Minang di koran Padang Ekspres karya Wisran Hadi, diperankan oleh Wendy H.S. Karya kedua berjudul Roh, sutradara Akbarudin.
 Cerita Jilatang pada dasarnya merupakan sebuah opini yang diwujudkan dalam bentuk dialog-dialog dua tokoh bernama Jila dan Atang. Dialog-dialog cerdas yang dihasilkan mencoba mencermati atau mengkritisi persoalan kehidupan masyarakat Minangkabau hari ini. Kemampuan Wisran Hadi dalam mengolah kata, kalimat menjadi struktur cerita yang konstruktif memang tidak diragukan lagi. Hampir semua cerita Jilatang yang terbit dalam koran Padang Ekspres edisi Minggu banyak mengupas persoalan-persoalan mendasar tentang isu-isu terkini dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sebut saja cerita Jilatang yang mengangkat tema tentang Urang Bisa Jadi Sia-Sia Se Sasudah Mati, Ubek Sakik Lidah, Takaja Di Ikue, Masin Politik dan masih banyak kisah-kisah menarik lainnya.
Wendy HS, seorang sutradara dan aktor LPPT Tambologi Padangpanjang menyikapi cerita Jilatang dengan cara melakukan transformasi dalam bentuk pertunjukan monolog. Cara pandang seperti ini, menurut hemat saya sangat menarik untuk diapresiasi. Terdapat tiga bagian yang ditampilkan Wendy yaitu (1) Banyak Nan Labiah Waras Pado Kalian Lai; (2) Sampai Bilo Awak Ka Dibantu Urang; dan (3) Curiga Indak, Hati Badatak Iyo. Transformasi teks Jilatang menuju pernyataan panggung secara verbal didukung oleh instrumen musik Barat mampu dielaborasi dengan baik. Secara keaktoran, Wendy memberikan tiga penafsiran terhadap bentuk karakter tokoh yang dimainkan yaitu Si pencerita, Jila dan Atang.
Apakah pertunjukan monolog Jilatang dapat dipahami pesannya dan komunikatif? Tentu jawabannya adalah iya. Bahasa Minangkabau yang diverbalkan dan tiga karakter tokoh yang dimunculkan oleh aktor mampu direspons oleh penonton, ditambah dengan pola gestur, ekspresi, warna vokal, gerak silat (kombinasi silat Minangkabau dan Wayang Wong) diekspresikan secara komikal dan sangat menghibur. Walaupun, ada beberapa aspek teknis yang barangkali saja hanyalah faktor lupa semata, atau karena terlalu bersemangat sehingga benar-benar lupa seperti terjadinya kebocoran-kebocoran karakter tokoh yang dimainkan. Warna Vokal Jila terkadang juga digunakan oleh Atang, begitu juga sebaliknya. Cara menyikapi relasi tokoh Jila dan Atang yang diwujudkan dengan dialog-dialog imajiner tidak dilakukan dengan konsisten, begitu juga tokoh si pencerita. Padahal, untuk menyikapi hal itu seharusnya Wendy sebagai aktor seharusnya mampu melakukan improvisasi untuk mengatasi kebocoran-kebocoran tafsir yang muncul dibenak penonton. Namun, terlepas dari persoalan teknis yang saya jabarkan, Wendy telah mampu menafsir teks Jilatang menjadi pertunjukan yang menarik dan menghibur.
Roh karya Wisran Hadi, sutradara Akbarudin ditampilkan dengan pola penggarapan yang berbeda. Sebuah karya naskah dan pertunjukan yang lebih menonjolkan persoalan filosofis, hakikat manusia yang dibahasakan secara puitik, batas ambang antara mimpi dan kenyataan, nilai-nilai kebenaran dan kekuasaan, hidup dan mati, sesaat dan keabadian, noda dan kesucian, baik dan buruk, Suri dipasung, hilang, merantau dan berada di mana-mana.  Lalu, mengapa kita harus mencari Suri, siapa Suri sebenarnya? Apakah Suri adalah nama lain dari hati nurani? Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir dalam memahami naskah Roh karya Wisran Hadi ini.
Konflik cerita mengenai Suri diwujudkan melalui perdebatan dua tokoh kunci dalam naskah tersebut dalam hal yaitu Ibu Suri, Manda dan tokoh-tokoh lain yang muncul sebagai produk mantra Manda sebagai roh dan arwah seperti kehadiran Datuk Ketemanggungan, Perpatih Nan Sabatang, Sutan, Raja Kaciak, Bandit dan lain-lain.
Set dan properti di atas panggung bergerak, mengitari area panggung dengan berbagai komposisi, terkadang juga berfungsi sebagai pintu, level  memberikan keunikan tersendiri terhadap rancangan skenografi panggung yang ditata secara maksimal, penuh surprise dan sistematis. Pemain mencoba mengikuti alur pergerakan tersebut secara bersamaaan, sampai pada akhirnya dialog-dialog puitik-pun hadir setelah set dan properti berada pada posisi yang diinginkan. Tidak ada identifikasi tokoh secara mendasar dalam pertunjukan tersebut, semuanya adalah tokoh abu-abu dan multitafsir. Tidak ada penjelasan secara rinci siapa tokoh Ibu Suri (Suci Lestari) itu sebenarnya, Manda (Hasan-Andi Jangger) yang dipahami sebagai dukun perantara terkadang juga berperan sebagai Datuk Ketemanggungan, Perpatih Nan Sabatang, Sutan, Raja Kaciak, Bandit dan lain-lain.
Pencahayaan panggung dan musik setidaknya sudah mampu memberikan dukungan terhadap suasana pertunjukan. Kehadiran musik dalam pertunjukan Roh karya Wisran Hadi, sutradara Akbarudin begitu terasa sedikit ‘nyinyir’ dalam memberikan isian-isian terhadap dramatik pertunjukan yang seharusnya sudah bisa diwakili oleh kemampuan vokal dan gerak para aktor di atas panggung. Barangkali saja, penata musik ingin melakukan penajaman terhadap suasana yang sedang berlangsung, namun tidak harus semua suasana harus diberi ilustrasi-ilustrasi atau efek musikal, sehingga sering terjadi benturan yang mengarah pada overlapping dialog aktor dengan musik yang seharusnya bisa disikapi sutradara secara baik.
Sebagai pertunjukan yang memiliki durasi sekitar satu setengah jam, seharusnya sutradara mencoba mensiasati kemenotonan yang mungkin saja akan terjadi dengan berbagai kreatifitas yang konstruktif ketika proses latihan, suatu usaha dalam proses directing secara lebih mendalam, sepertinya hal itu belum dilakukan secara maksimal, sehingga kemenotonan irama permainan tidak bisa dihindari. Dari beberapa komentar penonton yang menyaksikan pertunjukan Roh malam itu, terlihat lamban dan menoton dibandingkan pertunjukan dengan judul yang sama di Teater Arena Jurusan Teater ISI Padangpanjang 4 Juni 2010 yang lalu.
Namun, usaha yang telah dilakukan oleh sutradara melalui para aktor (Suci Lestari, Hasan, Andi Jagger, Anggi Hadi Kusuma, Elsa Nofri Asminda, Deri Sukaik, Danil Martin, Fuji L Ikhsan, dan Suci Sulistia), pemusik dan pendukung artistik lainnya, mampu memberikan daya tarik tersendiri terhadap tawaran-tawaran inovasi estetika pertunjukan teater yang layak diapresiasi untuk kelangsungan regenerasi teater di Sumatera Barat. Salam Teater*