Minggu, November 20, 2011

DUA PEMENTASAN TEATER YANG ANTIKLIMAKS

35 TAHUN BUMI DAN IN MEMORIAM WISRAN HADI

Haluan, Minggu, 13 November 2011 01:02 
Ditulis oleh Teguh  
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar
 
dua kelompok teater yang menasbihkan dirinya sangat dekat dengan sosok almar­hum teaterawan Wisran Hadi, menyuguhkan pementasan teater dalam helat 35 Tahun Bumi. Masing-masing mengu­sung bentuk garapan yang berbeda.

Gaung Eskpose Padang mengangkat naskah—yang tak jelas maksudnya, mengapa bukan karya Wisran Hadi—Gubernur Nyentrik dipentaskan prosenium. Kelompok seni Hitam Putih membawakan karya Wisran Hadi, Orang-orang Bawah Tanah yang ditampilkan di luar pentas atau di lapangan terbuka.

Kedua orang yang me­nyutradarai pertunjukan teater itu: Armeynd Sufhasril dan Yusril, bukan anak kemarin sore dalam jagat teater Su­matera Barat. Keduanya—kendati beda usia— sudah bertungkus lumus bersama Bumi Teater, tapi, sayang sekali, kedua garapan yang disuguhkan seperti men­jauh dari apa yang pernah dihasilkan Bumi Teater selama ini. Dua pementasan yang menjadi antiklimaks. Menurun dari dari berbabagai aspek.

Tiga puluh lima tahun silam, sekitar Januari 1976, saat proses latihan teater berjudul Gaung dengan naskah dan sutradara Wisran Hadi, sema­cam manifes dinyatakan untuk penanda kehadiran Bumi Te­ater.
“...Teater kami adalah teater yang berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami mencari bumi yang lain untuk kami bertolak. Pertanggungan jawab dari corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah SWT. Karena kami percaya bahwa bumi tempat kami berpijak adalah bumi yang dititipkan Allah SWT pada kami.”

Manifes ini bukan sekadar kalimat basa-basi pelengkap kehadiran Bumi Teater. Mani­fes ini merupakan gejolak keprihatinan atas gelombang ‘kematian’ kesenian Sumatera Barat, khususnya teater pada saat itu. Di mana Sumatera Barat tidak tampak dalam peta perteateran di Indonesia. Di mana ruang, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), ruang kebanggaan kesenian yang di bangun di pusat negeri ini (Jakarta) seolah tak terjangkau oleh penggiat teater Sumatera Barat. Tak terjangkau, atau bisa jadi pada saat itu, tak ada kemampuan untuk men­jang­kau.

Sejak manifes itu, Bumi Teater, Sastra, dan Seni Rupa dengan ujung tombaknya Wis­ran Hadi berusaha masuk dalam ruang-ruang yang belum terjangkau. Wisran Hadi, secara personal atau atas nama Bumi telah menjadi catatan penting dalam konstelasi perteateran Indonesia.

Setidaknya, sudah sekitar 50 pementasan teater yang dihadirkan, dari pementasan pertama (Gaung, 1976) sampai pementasan paling akhir (Wa­yang Padang, 2006). Puluhan naskah karya Wisran Hadi pun menjadi tolok ukur, men­jadi per­bincangan ber­bagai pihak, atas muatan-mua­tan yang dikan­dungnya. Naskah yang sebagian be­sar men­jadi jawara di ajang-ajang per­lom­ba­an naskah bergengsi di Indo­nesia.

Tapi sejak me­ning­galnya Wis­ran Hadi be­-­be­rapa bulan silam, sejak Bumi Teater kali terakhir mementaskan pertun­jukannya, apakah manifes atau spirit teater moderen yang dihadirkan Wisran Hadi dise­rap oleh para teaterawan atau kelompok teater di Sumatera Barat sebagai suatu kebaruan yang patut terus dieksplorasi?

Dan pembukaan peringatan 35 Tahun Bumi dan In Me­moriam Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatera Barat adalah pembuktian. Dari tanggal 9-11 November, tiga kegiatan digelar, yakni pementasan teater oleh grup Gaung Ekspose berjudul Gubernur Nyentrik (karya Agustan T Syam) sutradara Armeynd Sufhasril, Temu Anak Bumi Teater dengan pembacaan obituari Wisran Hadi oleh Darman Moenir, serta pementasan teater berjudul Orang-orang Bawah Tanah (karya Wisran Hadi) oleh kelompok seni Hitam Putih dengan sutradara Yusril. Tiga tajuk acara yang bisa jadi adalah penggambaran dari spirit 35 tahun Bumi, peng­gambaran sejauh mana manifes yang dipatrikan puluhan tahun silam itu diterima dan dieksp­lorasi terus menerus oleh para teaterawan di Sumatera Barat.

Tiga tajuk acara yang diisi oleh orang-orang yang pernah berproses panjang di Bumi Teater atau berde­katan secara emo­sional dengan Wisran Hadi. Tiga tajuk acara mem­buka sembilan per­tun­jukan lain, akan beruturut-turut dalam sepekan, pertunjukan yang akan membuka celah-celah wacana dalam naskah yang pernah dibuat Wisran Hadi.

Gaung Berusaha “Nyentrik”
Kelompok Teater Gaung Ekspose, mempertunjukkan “Gubernur Nyentrik” di Teater Utama Sumatera Barat (9/11) malam. Dengan naskah yang ditulis Agustan T Syam terse­but Armeynd Sufhasril berusaha menghadirkan (ulang) per­soalan ‘korupsi’ yang sudah sering dibahas dalam berita televisi. Beberapa pemain di dalam pertunjukan tersebut, sebagian besar sudah pemain lama, sudah pernah ikut ber­proses di Bumi Teater. Akan tetapi pertunjukan malam itu terasa tidak memberikan kon­tribusi penting dalam penanda angka ’35 tahun’.

Secara menyeluruh pementasan tersebut berusaha memparodikan kegiatan harian seorang gubernur dengan istri, ajudan, dan orang-orang yang berdekatan dengan lingka­rannya. Parodi yang hampir sama pembawaannya dengan cara grup “Teater Keliling” Rudolf Puspa mementaskan. Entah mana yang menyalin?
Sepanjang permainan ter­kadang tampak totalitas proses berteater dihancurkan secara tiba-tiba, entah kenapa, meski di beberapa sisi ada ‘aktor’, ada ‘properti’ ada keinginan untuk membangun totalitas tersebut.

“Apakah ini pertunjukan teater atau show musik dengan tema lagu-lagu Iwan Fals dan Slank sebagai penguat bahwa malam ini ada gugatan atas pemerintahan korup?”
Penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater ‘pintar’ tentu akan mem­perta­nyakan hal tersebut. Tapi tentu mereka yang senang dengan kelucuan banal seperti tayangan di televisi akan bertepuk tangan dan girang.

Bisa jadi kegagalan ini disebabkan Gaung Ekspose memainkan naskah yang tidak pas dengan karakter mereka yang selama ini mereka tunjuk­kan? Pertanyaan yang akan dijawab bersama. Pertanyaan yang pastinya akan dikem­balikan pada spirit angka ‘35’ tersebut—meski Gaung Eks­pose bukan Bumi Teater, tapi sebagian pemainnya pernah berproses dengan Wisran Hadi, angka ’35’ ter­s­ebut me­rupakan beban moral yang mesti di­tanggung.

Kembali pada Pijakan
Istilah ‘kembali pada pija­kan’ akan jadi perwakilan bagi pertunjukan ko­mu­nitas seni Hitam Putih dari Pa­dang Pan­jang yang me­men­taskan Orang-orang Ba­wah Tanah, Jumat (11/11) malam. Yusril, selaku su­tradara pemen­tasan tersebut berusaha masuk pada celah yang diberi dalam naskah Wsi­ran Hadi tersebut. Meski pada akhirnya garapan Yus­ril tersebut akan ke­luar, dari konteks, dan gugatan-gugatan filosofis yang ditututkan Wisran Hadi dalam naskah.

Agak lain memang, meski bukan baru, pemen­tasan Orang-orang Bawah Tanah dikem­balikan lagi pada sesuatu yang ‘asal’ dalam pertunjukan tradi­sional Minangkabau. Pertun­jukan ini oleh sutradaranya dibawa pada situasi yang lebih nyata, dimana interaksi pemain lebih utuh dengan penon­tonnya, seperti ‘randai’ yang bukan randai.

Orang-orang Bawah Tanah seperti dua dunia yang di­bangun atas wacana besar Minangkabau, wacana yang dirasuki berbagai kepen­tingan pribadi atau kelompok, termasuk politik dan cinta. Pertunjukan ini seolah menjadi tantangan bagi pertunjukan teater yang lazim diper­ton­tonkan dalam ruangan, tanta­ngan bagi sutradara, aktor, juru lampu, dan juga penonton.

Tempat pertunjukan  Orang-orang Bawah Tanah dihadirkan pada tanah yang sedikit lapang antara mess dan galeri lukisan Taman Budaya Sumatera Barat, yang dulunya merupakan Ge­dung Teater Tertutup. Tempat ini pun diubah menjadi (na­gari) ‘Koto Tingga’, tempat para pelarian politik yang ingin mempertahankan kebudayaan lama tapi pada akhirnya malah menghancurkan kebudayaan itu.

