Kamis, Juni 25, 2009

Inilah Teater Sumatera Barat Hari Ini


Oleh: Phie2t

Sebuah pementasan teater yang spektakuler, mampu membawa ketegangan otot pikiran para penonton, teater yang bisa memberikan teror bagi semuanya. Inilah ungkapan hampir semua penonton yang memenuhi Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang pada hari Kamis, tanggal 24 Januari 2008 tepatnya pukul 20.00 Wib. Ya, mereka dihadapkan dengan sebuah bentuk teater eksplorasi ‘Zona X (Nyanyian dari Negeri Sunyi) karya/sutradara Afrizal Harun yang mewakili Komunitas Hitam Putih (Sumatera Barat) dalam Pekan Apresiasi Teater III.
Ada sesuatu yang baru yang coba ditawarkan oleh sang sutradara yang juga staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang dalam menyikapi eksistensi teater di Sumatera khususnya Sumatera Barat hari ini yang mulai pasang surut, dalam artian aktivitas keseniannya. Hasilnya, sebuah karya yang inovatif dan mampu mengetengahkan persoalan global dari sudut pandang yang berbeda.
Zona X lahir berkat adanya kegelisahan bersama yang dirasakan oleh setiap personil yang teribat, bahwa dunia sudah terasa membosankan ulah perang. Perang yang dimaksud juga beragam. Secara wacana, perang yang ingin dieksplor oleh Afrizal Harun meliputi peperangan fisik maupun perang secara pemikiran. Perang yang dimaksud juga tidak hanya melibatkan subjek lain, namun dalam bentuk perlawanan bathin seseorang dengan dirinya sendiri. Akhirnya manusia menjadi gelisah dengan kemonotonan hidupnya. Manusia lelah dengan kebisingan hidup.
Konsep panggung arena menjadi pilihan tepat dalam pementasan ‘Zona X’ ini. Penguasaan ruang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal. Berbagai pengeksplorasian terhadap simbol menjadi prioritas teater mini kata ini. Pilihan screen putih mendukung visualisasi multimedia yang memunculkan potongan gambar dampak perang bagi berbagai pihak. Sedangkan scenografi ini dipercayakan kepada Yusril. Ide yang ditawarkannya sangat menghidupkan karya kali ini.
Di sisi lain, kekuatan karya berada pada keaktoran. Afrizal Harun telah memberikan ruang kreativitas bagi aktornya untuk mengeksplor beragam bentuk gerak. Salah satunya, meminjam spirit gerak silat tradisional Pariaman Luambek dan seni bela diri Brazilia Capoera. Merupakan penggabungan dua dinamika gerak yang sangat berbeda secara visual. Luambek merupakan perwakilan jiwa yang tenang dan damai namun tajam, sedangkan Capoera menghasilkan gerak yang tangkas, enerjik dan gesit. Hasilnya menjadi sesuatu yang perlu diperhitungkan.
Malam itu, pementasan ‘Zona X’ hampir tak ada cela sedikitpun. Sutradara berhasil meneror penonton secara visual maupun fisik. Penghadiran property yang menghasilkan efek kebisingan, cipratan air sabun yang berasal dari baskom besar di salah satu sudut panggung, ternyata manjur meneror semua yang ada di dalam gedung.
Jika dilihat segi teks sastra, pementasan ini memang tidak membutuhkan teks naskah sebagai media komunikasi. Secara visual, gerak para aktor telah mewakili hal ini. Gerak telah melahirkan simbol-simbol baru dalam pementasan. Jadi sebagian pendapat mengatakan ada baiknya sutradara memangkas habis dialog yang diucapkan oleh aktor. Sebagian memang terkesan tepat dan perlu, namun pada bagian lain malah membuyarkan konsentrasi penonton. Bukan berarti pementasan ini menyepelekan teks naskah namun hal ini sudah bisa terwakilkan oleh gerak.

