Kamis, Februari 05, 2009

kepada semesta, aku berkabar tentang diri.......

Afrizal Harun (BABAB), dilahirkan di Pesisir Selatan, 4 April 1978. Ia menyelesaikan pendidikan SLTAnya di SMU Plus INS Kayutanam (1995-1998). Selama rentang tahun 1998-2004, ia menimba ilmu di STSI padangpanjang, Pada Jurusan Teater, dengan kompetensi Penyutradaraan. Memulai proses penyutradaraannya pada “Pernikahan Perak” (2000). Selanjutnya ia menyutradarai, diantaranya: “Macbett” (2003), “ Kotakku Rumahku” (2004), “Hanya Satu Kali”(2004). Ia mulai menulis dramanya sendiri sejak 2002 melalui “Eforia Malin” (Pentas SEni III DKSB, Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang. Selanjutnya ia menulis dan menyutradarai “Dunia Dalam Mesin Jahit” (2006, Pusat Bahasa Jakarta, 2008 dalam even JakArts Festival di Jakarta) dan “Zona X; nyanyian negeri sunyi” (2008, STSI Padangpanjang dan TBSB Padang). Selain sering dipercaya menjadi Penata Artistik dan Stage Manager, ia juga banya terlibat dalam produksi film independent, diantaranya: “Bulan di Langit Jam Gadang” (2006, Asisten Sutradara, Produksi Dinas Pariwisata Bukittinggi), “Let Me Die First” (2004, Pimpinan Produksi. Produksi Kelompok Studi Sinema STSI Padangpanjang) dan “X File” (2004, Asisten Sutradara, Produksi Komunitas Seni Hitam Putih). Sejak Tahun 2006 hingga 2008, ia juga menjadi Penanggung Jawab Kegiatan Road Show Eagle Award dan ScreenDoc! Traveling untuk wilayah Sumatera Barat. Saat ini kesibukan utamanya adalah mengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang dan mengurus (sebagai Ketua) Komunitas Seni Hitam-Putih.



WHERE THE CROSS IS MADE (di mana tanda silang tertera) karya Eugene O' Neil, sutradara Ipong Niaga

Rabu, Februari 04, 2009

KOTAKKU RUMAHKU (noodle doodle box) karya Paul Maar, sutradara Afrizal Harun




AYAM GORENG INYIAK (AGI) naskah/sutradara Adi Krishna






HANYA SATU KALI karya Jhon Galsworthy, sutradara Afrizal Harun





Zona X : Kuasa Mesin, (catatan atas pementasan Zona X)


PADANG EKSPRESS, Minggu, 08 Juni 2008

Mereka datang jauh dari Padangpanjang. Disambut hujan, mereka seperti mengingatkan kita kembali tentang segala keruwetan hidup yang tak menentu. Tentang kecemasan pada kota yang akan tenggelam, atau kemurungan-kemurungan yang bisa muncul tiba-tiba. Dalam guyur hujan, semua itu serba mungkin.
Rabu, 28 Mei, dengan cahaya temaram, dikelilingi lebih dari seratus penonton, pementasan teater itu digelar di laga-laga Taman Budaya Sumatera Barat. Seseorang menari, mungkin hanya bergerak-gerak, seakan menggambarkan sebuah proses kelahiran. Di satu sudut panggung, dengan level yang lebih tinggi, seorang lain yang berkain putih masuk. Sikapnya hati-hati sekali, seperti malaikat yang menjaga sebuah kelahiran dari satu tempat lebih tinggi, lebih terpuji. Mereka berdua terus bergerak, barangkali mencari identitasnya masing-masing. Entah sebagai penjaga atau sebagai manusia yang terus-menerus dijaga.
Gerak yang ditampilkan aktor-aktor STSI Padangpanjang itu, menurut Sutradara Afrizal Harun, berakar dari gerak Uluambek. Uluambek, menurut beberapa literatur, merupakan tradisi religi yang menggambarkan pencaharian, zikir, juga penyerahan diri pada Tuhan. Seseorang yang melakukan ritual itu, seakan tidak mengenal lagi siapa dirinya dan kadang mengeluarkan hentakan kaki yang tak harmoni. Hentakan kaki ini merupakan lakuan yang tak disadari dari seseorang yang melaksanakan ritual tersebut. Kesenian melirik lakuan dan hentakan kaki itu dan menjadikannya gerak tari yang dibuat lebih harmoni. Uluambek lebih dikenal sebagai tradisi religi masyarakat pesisir Minangkabau.
Tak berapa lama, mereka berdua diintai beberapa aktor lainnya yang berlaku layaknya si Angkaramurka. Si Angkaramurka dengan bentuk yang kaku, dengan wajah yang kaku, dan tentunya dengan kelakuan yang kaku: mesin. Si Ankaramurka yang diam-diam masuk ke panggung itu disimbolkan dengan gerak, pergelangan tangan ditekuk seperti macan hendak mencakar mangsanya. Di sinilah persoalan terjadi. Sang Malaikat, yang diibaratkan sebagai penjaga itu hilang. Lenyap dengan gerak lurus ke luar panggung. Barangkali sama seperti apa yang ditakutkan malaikat lainnya ribuan tahun silam saat Tuhan akan menciptakan manusia. “...adakah engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah...” Al-Quran mencatat perkataan malaikat ribuan tahun silam itu.
Tinggallah si manusia tanpa penjaga. Sepeninggal malaikat, delapan pemain itu jadi liar dihempaskan oleh si Angkaramurka, si Mesin yang diciptakan sendiri oleh manusia. Gerak mereka seperti hendak menikam apa saja di dekatnya. Mereka telah cukup kehilangan intipati jiwa sebagai manusia, sepertinya. Manusia yang disepakati oleh beberapa agama di dunia sebagai makhluk pilihan dan memiliki tempat mulia. Tapi mereka telah kehilangan semua itu. Manusia yang kehilangan imbuhan. Semua tergantikan mesin.
Tak salah bila ada kelompok tertentu yang menolak mesin, dan mereka lebih cenderung bepergian dengan sepeda atau berjalan kaki. Mereka jauh dari kebisingan TV, asap knalpot, juga pabrik-pabrik. Barangkali banyak hal yang dapat kita pelajari dari komunitas yang lebih banyak tersisih di pinggiran kota—juga disisihkan sebagai ajaran yang “tidak-sama-dengan-kita”—ini.
“Mesin” Kata itu seakan luput dari ingatan kita di kurun waktu sekarang. Pemanasan global, semburan lumpur, banjir, dan segala kesemrawutan lain yang kita sebut bencana; bukankah berawal dari mesin? Juga keserakahan, tentunya.
***
Kembali ke panggung. Sepeninggal aktor berpakaian putih, mereka tak lagi mempersoalkan identitas sebagaimana alasan mereka terlahir. Bukankah identitas juga yang telah merenggut banyak nyawa? Mereka tambah liar. Musik berdentum, dan gambar-gambar dari siluet itu bergantayangan. Begitu banyak yang ditampilkan siluet itu: orang-orang yang kena radioaktif akibat perang, barisan serdadu, kematian, dan entah apalagi. Babak akhir dari tiga babak Zona X ini terlihat sedikit meneror nurani kita. Babak yang seakan mengajak kita “kembali-menjadi-manusia”.
Mereka masih terus mencari jalan keluar, keluar dari sengkarut persoalan. Di panggung dengan cahaya dominan merah itu mereka menemukan air. Air yang juga merah. Semua berebut untuk mandi, seperti merebut untuk mendapatkan wahyu yang datang dari langit. Wahyu yang berwarna merah, sebagaimana darah. Wahyu yang tak kalah berbahayanya. Wahyu yang membuat sebagian orang berperang atas nama Tuhan, membunuh atas nama kata Yang Maha Suci itu.
Akhirnya mereka mandi juga. Sesuara, mungkin musik, masuk dan mengusik. ...so now you do what they told ya... Rage Against The Machine, kelompok musik dari Barat sana juga ikut mengingatkan. “Killing In The Name”mengalun... Those who died are justified, for wearing the badge aku rela melakukan apapun kecuali untuk membunuh... dan mereka mandi dengan air yang jatuh dari atas itu, dengan wahyu itu.
***
Apa yang diusung pementasan ini bisa benar, tetapi juga bisa keliru. Yang datang dari atas butuh tafsir manusia yang di bawah. Maka yang menentukan bukan apa yang datang dari atas, tetapi ketetapan manusia menafsir yang datang itu. Dan tafsir, selalu tak bisa utuh. Itulah kenapa manusia tak bisa sepenuhnya kembali. Sekali pun setiap saat selalu ada titik-titik air yang jatuh dari atas. Tetapi selamanya, titik-titik itu tak selalu menyegarkan.
Zona X, zona yang berbahaya. Wilayah di mana manusia-manusia bergerak liar tak terkendali. Mungkin sebuah peradaban yang berantakan karena pencemaran, limbah, lumpur, kabut asap. Di tengah kekacau-balauan itu, pementasan ini seakan menyorakkan, “kembali-jadi-manusia” berarti kembali kepada langit.
Anjuran itu tak sepenuhnya tepat. “Kembali-jadi-manusia” tidak sepenuhnya berarti kembali kepada langit. Ketika Tuhan memisahkan manusia dari-Nya, menggelincirkan manusia ke dunia, maka identitas kemanusiaan ditandai oleh kemampuan manusia mengenali dan menyebutkan nama benda-benda. Dengan bekal itu, manusia diberi hak menentukan hidupnya sendiri.
Tetapi Tuhan kadang hadir ketika manusia sudah tak berdaya. Dan pementasan pun usai. Gerimis di luar panggung telah reda. Fatris Mohammad Faiz, sedang menyelesaikan studi di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. (Fatris Moh. Faiz)

ZONA X (nyanyian negeri sunyi) karya/sutradara Afrizal Harun


PENYUTRADARAAN DRAMA REALISME




Gema Seni Jurnal Komindok

4 November 2007

Afrizal Harun

Abstrak

Realisme merupakan gerakan seni yang didasarkan pada filsafat positivisme dan teori evolusi. Positivisme beranggapan bahwa tidak ada yang benar-benar nyata (real) kecuali jika didapatkan melalui pengamatan yang teliti, sementara teori evolusi menyatakan bahwa manusia tidak berbeda dengan binatang dalam proses adaptasinya dengan lingkungan yang disebut dengan proses seleksi alam dan kebertahanan hidup ditentukan lewat pertarungan. Karena itu, Realisme bertujuan untuk menciptakan ilusi realitas, yang diwujudkan dalam bentuk pemanggungan yang menggambarkan situasi kehidupan manusia secara objektif tanpa distorsi di dalamnya.


Tulisan ini menyajikan salah satu dalam bentuk sistematika kerja penyutradaraan realisme. Sistematika tersebut adalah: (1) Visi Penyutradaraan, (2) Penentuan Naskah, (3) Analisis Naskah/Teks, (4) Pemilihan Pemain (Casting), (5) Pemaparan Konsep Garapan, (6) Latihan Dasar Pemeranan, (7) Membaca Naskah (Reading Teks), (8) Latihan Movement Dan Blocking, (9) Penyatuan Elemen Pertunjukan, (10) General Rehersal dan Pertunjukan (11) Catatan Proses (Promtbook).

Katakunci: Drama Realisme, Penyutradaraan

Pendahuluan

Realisme merupakan gerakan kebudayaan di Perancis yang hadir pada pertengahan abad 19 sekitar tahun 1850-an dalam seni rupa dan sastra, yaitu pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Revolusi Perancis merupakan gerbang baru lahirnya masyarakat borjuasi individualistik, ketika manusia masuk pada wilayah subjektifitas berfikir yang logis dan rasionil dalam menyikapi persoalan yang terdapat di alam sekitarnya. Masyarakat baru ini mengandalkan pada kualitas basis produksi industri dengan sistem yang terorganisir ber kapitalisme yang meruntuhkan tatanan feodalisme dalam kehidupan masyarakat lama. Sistem ini telah menyebabkan pola pikir masyarakat berada pada situasi kesengsaraan dan ketidakadilan. Lahan-lahan pertanian yang menjadi sumber ekonomi masyarakat feodal ketika itu dikuasai oleh tuan tanah telah menjadi pabrik-pabrik milik pemodal. Sehingga, peradaban Romantik abad ke 19 dalam dunia kesenian-pun telah dianti-tesakan oleh barang baru yang disebut dengan realisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan memudarnya romantik, membuat realisme menjadi genre baru dalam kesenian yang kemudian mampu eksis di Perancis, kemudian berkembang di Inggris, dan Amerika Serikat di sekitar tahun 1840 hingga 1880. Penganut sastra realisme dari Perancis meliputi nama Honore de Balzack dan Stendhal. Sementara seniman realis yang terkenal adalah Gustave Courbet dan Jean Francois Millet.

Kaum romantik melihat seni bukan sebagai alat pendidikan yang bersifat tenang dan penuh kewibawaan, melainkan cetusan jiwa yang tidak terikat, bebas berkumandang menuruti sukma. Seni bagi kaum romantik bertujuan untuk mencurahkan isi hati. Suara hati adalah hal yang paling murni dalam diri manusia. Paradigma bebas, baik, dan sama seperti ini bagi kaum realisme harus dibuang jauh-jauh.

Kelahiran realisme didahului oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuan barat beranggapan, bahwa jalan satu-satunya dalam lapangan ilmu pengetahuan adalah melakukan penelitian observasi, eksperimenbtasi bukan berfikir abstrak seperti kaum romantik. Maka dengan proses keilmuan inilah, kemiskinan, kejahatan, dan ketidakadilan dapat ditelaah secara nyata, logis, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Terdapat dua orang pemikir yang melatarbelakangi munculnya realisme, yaitu August Comte dan Charles Darwin. August Comte membagi tiga bentuk sejarah yang dilalui oleh manusia, bentuk tersebut adalah (1) tingkatan teologi, bahwa dalam mencari jawaban dan rahasia alam semesta, maka pada proses ini manusia melaluinya dalam tahap animisme, politeisme, dan monoteisme; (2) tingkatan metafisika, pada tahap ini manusia menerangkan alam dalam sudut pandang berfikir yang abstrak; (3) tingkatan positif, merupakan tahap manusia dalam menyelami diri sendiri dan memecahkan rahasia alam semesta dengan ilmu pengetahuan, melakukan penilitian, menarik sebuah kesimpulan dengan teliti dan cermat.

Dari tiga tesis yang dinyatakan oleh August Comte, lahirlah filsafat positivisme yang beranggapan bahwa tidak ada yang benar-benar nyata atau real, kecuali jika didapatkan melalui pengamatan yang teliti, karena hal itu adalah sarana yang dapat memperbaiki kondisi sosial dari ketidak adilan, kejahatan dan kemiskinan. Maka pada masa ini, seniman realisme menciptakan karyanya dengan terlebih dahulu melakukan penelitian dalam bidang filsafat, politik, agama, sosiologi, dan psikologi. Namun yang lebih utama dalam aliran realisme ialah ilmu jiwa (psikologi).

Awal abad ke 19, perhatian utama dicurahkan pada studi biologi, yaitu studi tentang bagaimana makhluk hidup bereaksi terhadap lingkungannya. Pada tahun 1859, studi biologi sampai pada puncaknya, yaitu ketika Charles Darwin mempublikasikan bukunya yang berjudul The Origin Of The Species. Melalui buku itu, Darwin mencetuskan teori, bahwa binatang tersusun dari bentuk yang paling rendah yang dikenal dengan teori evolusi Darwin. Konsep Darwin ini menyatakan bahwa manusia tidak berbeda dengan binatang dalam proses adaptasinya dengan lingkungan yang disebut dengan proses seleksi alam dan kebertahanan hidup ditentukan lewat pertarungan.

Dari dua orang pemikir ini muncul pemikiran tentang pentingnya ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur (parameter) dalam mencari, menelaah persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia, pandangan ini memunculkan paradigma sebagai berikut :

(a) Keturunan dan lingkungan sangat menentukan eksistensi sesorang. Dua faktor tersebut dapat menjelaskan perilaku dan watak seseorang. Akibatnya, kejahatan seseorang tidak dapat ditimpakan pada pribadi orang itu saja, tetapi juga masyarakat dan lingkungannya. Memperbaiki seseorang berarti memperbaiki lingkungannya juga.

(b) Ajaran tentang evolusi dan Survival Of The Fittest menyerang agama dan eksistensi Tuhan.

(c) Manusia ditempatkan sejajar dengan benda-benda alam lain karena terikat oleh hukum-hukum alam. Manusia dapat dijadikan objek studi.

Pengertian dan Genre Realisme

Secara etimologis (asal usul kata/istilah), , realisme adalah aliran atau ajaran yang selalu berpegang pada kenyataan. (Badudu dan Sutan Mohamad Zein, 1994). Dapat diperhatikan berdasarkan pengertian itu, bahwa aliran ini berusaha mengungkapkan persoalan realitas sesuai dengan kenyataan yang ada. Sementara Bakdi Soemanto (2000), menyatakan bahwa realisme senantiasa bertujuan menyajikan seni dalam rangka menghadirkan tujuan-tujuan lain di balik itu. Realisme dipahami sebagai jagad berfikir yang menghadirkan wawasan dan persepsi. Lebih jauh lagi, realisme bahkan diperlukan sebagai tujuan utama penciptaan dan sekaligus di dalamnya terdapat suatu konsep. Konsep realisme panggung membutuhkan naskah lakon yang baik, juga aspek visual panggung yang meliputi blocking, lighting, dan acting yang tertata rapi. Dengan demikian, realisme menghadapkan budaya oral dengan budaya tulis, budaya improvisasi dengan budaya yang dirancang rapi, budaya kolektif (massal) dengan budaya individual yang otentik.

Hal di atas menunjukkan betapa pentingnya konsep realisme untuk mendukung terciptanya tatanan panggung yang baik. Selain faktor naskah, rupanya yang ikut membedakan teater tradisional (klasik) dan teater modern adalah penerapan konsepsi realisme dalam suatu permainan. Artinya, kelompok teater yang jauh dari konsepsi realisme akan lebih banyak mengandalkan insting dan improvisasi daripada akting dan “kerangka situasi”. Bukankah kedua hal ini yang membedakan khazanah teater tradisional (klasik) dan teater modern.

Realisme bertujuan untuk menciptakan ilusi realitas. Ilusi realitas diwujudkan dalam bentuk pemanggungan yang menggambarkan situasi kehidupan manusia secara objektif tanpa ada proses distorsi di dalamnya. Maka, untuk menuju pada proses ini, maka seorang seniman realis harus melakukan observasi terhadap masyarakatpun secara objektif pula. Akibatnya pentas adalah ruang dalam mengaplikasikan kondisi real secara detail dan kongkrit. Realisme bukanlah menggarap lagi masa lalu tetapi adalah masyarakat sekarang. Yang muncul adalah persoalan dekaden yang menyinggung pada persoalam moral umum. Maka muncullah suatu bentuk drama yang menjadi identitas realisme yaitu Well Made Play (drama yang dibuat dengan baik). Tokoh utama dalam drama ini adala Eugene Scribe (1791-1861) yang telah menulis lebih dari 400 karya drama.

Ciri-ciri dramatika well made play adalah : (a) Penggambaran karakter dan situasi yang jelas, (b) Perkembangan kejadian yang diatur dengan cermat, (c) Penuh kejutan-kejutan yang logis, (d) Penuh suspense dan ketegangan, dan (e) Kesimpulan akhir yang masuk akal dan dapat dipercaya.

Pandangan seperti ini memunculkan batasan-batasan drama realisme itu sendiri yaitu :

a. Drama yang tidak menghadirkan unsur visual secara artifisial tetapi logis seperti kehadiran setting-dekorasi, properti, kostum, dialog tokoh dan pergerakan aktor diatas panggung (movement).

b. Memilki konflik yang jelas.

c. Memilki jalinan peristiwa (alur) yang berakar pada unsur kausalitas (sebab akibat).

d. Konvensi panggung yang terdiri dari konvensi yang dikenal empat dinding.

e. Memiliki dramatik yang jelas.

f. Dan memeliki identifikasi tokoh yang jelas.

Sejarah kemunculan realisme yang pada awalnya berkembang di Perancis, kemudian menyebar ke Eropa seperti di Inggris melalui tokoh-tokohnya yaitu Arthur Wing Pinero (1855-1934), Henry Arthur Jones (1851-1919), John Galsworthy (1867-1933) dan George Bernard Shaw, yang mengagumi Dramawan Norwegia yaitu Henrik Ibsen (1828-1906). Di Rusia-pun Drama realisme berkembang sesuai dengan kultur Rusia sendiri melalui tokoh-tokoh Dramawan yang terkenal ketika itu yaitu Nikolai Gogol (1809-1851), Alexander Ostrovsky (1823-1886), Ivan Torgenenev (1818-1883), Anton P, Chekov dan Stanilavsky.

Persoalan point of view (sudut pandang penceritaan) dalam realisme dapat di bagi dua yaitu komedi realis dan tragedi realis. Pembedaan seperti dapat kita lihat dari dua orang tokoh dramawan realisme yaitu Henrik Ibsen (mewakili tragedi realis) dan Anton P. Chekov (mewakili komedi realis). Ibsen membuat gaya drama dan cara penulisannya sebagai cara untuk memperindah dan menyempurnakan dramananya. Chekov menggunakan gaya impresionistik, di mana tokoh berbicara sendiri tentang nasib buruknya dan ditingkah oleh musik yang timbul tenggelam. Ibsen mengembangkan plot yang kuat berdasarkan perkembangan psikospriritual tokoh utama. Chekov tidak menghadirkan plot dengan kuat, hanya menonjolkan suasana haru, anggun dan mempesona. Ibsen menjalin peristiwa yang rasional berdasarkan satu tema tentang moral, Chekov menjalin peristiwa pada berbagai banyak persoalan dialog yang sedikit tapi penuh lukisan suasana pada komedi situasi dalam rangka menyentuh perasaan penonton.

Khairul Anwar (2004) menyatakan bahwa realisme dibagi dalam dua kategori yaitu realisme murni (naturalisme dan impresionisme) dan realisme epik. Naturalisme tumbuh menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang aktif dan ekstrim dari realisme, yaitu sebuah gerakan yang didasari atas filsafat determinisme. Cara pandang determinisme adalah cara pandang yang menjelaskan bahwa manusia tidak bebas memilih, tetapi ditentukan oleh alam lingkungannya. Naturalisme sangat tertarik mengungkapkan aspek-aspek pembawaan sifat binatang dalam diri manusia yang seringkali terungkap secara brutal seperti kehidupan seks, kerakusan, ketamakan, kemiskinan dan kelaparan. Naturalisme mempercayai bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran adalah melalui penemuan ilmiah melalui lima panca indera manusia (empirisme). Dalam drama atau novel naturalistik banyak para wanita lembut yang melakukan skandal cinta. Dramawan atau sasterawan yang beraliran naturalisme menampilkan karya-karya mereka atas dasar kenyataan adanya naluri-naluri dasar yang berbahaya yang sedikitpun tidak diindahkan oleh manusia.

Filsuf Sigmon Freud menegaskan, bahwa naluri dasar manusia tersalurkan secara normal dan muncul secara tidak langsung dalam cara yang terdistorsi dan merusak. Drama ini penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung menggambarkan kenyataaan yang sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan yang nyata. Seperti pertunjukan Andre Antoine yang berjudul The Buchers (Tukang Jagal), ia menghadirkan setting naturalis dengan cara pentas dipenuhi dengan daging-daging sapi yang sebenarnya seperti toko daging para penjagal. Tokoh naturalisme yang sangat penting adalah Emile Zola (1840-1902), ia mengatakan: “ Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”.

Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada aliran naturalisme lainnya adalah Maxim Gorky yang menulis drama naturalistik yang termasyhur berjudu The Lower Depth (1902). Drama ini melukiskan tentang kemiskinan, kesengsaraan dan mimpi-mimpi para tokohnya. Di dalamnya digambarkan situasi tokoh yang dikuasai oleh sifat tamak dan bermoral bejat, yaitu tokoh-tokoh yang dianggap sebagai sampah masyarakat yang hidup di gudang bawah tanah. Begitulah dramawan naturalisme menciptakan shock dramawan zaman victorian. Mereka telah mengejutkan para penonton awal abad dua puluh dengan persoalan-persoalan yang aktual. Kalau dramawan zaman Victorian berkata: “Tunjukkan pandanganmu kebintang-bintang!,” maka dramawan naturalisme yang sangat memuja ilmu pengetahuan mengejek dan berkata:” lakukanlah itu! Pasti kau akan jatuh ke parit”.

Perbedaan bentuk rancangan artistik antara realisme dan naturalisme adalah sebagai berikut: setting realis memilki detail manusia atau sesuatu yang sebenarnya berada di latar depan, sedangkan efek yang muncul tidak menghadirkan rasa tertentu (apa adanya). Sementara setting naturalis memiliki beberapa detail dan nuansa rasa yang menunjukkan bahwa kejelasan setting akan menguasai dan mendominasi karakter.

Impresionisme sebagai varian dari realisme pada awalnya berkembang pada disiplin seni musik dan seni lukis, kemudian diadopsi oleh drama atau teater. Kalau naturalisme lebih menekankan pada unsur penonjolan konflik-konflik yang kuat dan terasa jelas dipermukaan, maka impresionisme seolah-olah menyimpan konflik tersebut lebih ke dalam.

Walaupun terdengar bisu, padahal sebenarnya karya impresionisme telah mengupas dengan tajam persoalan-persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Claude Monet mencari dan menemukan sentuhan impresionistik dalam lukisannya yaitu sebuah katedral yang separuh hilang dalam kekaburan pagi buta. Komponis Perancis terkemuka Claude Debussy terpesona pada laut, awan, kabut dan hujan. Karena terpengaruh dengan dengan musik Timur ketika ia pernah mendengar Orkestrasi Gamelan pada eksposisi Paris tahun 1889, dalam karyanya ia mencoba menghilangkan tero,pet dan biola. Ia lebih tertarik dalam melakukan eksperimentasi terhadap berbagai benda-benda untuk menghasilkan berbagai macam suara dan nada. Sehingga instrumen-instrumen yang dimainkan oleh Debussy telah memberikan (kesan) terhadap gejala alam secara halus dan berkarakter melalui media alat musik yang dibuatnya sendiri.

Tokoh penting realisme impresionisme dalam terater adalah Constatin Stanilavsky (1890) di Moscow dengan kelompok teater yang dimilikinya yaitu Moscow Art Theatre telah menelorkan metode pendekatan akting realisme dengan judul The Method yang banyak dipengaruhi oleh metode pelatihan Saxe Meiningen yang didasari pada teori “kesatuan dan kesadaran”. Constatin Stanilavsky berusaha menemukan akting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukan oleh aktor adalah akting yang sebenarnya (tidak dibuat-buat). Terdapat enam prinsip dalam pelatihan aktor Stanilavsky yaitu :

1. Aktor harus memiliki fisik prima, fleksibel dan vokal yang terlatih agar dapat memainkan berbagai peran.

2. Aktor harus mampu dalam melakukan observasi kehidupan, sehingga ia mampu menghidupkan akting melalui gestur, serta tidak mencipta vokal yang artifisial.

3. Aktor harus mampu menguasai kekuatas psikisnya untuk memperkaya imajinasinya. Kemampuan berimajinasi adalah kemampuan untuk mengingat kembali, sense of memory.

4. Aktor harus mengetahui dan memahami naskah lakon (analisis teks)

5. Aktor harus berkonsentrasi pada imaji, suasana dan intensitas panggung.

6. Aktor harus bersedia bekerja secara terus menerus dan serius mendalami pelatihan demi kesempurnaan diri dan penampilan perannya.

Dengan demikian metode akting yang dilakukan oleh Constatin Stanilavsky. Metode ini merupakan sebuah pendekatan bagi para aktor dalam melakukan penjelajahan imajinasi, pikiran dan tubuh dalam mencipta sebuah akting yang inner act (akting dari dalam) sehingga aktor mampu menjadi (to be) terhadap setiap karakter yang dipernkannya di atas panggung.

Selanjutnya kategori dari realisme tersebut adalah realisme epik. Realisme epik juga disebut sebagai realisme naratif. Drama realisme epik sangat berbeda dengan realisme yang berkembang pada tahun 1880 sampai dengan 1920-an. Banyak orang mengatakan bahwa drama atau teater realisme epik merupakan antitesa dari realisme itu sendiri. Drama realisme epik berbeda dengan ekspresionisme dan drama absurd yang hanya menyodorkan sepotong dari semua fragmen gambaran kongkrit dari dunia nyata.

Realisme epik mencoba masuk pada wilayah yang lebih luas, tidak hanya menekankan persoalan individu dalam masyarakat, tetapi juga persoalan yang melatar belakangi di luarnya yaitu persoalan politik, sosial dan ekonomi. Sehingga, realisme epik menghadirkan perspektif yang berbeda tentang manusia. Dalam drama epik, yang menonjol adalah setting dekorasi panggung yang dibuat ringkas atau simbolik, pemeran menggunakan topeng, nyanyian, pemeran membacakan pidato langsung kepada penonton, teknik menggunakan aside, teknik naratif, adanya pengumuman, penggunaan slide-projector, tabel, bagan, peta, film, tablo, latar belakan formal Elizabethan, layar yang sederhana.

Setting di dalam teater epik dikenal dengan setting yang multiple, dalam artian mempunyai banyak bagian yang hampir sama dengan penggunaan Mansion yang meriah dalam teater abad pertengahan. Semangat bagi kalangan realisme epik adalah bukanlah semangat romantik tetapi semangat untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan fakta keilmuan.

Dalam drama realisme epik, film dipelajari. Pada awalnya memotong-motong adegan dari serangkaian peristiwa masyarakat dalam berbagai latar belakang cerita. Setelah itu teknik yang dikembangkan adalah teknik montage. Dalam cara ini, imajinasi seolah ditumpuk-tumpuk pada layar yang terpisah-pisah pada saat yang sama. Metode ini sangat berguna untuk perpindahan waktu. Setting dalam realisme epik merupkan sebuah kombinasi setting yang sederhana, properti yang mudah digerakkan, layar-layar, slide projektor dan lain-lain. Tokoh dramawan realisme epik yaitu Paul Claudel (The Book of Christoper Colombus), Clifford Odet (Waiting for Leftty), Thornton Wilder (The Skin of Our Teeth-1942), dan Bertold Brecht (The Good Women of Setzuan).

Harymawan (1993) menyatakan bahwa terdapat dua unsur penting dalam realisme yaitu Realisme sosial dan realisme psikologi. Realisme sosial disebut juga sebagai realisme murni atau naturalisme. Realisme sosial bernada optimistis dan naturalisme bernada pesimistis.

Cara pandang realisme sosial adalah bagaimana melukiskan kehidupan manusia secara materialistik, dialektika dan historis (MDH), yang berpijak pada filsuf terkenal kelahiran jerman yaitu Karl Marx. Realisme sosial dalam teater akan melahirkan kritik terhadap tatanan masyarakat yang hipokrit melalui sebuah naskah maupun pertunjukan. Ciri-ciri Realisme sosial yaitu; Peran utama biasanya rakyat jelata, petani, buruh, pelaut dan sebagainya. Aktingnya wajar seperti yang dilihat dalam hidup sehari-hari, tidak patetis (khidmat).

Realisme psikologi dalam teater melahirkan situasi bathin manusia pada sebuah kesadaran yang irrasional. Kesadaran irrasional ini hadir, ketika kenyataan sosial telah kehilangan cara pandang yang objektif, manusia telah didominasi oleh mesin industri maka ketakutan dan traumatik dalam diri manusia mengakibatkan hilangnya sebuah kesadaran objektif. Ketakutan irrasional manusia hadir di atas panggung dengan bentuk-bentuk isolasi/kesendirian, pengdeganan kelompok yang bermakna dis-human, trauma konflik masa lalu, dan kemonotonan.

Ciri-ciri Realisme Psikologi yaitu; Permainan ditekankan pada peristiwa-peristiwa intern/unsur-unsur kejiwaan. Secara teknis segala perhatian diarahkan pada akting yang wajar, intonasi yang tepat. Suasana digambarkan dengan perlambang.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diperhatikan bahwa drama realime adalah suatu pengkotakkan peristiwa yang dicapai dalam mendekati sosial masyarakatnya. Ketika realisme itu berbicara tentang persoalan perselingkuhan, konflik keluarga, cinta segi tiga, politik dan lain-lain, maka ia dikelompokkan pada realisme sosial. Sementara, jika realisme berbicara tentang persoalan dendam, traumatik, dekadensi moral tokoh utama, kelainan jiwa, stres dan lain-lain maka ia dikelompokkan kepada persoalan realisme psikologi/ekspresionisme.

Secara keseluruhan dari pembahasan tentang realisme di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, penggambaran peristiwa dalam lakon (cerita) realisme bukanlah pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan yang eksotik, tetapi masalah-masalah biasa. Bukan mimpi-mimpi dan fantasi-fantasi, tetapi studi ilmiah kehidupan yang aktual. Didasarkan pada observasi yang hati-hati terhadap orang-orang biasa dan tempat-tempat yang riil.

Ciri-ciri pemanggungannya sendiri dibagi atas wilayah-wilayah yang mempunyai nilai sendiri-sendiri di setiap wilayahnya. Seperti pentas dibagi ke dalam sembilan wilayah. Dengan pembagian wilayah ini diharapkan para aktor akan segera menganalisis arena permainan mereka. Naskah lakon realis haruslah complete an self-contained, sebuah alur cerita yang padu, rangkaian peristiwa yang disusun atas dasar sebab akibat. (Max Arifin-via Internet).

Menyutradarai Naskah Drama Realisme

Sebelum masuk pada tahap bagaimana menyutadarai sebuah naskah drama realisme, terlebih dahulu seorang sutradara haruslah memahami (1) apa itu realisme, (2) bagaimana sejarah realisme, (3) apa-apa saja genre dan ciri-ciri dari drama realisme. Pertanyaan ini ditujukan untuk menyamakan persepsi dan paradigma dalam mendekati sebuah naskah realisme yang akan dijadikan sebagai media dan kendaraan penyutradaraan. Dalam penyutadaraan, seorang sutradara harus melalui tahapan pemahaman baik secara Aksiologi, epistimologi, ontologi, metodologi baru bisa menyusun kerangka metode (sistematika kerja/langkah kerja) dalam membuat karya teater khususnya menyutradarai naskah Drama Realisme.

Terdapat sebelas (11) Metode penyutradaraan realisme, yang dikembangkan dari empat proses perencaraan panggung yang ditulis oleh Yudiaryani dalam buku Panggung Teater Dunia yaitu perencanaan, pelatihan, pemanggungan dan pemberitaan. Dalam hal ini, penulis meyusun dalam bentuk sistematika kerja penyutaradaraan yaitu (1) Visi Penyutradaraan, (2) mencari naskah realisme, (3) analisis naskah/analisis teks, (4) pemilihan pemain (casting), (5) pemaparan konsep garapan kepada pemain, (6) latihan dasar pemeranan, (7) membaca naskah (reading teks), (8) latihan movement (pergerakan pemain) dan blocking (perpindahan pemain dari tempat satu ke tempat yang lain), (9) latihan dengan seluruh elemen pertunjukan (properti, sett, kostum, musik dan pencahayaan), (10) persiapan General rehesial/GR dan pertunjukan (11) Catatan Proses (Promtbook)

Pengertian visi menurut Burhani MS dan Hasbi Lawrens (2006) adalah penglihatan, pandangan, khayal, dan impian. Jadi visi penyutradaraan adalah impian, tujuan atau cita-cita seorang sutradara dalam melihat persoalan yang akan diaplikasikannya dalam sebuah kerja penyutradaraan sehingga visi berimplikasi kepada ide dan gagasan yang akan dituangkan ke atas panggung nantinya. Misalnya, tema kehidupan yang paling hangat adalah tentang perselingkuhan, maka seorang sutradara akan menjadikan persoalan perselingkuhan tersebut sebagai pokok pikiran dalam penciptaan penyutradaraannya.

Naskah realisme tentu memuat berbagai macam persoalan sebagai tema pokok yang ditulis oleh pengarangnya, dalam hal ini, seorang sutradara akan mencari tema naskah yang konteks dengan visi penyutradaraan realismenya misalnya tema perselingkuhan dan lain-lain.

Lalu setelah naskah tersebut sudah didapatkan, sutradara melakukan analisis terhadap teks yang dibagi dalam dua proses pencatatan yaitu catatan auditif dan catatan visual. Catatan auditif merupakan catatan yang berkaitan dengan masalah bahasa (verbal) dengan melakukan analisis secara strukstur naskah (latar waktu, latar tempat, alur/plot, penokohan/interaksi antar tokoh dan tema naskah). Setelah melakukan analisis secara struktur naskah, seorang sutradara kemudian dapat menentukan naskah tersebut dalam tiga aspek yaitu; naskah asli, naskah terjemahan, atau naskah adaptasi. Selanjutnya sutradara dapat memilih satu di antaranya. Sementara catatan visual (desain visual), lebih diartikan sebagai perencanaan visual yang ada dalam imajinasi sutadara, kemudian dituangkan dalam kertas kerja penyutradaraan berupa sketsa kasar yang meliputi sketsa setting, sketsa properti, sketsa movemen dan blocking pemain, sketsa pencahayaan dan sketsa rias dan kostum.

Setelah analisis naskah dilakukan sutradara kemudian melakukan proses casting pemain (pemilihan pemain) berdasarkan kebutuhan naskah. Casting dapat dilakukan dengan lima cara yaitu; (1) Casting by Ability: yaitu casting yang didasari oleh kecerdasan/kecakapan dalam memerankan tokoh penting/utama dalam naskah (2) Casting to type: yaitu casting yang dilakukan oleh sutradara berdasarkan kecocokan sisik pemain (3) Antitype Casting: yaitu pemilihan yang bertentangan dengan watak atau fisik pemain, dengan tujuan educational casting (4) Casting to Emotional Temperament: yaitu casting yang didasari oleh kecocokan Psikologi tokoh yang diobservasi dengan peran yang akan dipegangnya (kesamaan emosi, temperamen, penyabar dan lain-lain). (5) Therapeiutic-Casting : yaitu casting pemain yang dilakukan atas dasar bertentangan dengan watak aslinya dengan tujuan untuk menyembuhkan atau mengurangi ketidak-seimbangan jiwanya. (Harymawan, 1993:67)

Selanjutnya, setelah pemain sudah ditentukan, sutradara mengumpulkan seluruh pemain, tim manejerial dan tim produksi untuk memaparkan tentang konsep garapan dan kerja penyutradaraan kepada seluruh tim pendukung. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh sutradara karena menyangkut terciptanya kasamaan persepsi dan paradigma tentang konsep yang ingin diwujudkan oleh sutradara.

Setelah terciptanya kesamaan persepsi antara sutradara dan personil pendukung karya, maka dibentuk jadwal latihan dan sistematika latihan. Sebelum pemain masuk pada wilayah pembacaan naskah, seorang sutaradara perlu menjabarkan tentang konsep pemeranan dan latihan pemeranan meliputi latihan olah tubuh, latihan olah vokal dan latihan olah rasa. Latihan ini merupakan latihan dasar bagi seorang aktor/pemeran sebelum masuk pada naskah, sehingga dengan proses latihan ini, masing-masing aktor tidak lagi memiliki kendala dalam mendekati naskah yang akan dimainkannya.

Membaca naskah (reading teks), merupakan tahap yang paling penting dilakukan oleh para pemain dalam hal membangun irama dialog, membangun interaksi tokoh oleh aktor, mencari suasana dalam dialog, menciptakan dramatik dari dialog yang dilakukan, membangun causality (hubungan sebab akibat lakon). Tentunya, seorang sutradara harus memperhatikan dan mencatat proses reading ini, dan bagaimana menjelaskan kepada aktor tentang lima wawasan/kecerdasan yang harus dimiliki oleh seorang aktor yaitu kecerdasan verbal (kata, bahasa, kalimat, intonasi, diksi, artikulasi sehingga dialog yang dihasilkan menjadi komunikatif), kecerdasan emosional/spiritual yang meliputi kepekaan rendah (perasaan indra dan naluri) dan kepekaan tinggi (perasaan etis, estetis, dan teologis), kecerdasan intelektual (teoritis/mencipta dan praktis/melakukan dengan cerdas), dan kecerdasan sosial (kemampuan observasi sebagai bahan apresiasi terhadap peran yang akan dimainkan). (Japi Tambajong, 1981:108).

Setelah tahapan membaca naskah (reading teks) dilalui, sutradara melakukan tahapan proses selanjutnya yaitu pergerakan pemain (movement artist) dan perpindahan pemain (blocking artist). Blocking dapat hadir berdasarkan movement. Apabila movement tidak ada maka blocking otomatis tidak akan tercipta. Karena, setiap blocking yang dilakukan oleh aktor/pemain didasari pada satu movement yang memiliki sebuah alasan bertindak (action) yang disebut motivasi. Motivasi inilah yang menjadi patokan dalam setiap movement dan blocking yang dilakukan aleh aktor di atas pentas.

Latihan dengan seluruh elemen pertunjukan (properti, set, kostum, musik dan pencahayaan) dapat dilakukan apabila seluruh personil aktor dan tim artistik sudah mempersiapkan segala kebutuhan yang diinginkan oleh sutradara. Latihan ini bertujuan untuk menggabungkan seluruh elemen spektakel panggung untuk menghasilkan hasil karya penyutradaraan dengan baik dan sempurna (perfect). Latihan ini mencoba untuk menyamakan cara pandang sutradara, aktor dan tim artistik dalam hal membangun kesamaan auditif dan visual yang sudah dirancang oleh sutradara pada pra-produksi, menyangkut persoalan warna kostum, warna seting panggung, warna pencahayaan, kesiapan properti pemain dan penyatuan irama ilustrasi dan efek musik dengan emosi pemain.

Persiapan selanjutnya adalah general rehersial (GR) dan Pertunjukan. Tahapan ini adalah akhir dari sebuah kerja penyutradaraan. proses kerja penyutradaraan naskah drama realisme, yang ditampilkan secara kongkrit dihadapan penonton yang akan berapresiasi terhadap karya penyutaradaraan tersebut. Maka, ketika naskah yang ditulis oleh pengarang menjadi milik sutradara, akhirnya karya yang sudah dibuat oleh sutradara akan menjadi milik penonton. Dan penonton yang berapresiasi terhadap karya tersebut akan memberikan tanggapan-tanggapan berupa kritik-saran dari apa yang sudah disaksikanya di atas panggung.

Catatan Proses/Kertas kerja penyutradaraan (Promtbook), adalah dokumentasi tertulis berupa sketsa dan catatan perkembangan latihan yang akan dijadikan sebagai arsip penting oleh sutradara untuk karya selanjutnya.

Penutup

Proses penyutradaraan naskah drama realisme tidaklah begitu sulit, kalau kita benar-benar sudah bisa memahami bagaimana dan seperti apa sistematika kerja yang harus kita lakukan dalam mendekati kerja penyutradaraan tersebut. Sebagai kalangan intelektual dan praktisi yang bergerak dalam seni teater, tentunya kita memiliki dasar dan metode masing-masing dalam mendekati sebuah kerja penyutradaraan naskah drama realisme ini. Bagi penulis, ini bukanlah suatu metode yang baku yang harus diterima dan dilakukan dengan mentah-mentah, tetapi ini adalah salah satu dari sekian banyak metode dalam mendekati kerja penyutradaraan drama realisme. Di sini, Penulis hanya membuat suatu tesa yang kemudian dapat dijadikan sebagai antitesa untuk mencapai sebuah sintesa yang diinginkan. ini hanyalah panduan dasar bagi mahasiswa teater dan seniman yang berprofesi dalam bidang teater.

Ilmu pengetahuan selalu bergerak maju dalam ruang dan waktu. Tidak ada yang kekal dalam dunia ilmu pengetahuan itu sendiri kecuali perubahan. Mudah-mudahan tulisan ini dapat dijadikan suatu referensi, bahkan polemik untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Daftar Bacaan

Anwar, Chairul, 2004. Drama Bentuk, Gaya dan Aliran : Elkhapi Yogyakarta

Badudu, J.S., dan Sutan Mohamad Zein, 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K: Jakarta.

Burhani MS.-Habi Lawrens, 2006, Kamus Ilmiah Populer, Lintas Media: Jombang.

Harymawan, RMA., 1993, Dramaturqi : PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Max Arifin-via internet

Sitorus, Eka D., 2002. The Art of Acting, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Sumardjo, Jacob, 1993. Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Angkasa: Bandung.

Tambajong, Jampi, 1981. Dasar-dasar Datmaturqi, CV Pustaka Prima: Bandung.

Yudiaryani, M.A., Dra., 1997. “Panggung Teater Dunia”, Diktat Perkuliahan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan ISI: Yogyakarta.