Setumpak tanah keter­wakilan dari pandam paku­buran di bagian belakang panggung pertunjukan. Trap yang membelah ruang seakan garis imajiner, batas antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’. Dua menara bambu dengan orang-orangan sawah dan ben­dera hitam berkibar di atasnya, serta para pemain yang me­makain baju-baju adat seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir banyak hal.

Orang-orang Ba­wah Tanah semacam sandiwara gelak-tawa kebudayaan antara tokoh Malin, Pakih, Ustad, Puti Serong, dan Siti Canon. San­diwara yang mengikutsertakan pemain dari awal sampai akhir pertunjukan. Pandam pekuburan Bundo Kanduang menjadi kekuatan yang dibangun, dihancurkan, dan dibangun lagi dalam pe­mentasan ini.

Bagaimana tidak, kuburan Bundo Kanduang dimani­festasikan sebagai kebohongan publik yang dibagun oleh orang-orang yang secara kasar mata mempertahankan kebu­dayaan, tapi di lain sisi mereka ingin menjual kebudayaan tersebut.

Pada pementasan ini Yusril mencoba melakukan proses menafsir lagi estetika lama sembari mencoba mencari bentuk baru dalam melakukan eksplorasi pada ‘tanah’ dimana teater itu di mainkan. Orang-orang Bawah Tanah dijadikan tontonan teater alternatif. “Pementasan ini digarap agar penonton sadar ini sebuah permainan yang juga bukan sekadar permainan,” kata Yusril.

Isu tentang pariwisata dan budaya yang dihadirkan dalam pementasan, sebagaimana para aktor selalu terlihat ingin mendapatkan materi dari kebongan publik yang di­bentuknya, sesuatu yang kini intim dengan kita. “Budaya untuk kepentingan ekonomi, sementara kebu­dayaan tidak bisa dilihat begitu. Jadi ada sebagian orang yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan ekonomi. Saya tidak menyangkal kehadiran Bundo Kanduang dalam pe­men­tasan, tapi yang saya tolak kuburan Bundo Kanduang itu,” tafsir Yusril terhadap perteng­karan antara dua tokoh yang bernama Siti Canon dan Puti Serong yang mengaku ketu­runan sah Bundo Kanduang dan pewaris kuburannya.

Orang-orang Bawah Tanah bisa jadi berhasil memper­tunjukkan naskah Wisran Hadi tersebut melalui interaksi berlanjut dari awal sampai akhir dengan penonton. Ratu­san penonton malam itu pun sibuk dalam wacana yang dibangun, sesekali ‘kecewa’ dengan pembohongan publik, dan berbahagia atas pem­bongakaran isu dalam pe­mentasan.

Penonton malam itu jadi aktor sekaligus, jadi pembuat wacana sekaligus. Meski dalam tafsir yang tidak utuh, pe­mentasan ini jadi perwakilan dari spirit 35 tahun Bumi Teater, spirit 35 tahun ma­nifes semangat berteater yang pernah dibunyikan itu

Tantangan baru, pen­carian dan penemuan jawa­ban, seperti kata Darman Moenir dalam obituari tentang Wisran Hadi, Kamis malam (10/11) mung­kin usaha yang harus disiasati berlanjut. “Membaca naskah, me­nonton pertunjukan Wis­ran Hadi.... kritik-kritik sosial disampaikan dalam cemooh, gurau, plesetan. Wisran Hadi benar-benar sadar akan kekua­tan kata. Dan itu disiasati dengan bacaan, dari permainan tradisi, dari kehidupan masya­rakat menengah kebawah, dari perilaku pe­mang­ku adat dan pejabat...” sebut Darman.

Dan ini tentu sesuatu yang berharga bagi konstelasi pertea­teran di Sumatera Barat. Tidak hanya bagi Gaung Ekspose dengan pertunjukan Gubernur Nyentrik yang bisa dibilang ‘gagal’ dalam menunjukkan totalitasnya, atau komunitas Hitam Putih dalam pementasan Orang-orang Bawah Tanah yang berhasil menyiasati celah bagi penontonnya untuk ikut hibuk dalam sandiawara yang ditulis Wisran Hadi itu.

Spirit 35 tahun dan se­mangat manifes Wisran Hadi bukan hanya milik anak Bumi, bukan cuma milik orang-orang yang pernah berproses di sana, tapi telah jadi milik perteateran Sumatera Barat, Indonesia. Jeda waktu yang panjang memang untuk membuat kebaruan bagi sebagian kelompok teater di Sumatera Barat yang kini layak­nya ‘katak dalam tempu­rung’ dan tidak menghargai proses sebagai bagian dari pencarian berteater itu sendiri.

Web: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10121:dua-pementasan-teater-yang-antiklimaks&catid=46:panggung&Itemid=160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar