PEMENTASAN TEATER KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH
Koran Haluan, Minggu, 20 November 2011
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar
Pada hari terakhir A Tribute to Wisran
Hadi, Rabu (15/11) sorenya di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat
tampil Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang memanggungkan naskah
Sebatas Kita dengan sutradara Kurniasih Zaitun. Pada malamnya, di tempat
yang sama tampil Teater Noktah Padang membawa Wanita Terarkhir
sutradara Syuhendri.
Pementasan Sebatas Kita ini merupakan tafsir bebas sutradara Kurniasih Zaitun atas naskah Wisran Hadi berjudul Of the Record.
Galibnya sebuah tafsir terhadap teks
naskah—konsekuensi yang paling dirasakan penonton adalah kesan dari
“teks” dan simbolisasi di atas panggung. Sutradara punya otoritas
terhadap tafsir teks. Panggung sebagai wilayah yang akan diisi dengan
tafsir itu. Kemunculan simbol, tokoh yang tak memerlukan dialog,
properti yang sangat fungsional, tubuh sebagai representasi konflik,
busana sebagai identitas kultural, dan sebagainya, sepanjang 70 menit,
Komunitas Seni Hitam Putih memberi makna dan roh pada pentas, yang
selama 3 hari diisi dengan hal-hal yang monoton.
Sutradara merambah pada wilayah teks budaya Minang, sebagaimana datuk adalah “kekuasaan” tertinggi dalam pesukuan di Minangkabau, meleleh dan cair ketika pada awalnya ia tanpa pakaian, lalu merampok pakaian kebesaran dan atribut datuk, dan mengenakannya. Tapi pakaian datuk itu menyiksanya sehingga ia lepas lagi. Pesan ini membuka kemungkinan multitafsir bagi penonton yang paham tentang simbolisasi adat Minang.
Sutradara merambah pada wilayah teks budaya Minang, sebagaimana datuk adalah “kekuasaan” tertinggi dalam pesukuan di Minangkabau, meleleh dan cair ketika pada awalnya ia tanpa pakaian, lalu merampok pakaian kebesaran dan atribut datuk, dan mengenakannya. Tapi pakaian datuk itu menyiksanya sehingga ia lepas lagi. Pesan ini membuka kemungkinan multitafsir bagi penonton yang paham tentang simbolisasi adat Minang.
Awalnya, Kurniasih Zaitun membuka
panggung dengan mengahadirkan kursi kayu dan meja rotan di sudut kiri
(depan). Sepetak ruang ganti, berisi tiga kamar kecil, dengan penutup
kain putih, di bagian kanan (belakang) panggung. Ini mengingatkan saya
kamar ganti di mal-mal. Melalui properti kursi, meja, dan ruang ganti
inilah, para aktor melakukan aksi panggung yang diolah tanpa dialog ini.
Penanda dipapar bervariasi di atas
panggung. Gerak dan simbol-simbol yang diciptakan atau tercipta sendiri,
komunikatif. Aktor-aktor tak memerankan dirinya saja. Ia menjadi
multifungsi dan memberi efek pada aktor-aktor lainnya. Gerak dan
ketelanjangannya memberi dan menguatkan simbol lainya.
Seorang aktor hadir melalui gerakan
dramatik di atas kursi kayu dengan lembaran-lembaran koran yang dibuka
dengan cepat sebagai tanda kebosanannya. Ia muntah setiap halaman koran
yang dibuka. Dalam wacana media massa, si aktor seakan menerima efek
efektif (berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude [sikap]).
Efek yang dalam pandangan Mc. Luhan, seorang pakar ‘efek komunikasi
massa’, di mana seseorang (aktor-red) cenderung merima informasi dari
apa yang dilaporkan media massa, efek dari sajian adegan kekerasan yang
menimbulkan semacam kemuakan dan menganggap dunia ini sekan
mengerikan.
Efek media massa ini terlihat sebentar
pada pementasan. Berlanjut pada permainan beberapa orang aktor di bagian
kamar ganti. Di sini terlihat penggambaran kritik atas kebebasan
seksual yang diumbar-umbar. Berahi yang tak jelas juntrungannya
dihadirkan melalui aksi dari dua orang aktor laki-laki yang (sepertinya)
sedang melakukan hubungan intim di dalam sebuah ruangan, yang bisa jadi
ruang ganti, atau kamar mandi.
Penggambaran wacana (homo) seksual
tersebut terlihat hanya sebatas kaki aktor yang melakukan gerakan dari
belakang kain tabir ruangan. Tapi, bisa jadi, penonton telah bisa
menafirkan melalui kaki aktor yang tampak dan gerakan-gerakan dari balik
belakang kain tabir.
Kehadiran ‘pakaian’ merupakan bagian
yang paling inti dari pementasan ini. Pakaian sebagai titik mula dari
wacana ‘pencitraan’. Pada salah satu bagian muncul seorang perempuan
yang membawa berbagai pakaian memalui sebuah gerobak, lantas pakaian
tersebut digantung di tiga ruangan kamar ganti.
Pakaian tersebut terdiri dari pakaian
kebesaran datuk, baju haji, seragam polisi, seragam tentara, pakaian
wisuda (toga), dan pakaian prakter dokter. Pada bagian ini pementasan
hadir melalui tari, di mana salah seorang aktor keluar dari dalam
gerobak, lantas bergerak ke arah ruang ganti pakaian.
Saat si penari membuka tabir kain ruang
ganti, terlihat para aktor dengan pakaian-pakaian tadi. Hadirlah seorang
datuk, seorang pak haji, seorang polisi, seorang tentara, seorang
dokter, dan seorang sarjana. Tapi orang-orang di balik pakaian tersebut
hadir seperti sebuah manekin, bisa jadi robot, yang hanya kaku dan tidak
melalukan gerakan.
Pertunjukan yang diperkaya dengan
koreagrafi Ali Sukri ini memberi dampak yang kuat pada jalannya
pementasan. Naskah Wisran Hadi yang selalu dipentaskan dengan sangat
nyinyir oleh kelompok-kelompok teater sebelumnya, di tangan
Tintun—begitu ia akrab dipanggil—dihantamnya. Tanpa kata sekalipun, apa
yang ingin dicapai naskah Wisra Hadi, tercapai.
Sekelompok penari menanggalkan
pakaiannya sampai yang tersisa hanya pakaian dalamnya. Saat bersamaan,
muncul tokoh datuk dengan segenap atribut kebesarannya. Penari pun
terkesima dan dengan gerakan yang sangat komunikatif, ia mempreteli
pakaian sang datuk tanpa perlawanan. Datuk itu pun diganti pakaiannya
dengan baju dan kopiah putih seorang haji.
Lantas si penari mulai melakukan
gerakan-gerakan tarian yang seolah-oelah menggugat kekuasaan datuk yang
seolah hadir hanya melalui pakaian besarnya. Gugatan-gugatan ini
ditonjolkan si penari seketika ia memakai pakaian kebesaran datuk.
Tafsir datuk seakan hanya seorang yang dihadiahi pakaian, lantas punya
kuasa atas keputusan terhadap kemenakannya, punya kuasa atas hak putus
tanah ulayat, atau pemberian gelar pada seseorang. Dan sang penari
terlihat gerah ketika memakai pakaian datuk tersebut, ia tanggalkan satu
persatu, ia buang di atas panggung.Hal yang sama juga dilakukan dengan
simbol kuasa lainnya, seperti polisi dan tentara, haji, serta pakaian
wisuda sarjana.
Kaum Nudism
Konsep pakaian sebagai penanda dan
identitas dihadirkan melalui pemberontakan atas ‘pakaian’ sebagai
harkat, martabat, status sosial. Penolakan-penolakan ini menggambarkan
kesepakatan kaum nudism. Kaum yang mengganggap pakaian telah
mencipatakan komunikasi personal seseorang menjadi terhambat, kaum
yang menganggap pakaian telah meninggalkan pemaknaan hakiki dari
kebudayaan manusia itu sendiri, kaum yang menganggap ’ketelanjangan’
kembali ke hal yang harfiah dari manusia. Dalam pandangan nudism, ketika melepaskan baju, manusia menciptakan pembenaran sendiri yang mengaitkan seksualitas, pornografi.
Minimalis Kata
Wacana-wacana di atas panggung selama
pertunjukan memang hadir dengan dialog yang minim. Meski pada suatu
bagian ada suara terdengar mengucapkan huruf vokal “a-i-u-e-o” dan
“kabau”. Musik pun mengiringi lajunya pertunjukan dan menghadirkan
degradasi pada suasana. Musik seolah menghidupkan setiap tafsir yang
dibangung di atas panggung.
Kurniasih Zaitun mengatakan, pementasan tersebut merupakan tafsirnya utuhnya terhadap karya Wisran Hadi. “Naskah berjudul Of the Record, dalam tanda kurung Sebatas Kita. Dan saya membaliknya menjadi Sebatas Kita tapi dalam kurung Of the Record,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa memang dalam teks
naskah Wisran Hadi tersebut memang hanya ada peristiwa tematik tanpa
dialog. “Di dalam naskah ada beberapa tematik tentang kebudayaan,
kekuasaan, hukum, tradisi, keadilan. Dan dengan naskah yang tanpa dialog
ini, saya leluasa dengan konsep teater tubuh yang saya dalami sejauh
ini,” tambahnya.
Ia pun mengungkapkan, dirinya secara
penuh bersetia pada tematik yang dihadirkan dalam naskah Wisran Hadi.
“Akan tetapi dalam konsep pemanggungan, suasananya jauh dari naskah
tersebut, dengan penghadiran pakaian yang berbeda,” jelas Tintun lagi.
Dan dalam anggapannya, tafsir
‘ke-kini-an’ terhadap naskah Wisran Hadi melalui pementasan “Sebatas
Kita” menandakan naskah tersebut relevan dengan wacana kekinian yang
hadir dalam persoalan masyarakat. “Dalam naskah tidak disebutkan jelas
tentang perselingkuhan, homo seksual, dan lainnya. Tapi hal tersebut
ada, dan saya mengkaji ulangnya,” kata Tintun.
Tubuh yang Menguat
Satu gerak dalam panggung teater merepresentasikan sekian makna. Gerak dan laku diperhitungkan efektifitasnya. Sutradara Sebatas Kita tampaknya memperhitungkan ini.
Jika diurut ke belakang, selama ini,
Komunitas Seni Hitam Putih yang didirikan pada 1996 selalu ketat dengan
konsep eksploratif dan semiotif visual siapa pun sutradaranya. Jika
mau dibandingkan, garapan terakhir Yusril Katil, pendiri Komunitas
Seni Hitam Putih ini, yaitu Orang-orang Bawah Tanah, sepertinya itu bukan identitas kelompok ini sesungguhnya.
Sore itu panggung Sebatas Kita
memang memberi pembedaan tegas terhadap tujuh pertunjukan dalam rangka
Parade Naskah Wisran Hadi yang telah digelar sejak 12 November.
Jika tujuh kelompok sebelumnya sore dan
malam panggung dipenuhi dengan kata-kata, gerak-gerak yang tak bermakna,
miskin simbol, dan sangat melelahkan mendengar dialog aktor yang
belepotan dengan intonasi yang datar dan merata.
Sore itu, semua terbalik. Tak ada lagi
kita mendengar orang-orang marah di atas panggung. Tubuh melahirkan
dialog. Gerak memunculkan simbol dan komunikasi yang nyaris sangat
“nyambung” dengan penonton. Mengintegrasikan koreografi memang
memperkuat semiotif visualnya. Kendati, beberapa gerakan dibuat
berlama-lama, padahal pesan yang disampaikan telah dipahami. Tapi ini
adalah salah satu perjalanan teater Sumatera Barat, yang beda dengan
yang lain: jauh dari kecengengan.
Web.
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10311:merayakan-sebatas-kita-tanpa-kata&catid=46:panggung&Itemid=160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar