Selasa, Mei 04, 2010

MAYUR: Tragedi Negeri yang Diparut dalam Ruang Kecil
(catatan kecil pertunjukan Teater Ruang berjudul Mayur karya/sutradara Ery Aryani).

Oleh: Afrizal Harun


Pertemuan sayur-mayur dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain bercerita tentang pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau manusia bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang "bertangan besi" (Joko Bibit Santoso)


Ketika lampu perlahan dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang panggung, perempuan dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui sebuah gerak teatrikal, perempuan membelakangi penonton menuju samping kanan, perempuan tersebut menepuk parut sehingga memberikan gambaran kehidupan yang jatuh lalu diinjak tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak jantung dalam mengawali pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja lelaki 1) dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam muncul dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong (sebut saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah gambaran kehidupan yang absurd.

Tanpa kata, namun pertunjukan berusaha memberikan ruang komunikasi dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh, sett, properti, dan pencahayaan sebagai teks pertunjukan yang penuh dengan muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki berdialog bersama parut dan tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh layaknya fenomena teater tubuh yang begitu menjadi perhatian dalam perkembangan teater kontemporer di Indonesia saat sekarang ini seperti Teater Sae (Budi S Otong), Teater Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman Sabur), komunitas seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin), Teater Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya Setiawati), namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang berbeda dalam menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba tidak ‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum pertunjukan dimulai) mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara mentah-mentah, karena jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak untuk digali dan dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater Indonesia.

Kembali pada pertunjukan, perempuan kembali muncul dengan membawa parut berukuran besar, ditengahnya tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba memahami parut besar dalam konteks tekanan-tekanan. Perempuan meniduri ribuan paku yang tertancap pada papan parut, bercinta dengan keperihan dan kepahitan, walaupun terkadang sedikit kosong. Perempuan tetap saja berada pada posisi yang tidak begitu menguntungkan dalam kehidupan, sub-ordinat, eksploitasi, pelecehan, dan semua istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek marginalisasi gender. Kemudian, Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas batten lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1 muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang ke beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung Mayur pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu peristiwa dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan lagu “Bintang Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut layaknya Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk tangan-pun menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan pertanyaan dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?

Begitulah akhir dari pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur, karya/sutradara Ery Aryani yang dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung Tanggul Dawung Wetan RT 3/15, Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei 2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan yang sama juga sudah digelar pada hari sebelumnya, taanggal 30 April 2010.

Tragedi negeri yang diparut dalam ruang kecil
Barangkali saja, ini hanyalah sebuah interpretasi penulis dalam menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara Ery Aryani produksi teater Ruang Surakarta. Walaupun banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa dimunculkan dalam pertunjukan ini. Sebuah peristiwa pertunjukan yang menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam mengkomunikasikan teks-teks sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman tersirat, karena teks pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan Indonesia, yang begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus globalisasi menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi subur, karena pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky Fred Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah berubah menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup dan lain sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh carut-marut, kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana bernama teater tubuh.

Panggung kecil dalam kantong kebudayaan dan seni pertunjukan yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater Ruang mencoba memberikan penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan pencahayaan. Walaupun secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana, sutradara Ery Aryani mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur mayur selama satu bulan” karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami pernah membeli sayur mayur dari para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual kepada para pedagang di Pasar Legi Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan sayur yang sempat rugi Rp 4 juta akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk membuat pertunjukan Mayur. Selama satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi bentuk, dan mencari kemungkinan-kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan properti sehingga menghasilkan sebuah karya teater tubuh yang layak untuk diapresiasi.

Bukan hanya sekedar pujian, barangkali sebuah kritik juga akan bisa membantu untuk proses selanjutnya. Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila ini dieksplorasi lagi lebih mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan kekuatan-kekuatan baru dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan “saya hanya suka melihat pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain juga mengatakan “karena posisi saya begitu awam dengan teater, karena saya mahasiswa tari. Saya melihat pertunjukan malam ini seperti koreografi tari karena tidak ada dialog sedikitpun, walaupun hanya tembang, tapi tetap saja yang saya lihat adalah tari”. sebuah komentar yang harus disikapi dengan cermat dan bijak.

Penulis begitu mengapresiasi semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit Santoso dalam melakukan proses kreatif teater, menciptakan kantong-kantong pertunjukan sendiri walau sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif sehingga menjadi catatan tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati dalam melakukan proses eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh itu sendiri sehingga tidak terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial, tanpa sebuah motivasi laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks pertunjukan hanyalah sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh setidaknya mampu menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang dicermati dalam peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas pentas. Salam Teater*


Solo, 2 Mei 2010


Link Terkait: http://afrizalharun.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar