Jumat, Mei 21, 2010

SENIMAN TEATER SUMATERA BARAT: antara arogansi dan infantilisme berkesenian

Oleh: Afrizal Harun
 diterbitkan: Koran Padang Ekspress, Minggu 16 Mei 2009

Teater modern Sumatera Barat tumbuh dan berkembang jelas karena faktor seniman yang terus menghidupinya. Kata ‘menghidupi’ di sini tentu saja memiliki banyak kendala dan persoalan yang dihadapi. Dalam menghidupi teater, seniman terus saja kewalahan dalam setiap akses pendanaan untuk menunjang pementasan. Hampir setiap proposal yang diajukan kepada Instansi Pemerintah dan Swasta  baik melalui prosedur birokrasi ataupun kontak personal, terkadang tidak semua bisa dikabulkan dan diharapkan. sehingga seniman teater Sumatera Barat selalu berada pada posisi dilematis dalam menghidupi teaternya sendiri, terengah-engah, karena terlalu lelah dan letih. Namun tetap saja, pertunjukan teater sebagai ekspresi estetik-artistik berjalan walaupun hanya dengan dana yang begitu pas-pasan.
Seniman teater Sumatera Barat, kembali bisa bernafas lega apabila ada bantuan proses dari setiap iven teater yang diselenggarakan oleh Taman  Budaya, Dinas Pariwisata, Institusi Seni apalagi kalau lulus dalam hibah seni (inovatif dan keliling) yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola Jakarta setiap tahunnya. Maka, eksplorasi terhadap naskah drama sebagai kendaraan pertunjukan teater mulai dilakukan, pemain-pemain mulai dihadirkan, elemen artistik  mulai dimunculkan dan sutradara yang lebih mengutamakan penuangan gagasan melalui eksplorasi tubuh-pun juga menghadirkan  bentuk-bentuk pertunjukan beraneka-warna dalam koridor yang sering disebut dengan istilah teater tubuh. Namun, setelah bantuan dan hibah itu-pun usai, seniman teater kembali kepada persoalan-persoalan klasik yang cenderung dijadikan sebagai ajang perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya. Teater kembali vakum, dan secara tidak sadar seniman telah membunuh kehidupan teater dalam dirinya.
Peliknya kehidupan teater di Sumatera Barat, kebanyakan hampir semua gagasan dan pikiran cemerlang seniman hanya selesai di kedai kopi, berdebat layaknya perseteruan dua aktor di atas panggung pada momen suasana konflik yang begitu dramatis, walaupun terkadang perdebatan tersebut tidak pernah menemukan titik yang bersifat solutif, perdebatan eksistensi seolah-olah teater dunia berada digenggaman dan orang-orang yang menyaksikan begitu terkesima tanpa mengedipkan mata karena kebingungan. Situasi ini cenderung menjadikan seniman teater Sumatera Barat memperlihatkan sisi kepongahan dalam berkesenian, apalagi bagi mereka yang mengidap penyakit Post-Power Syndrome.
 Ketika seniman teater itu kembali pada habitatnya masing-masing (komunitas atau kelompok) maka ia kembali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan berkesenian yang tidak sesuai  dengan apa yang diharapkan.  Keluhan-keluhan tidak bisa lagi dihindarkan misalnya, (1) mengenai minimnya dana produksi, (2) proposal pertunjukan belum dikabulkan oleh pihak donator Instansi Pemerintah dan Swasta, dan (3) tiket pertunjukan belum begitu membudaya karena kecenderungan penonton ingin menyaksikan teater secara gratis. Sehingga banyak seniman-seniman teater yang sebelumnya produktif berkarya menjadi pesimis, mengurangi proses kreatifnya atau bahkan meninggalkan teater itu sendiri. Sementara, bagi mereka yang masih ingin dianggap eksis sebagai ‘seniman teater’ cenderung menghadirkan karya-karya teaternya secara instan (kejar tayang), hanya memperhatikan sisi kuantitas saja tanpa mempertimbangkan sisi kualitas dari karya yang ditampilkan.
 Sehingga dapat dipahami, seniman teater seperti ini mencoba mencari kesenangan lain dalam rangka menutupi kekurangan diri dan proses kreatifnya dengan cara menyatakan keunggulan-keunggulan karya-karyanya dihadapan orang banyak terutama dihadapan pemula. Lebih parah lagi apabila seniman seperti ini cenderung menciptakan iklim berkesenian yang tidak kondusif dengan cara menjelek-jelekkan karya dan pribadi seniman lain, menganggap karyanya lebih bagus dan layak daripada seniman lain. Paradigma gap (jurang pemisah, kesenjangan) dalam berkesenian seperti ini telah menjadikan pribadi seniman teater cenderung  anti-kritik dan  emosional dalam menyikapi persoalan berteater yang sedang dihadapi. Apabila hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tujuan berteater itu sendiri sebagai suatu wujud kontribusi ekspresi estetik dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tidak akan tercipta dengan baik.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan personal seniman apalagi salah satu kelompok ataupun komunitas teater manapun di Sumatera Barat. Ini hanyalah sebuah refleksi terhadap pengamatan penulis terhadap iklim perteateran di Sumatera Barat sepuluh tahun terakhir. Teater Sumatera Barat menghadapi banyak sekali persoalan namun seolah-olah tidak perlu dipersoalkan oleh senimannya. Sehingga tetap menjadi api dalam sekam. Hal ini dapat diamati dari persoalan proses kreatif, pendanaan, dan interaksi dialogis sesama seniman. Sinergisme ini dalam iklim teater di Sumatera Barat tidak tercipta secara baik. Sehingga menyebabkan adanya sekat-sekat yang berlarut-larut dan harus dihancurkan secara bijak dan cerdas. bukan arogan dan kekanak-kanakan.

Benarkah Seniman Teater Sumatera Barat Arogan dan Infantil?

Seniman Teater, sebuah penamaan yang terkadang begitu mudah untuk disebutkan, namun tetap saja memiliki beban yang sangat berat untuk dipikul.  Seseorang disebut seniman teater bukan karena ia memproklamirkan diri untuk diakui keberadaannya, tetapi karena adanya faktor masyarakat, kritikus,  dan pengamat yang menilainya. Tergantung sejauh mana sumbangsih seniman itu  dihadapan publik  dalam berteater secara kontinyu, intens, berkualitas dan mampu diterima oleh masyarakat. Kita mengenal tokoh-tokoh teater di Indonesia bukanlah karena namanya yang besar tetapi adalah karya-karyanya yang begitu besar sebut saja Teguh Karya (alm), Suyatna Anirun (alm), W.S Rendra (alm), Putu Wijaya, Ikranegara, Arifin C Noer (alm), Wisran Hadi, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon W.S  dan lain-lain. Hal itu tercermin karena mereka berproses secara intens, kontinyu, dewasa dalam menyikapi teater Indonesia sehingga melahirkan karya-karya teater yang layak diapresiasi sampai saat sekarang ini. Di sinilah letak idealisme kreatifitas seorang seniman yang patut kita contoh dan teladani yang tidak hanya berfikir untuk mengejar popularitas karena kualitas itu benar-benar tercermin dari karya-karya teater yang dihasilkan.
Penamaan terhadap kata ‘seniman teater‘ memang membutuhkan paradigma berfikir yang dewasa dan konstruktif. Menyingkirkan seluruh tendensi yang berbau arogan dan kekanak-kanakan. Apakah anda seniman teater? Berapa lama anda berproses teater? Sudah berapa banyak karya teater yang anda buat? Bagaimana anda memulai berteater? Seperti apakah metode teater anda? Sejauh mana kontribusi anda dalam dunia teater di Sumatera Barat dan Nasional? Barangkali saja, inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu tersimpan dalam memori seseorang yang dikatakan sebagai ‘seniman teater’, suatu pertanyaan yang tidak bisa hanya dijawab dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan.
Berkaca pada situasi ‘seniman teater’ Sumatera Barat hari ini, penulis menilai bahwa iklim kesenian teater tidak ubahnya seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Suatu suasana permainan yang penuh persaingan, gap-gap, penuh kecurigaan, ambisi, anti-kritik, emosional, dan lain-lain. Apakah anda termasuk kategori seperti itu? Maka bercerminlah, maka anda akan menemukan jawabannya. Inilah situasi perteateran di Sumatera Barat sepuluh tahun terakhir, cenderung arogan (pongah-sombong) dan invantil (kekanak-kanakan). Iklim teater di Sumatera Barat layaknnya seperti api dalam sekam, lain dimulut ternyata lain pula dihati, onak dalam duri, penyakit hati yang harus dicarikan jalan keluar pengobatannya. Namun siapakah yang mampu untuk menjadi obat penawar? Jawabannya adalah seniman itu sendiri, asal ia punya keinginan untuk terbuka dan menyadari kalau penyakit itu hadir karena ulahnya sendiri.

Perlunya Ruang dialog dan iven kreatifitas bersama
 Kurangnya komunikasi sesama seniman teater sehingga menciptakan sekat-sekat dan gap menyebabkan interaksi yang seharusnya dapat dibina dengan baik jarang terjadi, inilah yang tidak disadari oleh seniman teater di Sumatera Barat. Padahal perkembangan teater hari ini di Indonesia terus saja bergerak maju dalam bentuk eksplorasi-eksplorasi gagasan-pertunjukan secara artistik-estetik, pembenahan manajemen kelompok/komunitas secara baik, membangun jejaring kesenian seluas-luasnya, sehingga kendala-kendala dalam berteater baik menyangkut proses kreatif, pendanaan, interaksi sesama seniman dapat teratasi.
 Sementara di daerah (Sumatera Barat) pikiran teater hanya sibuk dalam konteks mengedepankan eksistensi masing-masing ‘inilah aku, kau tidak ada apa-apanya’  kesalahan dalam cara pandang ini diharapkan memang harus bisa disikapi secara bersama. Melihat teater Sumatera Barat berada pada tiga tempat yang strategis yaitu Padang, Padangpanjang dan Payakumbuh. Hal ini, sangat memberikan peluang bagi seniman yang mau membuka diri untuk saling bahu-membahu dalam menciptakan iklim berteater di Sumatera Barat yang kondusif dan Indonesia secara umum.
Ruang dialog seniman teater Sumatera Barat dan iven kreatifitas bersama adalah jawaban untuk menjernihkan segala persoalan yang dialami oleh seniman-seniman teater itu sendiri juga menjadi obat dari penyakit hati yang sudah bersarang selama ini. Tentunya, banyak sekali nilai positif yang dapat diambil dari ruang dialog dan kreativitas dilakukan yaitu, (1) membangun ruang komunikasi dan silaturrahmi sesama seniman teater Sumatera Barat dalam konteks meng-eleminir kecenderungan gap-gap dalam berkesenian teater juga menepis semua penyakit hati seniman teater yang cenderung arogan dan infantil, (2) mampu menjadi ruang efektif dalam berbagi informasi dari seluruh aspek yang bersentuhan dengan teater seperti proses kreatif, penyutradaraan, keaktoran, manajemen kesenian, jejaring kesenian dan lain-lain, (3) dengan adanya ruang ini maka kendala-kendala yang menyangkut  pendanaan proses kreatif dan pementasan, sebagai langkah untuk menghidupi teater Sumatera Barat dapat teratasi dengan baik, dan (4) teater Sumatera Barat benar-benar mampu diperhitungkan dalam percaturan teater secara Nasional bahkan Internasional. Salam Teater*


Solo, 12 Mei 2010
Penulis adalah Pemerhati Seni dan budaya
Khususnya Teater

Selasa, Mei 04, 2010

MAYUR: Tragedi Negeri yang Diparut dalam Ruang Kecil
(catatan kecil pertunjukan Teater Ruang berjudul Mayur karya/sutradara Ery Aryani).

Oleh: Afrizal Harun


Pertemuan sayur-mayur dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain bercerita tentang pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau manusia bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang "bertangan besi" (Joko Bibit Santoso)


Ketika lampu perlahan dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang panggung, perempuan dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui sebuah gerak teatrikal, perempuan membelakangi penonton menuju samping kanan, perempuan tersebut menepuk parut sehingga memberikan gambaran kehidupan yang jatuh lalu diinjak tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak jantung dalam mengawali pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja lelaki 1) dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam muncul dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong (sebut saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah gambaran kehidupan yang absurd.

Tanpa kata, namun pertunjukan berusaha memberikan ruang komunikasi dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh, sett, properti, dan pencahayaan sebagai teks pertunjukan yang penuh dengan muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki berdialog bersama parut dan tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh layaknya fenomena teater tubuh yang begitu menjadi perhatian dalam perkembangan teater kontemporer di Indonesia saat sekarang ini seperti Teater Sae (Budi S Otong), Teater Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman Sabur), komunitas seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin), Teater Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya Setiawati), namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang berbeda dalam menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba tidak ‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum pertunjukan dimulai) mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara mentah-mentah, karena jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak untuk digali dan dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater Indonesia.

Kembali pada pertunjukan, perempuan kembali muncul dengan membawa parut berukuran besar, ditengahnya tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba memahami parut besar dalam konteks tekanan-tekanan. Perempuan meniduri ribuan paku yang tertancap pada papan parut, bercinta dengan keperihan dan kepahitan, walaupun terkadang sedikit kosong. Perempuan tetap saja berada pada posisi yang tidak begitu menguntungkan dalam kehidupan, sub-ordinat, eksploitasi, pelecehan, dan semua istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek marginalisasi gender. Kemudian, Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas batten lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1 muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang ke beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung Mayur pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu peristiwa dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan lagu “Bintang Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut layaknya Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk tangan-pun menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan pertanyaan dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?

Begitulah akhir dari pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur, karya/sutradara Ery Aryani yang dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung Tanggul Dawung Wetan RT 3/15, Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei 2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan yang sama juga sudah digelar pada hari sebelumnya, taanggal 30 April 2010.

Tragedi negeri yang diparut dalam ruang kecil
Barangkali saja, ini hanyalah sebuah interpretasi penulis dalam menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara Ery Aryani produksi teater Ruang Surakarta. Walaupun banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa dimunculkan dalam pertunjukan ini. Sebuah peristiwa pertunjukan yang menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam mengkomunikasikan teks-teks sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman tersirat, karena teks pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan Indonesia, yang begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus globalisasi menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi subur, karena pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky Fred Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah berubah menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup dan lain sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh carut-marut, kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana bernama teater tubuh.

Panggung kecil dalam kantong kebudayaan dan seni pertunjukan yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater Ruang mencoba memberikan penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan pencahayaan. Walaupun secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana, sutradara Ery Aryani mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur mayur selama satu bulan” karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami pernah membeli sayur mayur dari para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual kepada para pedagang di Pasar Legi Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan sayur yang sempat rugi Rp 4 juta akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk membuat pertunjukan Mayur. Selama satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi bentuk, dan mencari kemungkinan-kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan properti sehingga menghasilkan sebuah karya teater tubuh yang layak untuk diapresiasi.

Bukan hanya sekedar pujian, barangkali sebuah kritik juga akan bisa membantu untuk proses selanjutnya. Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila ini dieksplorasi lagi lebih mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan kekuatan-kekuatan baru dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan “saya hanya suka melihat pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain juga mengatakan “karena posisi saya begitu awam dengan teater, karena saya mahasiswa tari. Saya melihat pertunjukan malam ini seperti koreografi tari karena tidak ada dialog sedikitpun, walaupun hanya tembang, tapi tetap saja yang saya lihat adalah tari”. sebuah komentar yang harus disikapi dengan cermat dan bijak.

Penulis begitu mengapresiasi semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit Santoso dalam melakukan proses kreatif teater, menciptakan kantong-kantong pertunjukan sendiri walau sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif sehingga menjadi catatan tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati dalam melakukan proses eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh itu sendiri sehingga tidak terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial, tanpa sebuah motivasi laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks pertunjukan hanyalah sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh setidaknya mampu menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang dicermati dalam peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas pentas. Salam Teater*


Solo, 2 Mei 2010


Link Terkait: http://afrizalharun.blogspot.com