Selasa, Juni 02, 2009

Anak Lanun yang belum Ranum

Oleh Afrizal Harun

Menjelang pertunjukan Teater “Anak Lanun” karya/sutradara Pinto Anugrah di Taman Budaya Sumatera Barat pada hari Kamis, tanggal 28 Mei 2009, begitu banyak antusias masyarakat penonton teater baik dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun seniman yang ingin menyaksikan pertunjukan. Disamping itu, mereka (penonton teater) ini juga melakukan proses interaksi yang baik dalam konteks senda gurau, bahkan sampai diskusi serius menyangkut tentang polemik politik, seni dan budaya terutama teater. Antusias masyarakat penonton teater ini, sangat patut kita hargai karena kita percaya bahwa teater itu akan menjadi bermakna apabila ada unsur penonton di dalamnya.

Tepat pada pukul 20.09 WIB, MC (uda Syuhendri) hadir di depan mikropon dan membacakan sinopsis karya “oh, hendak kukisahkan jua hikayat yang telah lama berulang jua; kususun balik hikayat budak melayu; agar semuanya jelas dan tak layu; akulah yang mereka sebut tun bujang; mencari ayahnya yang bernama anggang; anak minangkabau yang kelak mereka panggil raja kecik; membangun siak yang dikelilingi encik-encik; tun bujang yang mereka buru dengan meriam; musuh raja-raja bugis segala yang geram; oh, tanah melayu; tempat berdiri raja-raja bugis; tempat berdagang anak minangkabau; tempat bersyair budak melayu; kita lanun!” dan selamat menyaksikan….
Ketika musik pengantar pertunjukan mulai dimainkan, penonton digiring pada suasana gymic awal melalui penanda-penanda yang memiliki ruang interpretasi terhadap apa? Siapa? Dan mengapa? Kemudian lampu follow spot hidup (fade in), tepat mengarah kepada wajah pemain yang berambut setengah gondrong, pada kalimat selanjutnya baru kita mengetahui kalau dia memerankan tokoh Tun Bujang. Dia bergerak mencoba untuk memaknai properti yang berada di depannya. Kain putih yang menggumpal secara simbolik dengan bantuan cahaya senter memberikan pernyataan-pernyataan puitik dan metafor melalui narasi-narasi yang diucapkan oleh aktor dengan cara silih berganti. Pada bagian selanjutnya, gumpalan kain putih berubah menjadi layar dan kita dihadapkan pada suasana pelayaran yang jauh di sebuah negeri yang mungin saja bernama entah. Kemudian dialog-dialog tokoh hadir dan bertebaran di atas panggung sebagai pertanda pentingnya dialog tersebut diucapkan agar dapat diterima dengan baik dan jelas ditelinga penonton. Perdebatan tokoh yang menjadi cerminan tulang punggung sebuah drama (spine of drama) tercipta melalui konflik yang dimunculkan aleh para aktor di atas panggung mereka berdebat tentang identitasnya masing-masing. Sementara Tun Bujang masih saja disibukkan dengan pusaka dan pencaharian Anggang yang dia sebut sebagai ayah, tidak pernah menemukan titik temu. Sampai kemudian lampu panggung pertunjukan dipadamkan dan penonton bertepuk tangan. Pertunjukan-pun selesai begitu saja tanpa ada sesuatu yang harus dibawa ke alam mimpi.

Pentingnya membina keaktoran

Ketika membaca naskah “Anak Lanun” karya Pinto Anugrah. Secara prinsip naskah tersebut memang bagus untuk diapresiasi karena mengangkat persoalan tematik yang berangkat dari tiga komponen penting untuk menjelaskan tentang sejarah kebudayaan melayu yaitu budaya Bugis, budaya Minangkabau dan Melayu itu sendiri. melalui perpaduan kata dan kalimat yang sangat metafor dan puitik, naskah yang diusung oleh Pinto Anugrah sangat kuat, namun pada sisi lain, naskah ini malah menjadi lemah karena disebabkan para pemain tidak mampu mengeksplorasi kata-kata maupun kalimat-kalimat naskah dalam konteks artikulasi, intonasi, diksi ke arah yang lebih maksimal, sehingga jelas terlihat setiap wujud laku yang diproyeksikan di atas panggung tidak memiliki isi, ekspresi, karakter bahkan juga kurang memberikan daya sugesti sehingga penonton tidak ter-empati dari laku yang dimainkan di atas panggung. Pemahaman utama yang harus internalisir oleh para aktor/aktris yang bermain pada malam itu adalah membaca naskah di atas panggung dengan memerankan naskah di atas panggung tentu harus disikapi lagi dengan baik (sebagai bahan evaluasi).
Pemahaman tentang pertunjukan teater. Maka, aktor dan aktris memiliki peranan yang paling utama untuk menghidupkan lakon (cerita). Sementara posisi sutradara hanya sebatas bagaimana kemampuannya mengatur dan membina kerja artistik (pemain, penata cahaya, rias, kostum, dan sett/properti) dan kerja manejerial pertunjukan. Secara manejerial, pertunjukan “Anak Lanun” karya/sutradara Pinto Anugrah menurut hemat saya tidak begitu bermasalah. Namun dalam konteks penyutradaraan, Pinto sangat lemah sekali dalam wilayah pembinaan aktor, sehingga mentalitas yang dibangun oleh para pemain belum mencerminkan kalau mereka benar-benar siap memainkan naskah tersebut, Pinto menurut hemat saya sangat kewalahan dalam melakukan proses pembinaan aktor untuk bisa bermain lebih berkarakter dan sugestif.


Perihal Anak Lanun yang belum Ranum

Kematangan sebuah pertunjukan teater tidak lepas dari pemahaman kita terhadap pentingnya sebuah proses yang maksimal. Sehingga dari proses tersebut, kita-pun dapat melihat hasil yang maksimal dan matang pula. Ketika melihat pertunjukan teater “Anak Lanun” karya/sutradara Pinto Anugrah, jelas sekali terlihat bahwa proses yang dilakukan oleh Teater Langkah Fakultas Sastra Indonesia Unand ini belum mencapai target yang diinginkan sehingga terkesan karya yang ditampilkan ‘tidak siap’ karena aspek-aspek visual yang sebenarnya ‘mungkin’ dalam frame atau visi sutradara masih banyak peluang eksplorasi yang ingin dilakukan tapi karena deadline pentas sehingga itulah yang bisa ditampilkan. Mungkin secara teknis, ruang komposisi dan capaian artistik melalui pengolahan sett, properti dan pencahayaan yang dibangun oleh Pinto Anugrah selaku sutradara tidak begitu menjadi persoalan yang signifikan, namun menyangkut wilayah pemeranan (keaktoran), berdasarkan amatan saya, inilah yang menjadi persoalan yang paling mendasar yang harus disikapi secara serius. Karena sebanyak apapun dan sebagus apapun naskah yang ditulis oleh Pinto Anugrah kalau cara memainkannya masih seperti dalam pementasan “Anak Lanun” maka sampai kapan-pun teater Langkah Fakultas sastra Indonesia Unand Andalas melakukan pementasan teater, tidak akan pernah berkembang secara maksimal dan dialektis.
Tulisan ini, memang berdasarkan amatan saya terhadap lemahnya peranan aktor dalam pentas “Anak Lanun” karya/sutradara Pinto Anugrah. Sehingga hal yang paling elementer yang harus dibenahi adalah pembinaan aktor-aktornya sehingga untuk pertunjukan ke depan tentunya Anak Lanun telah menjadi ranun dalam menyikapi pentingnya akting dalam dunia teater. Mudah-mudahan, tulisan ini dapat menjadi salah satu media saja untuk motifasi bagi sesama penggiat teater di Sumatera Barat, khusunya Teater Langkah. Salam Kreatif. (Ah)