35 TAHUN BUMI DAN IN MEMORIAM WISRAN HADI
Haluan, Minggu, 13 November 2011 01:02
Ditulis oleh Teguh
Laporan:
Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar
dua kelompok
teater yang menasbihkan dirinya sangat dekat dengan sosok almarhum
teaterawan Wisran Hadi, menyuguhkan pementasan teater dalam helat 35
Tahun Bumi. Masing-masing mengusung bentuk garapan yang berbeda.
Gaung Eskpose Padang mengangkat naskah—yang tak jelas maksudnya, mengapa bukan karya Wisran Hadi—Gubernur Nyentrik dipentaskan prosenium. Kelompok seni Hitam Putih membawakan karya Wisran Hadi, Orang-orang Bawah Tanah yang ditampilkan di luar pentas atau di lapangan terbuka.
Kedua orang yang menyutradarai
pertunjukan teater itu: Armeynd Sufhasril dan Yusril, bukan anak kemarin
sore dalam jagat teater Sumatera Barat. Keduanya—kendati beda usia—
sudah bertungkus lumus bersama Bumi Teater, tapi, sayang sekali, kedua
garapan yang disuguhkan seperti menjauh dari apa yang pernah dihasilkan
Bumi Teater selama ini. Dua pementasan yang menjadi antiklimaks.
Menurun dari dari berbabagai aspek.
Tiga puluh lima tahun silam, sekitar Januari 1976, saat proses latihan teater berjudul
Gaung dengan naskah dan sutradara Wisran Hadi, semacam manifes dinyatakan untuk penanda kehadiran Bumi Teater.
“...Teater kami adalah teater yang
berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami
mencari bumi yang lain untuk kami bertolak. Pertanggungan jawab dari
corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah SWT. Karena
kami percaya bahwa bumi tempat kami berpijak adalah bumi yang dititipkan
Allah SWT pada kami.”
Manifes ini bukan sekadar kalimat
basa-basi pelengkap kehadiran Bumi Teater. Manifes ini merupakan
gejolak keprihatinan atas gelombang ‘kematian’ kesenian Sumatera Barat,
khususnya teater pada saat itu. Di mana Sumatera Barat tidak tampak
dalam peta perteateran di Indonesia. Di mana ruang, seperti Taman Ismail
Marzuki (TIM), ruang kebanggaan kesenian yang di bangun di pusat negeri
ini (Jakarta) seolah tak terjangkau oleh penggiat teater Sumatera
Barat. Tak terjangkau, atau bisa jadi pada saat itu, tak ada kemampuan
untuk menjangkau.
Sejak manifes itu, Bumi Teater, Sastra,
dan Seni Rupa dengan ujung tombaknya Wisran Hadi berusaha masuk dalam
ruang-ruang yang belum terjangkau. Wisran Hadi, secara personal atau
atas nama Bumi telah menjadi catatan penting dalam konstelasi
perteateran Indonesia.
Setidaknya, sudah sekitar 50 pementasan teater yang dihadirkan, dari pementasan pertama (Gaung, 1976) sampai pementasan paling akhir (Wayang Padang,
2006). Puluhan naskah karya Wisran Hadi pun menjadi tolok ukur,
menjadi perbincangan berbagai pihak, atas muatan-muatan yang
dikandungnya. Naskah yang sebagian besar menjadi jawara di
ajang-ajang perlombaan naskah bergengsi di Indonesia.
Tapi sejak meninggalnya Wisran Hadi
be-berapa bulan silam, sejak Bumi Teater kali terakhir mementaskan
pertunjukannya, apakah manifes atau spirit teater moderen yang
dihadirkan Wisran Hadi diserap oleh para teaterawan atau kelompok
teater di Sumatera Barat sebagai suatu kebaruan yang patut terus
dieksplorasi?
Dan pembukaan peringatan 35 Tahun Bumi
dan In Memoriam Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatera Barat adalah
pembuktian. Dari tanggal 9-11 November, tiga kegiatan digelar, yakni
pementasan teater oleh grup Gaung Ekspose berjudul Gubernur Nyentrik
(karya Agustan T Syam) sutradara Armeynd Sufhasril, Temu Anak Bumi
Teater dengan pembacaan obituari Wisran Hadi oleh Darman Moenir, serta
pementasan teater berjudul Orang-orang Bawah Tanah (karya
Wisran Hadi) oleh kelompok seni Hitam Putih dengan sutradara Yusril.
Tiga tajuk acara yang bisa jadi adalah penggambaran dari spirit 35 tahun
Bumi, penggambaran sejauh mana manifes yang dipatrikan puluhan tahun
silam itu diterima dan dieksplorasi terus menerus oleh para teaterawan
di Sumatera Barat.
Tiga tajuk acara yang diisi oleh
orang-orang yang pernah berproses panjang di Bumi Teater atau
berdekatan secara emosional dengan Wisran Hadi. Tiga tajuk acara
membuka sembilan pertunjukan lain, akan beruturut-turut dalam
sepekan, pertunjukan yang akan membuka celah-celah wacana dalam naskah
yang pernah dibuat Wisran Hadi.
Gaung Berusaha “Nyentrik”
Kelompok Teater Gaung Ekspose,
mempertunjukkan “Gubernur Nyentrik” di Teater Utama Sumatera Barat
(9/11) malam. Dengan naskah yang ditulis Agustan T Syam tersebut
Armeynd Sufhasril berusaha menghadirkan (ulang) persoalan ‘korupsi’
yang sudah sering dibahas dalam berita televisi. Beberapa pemain di
dalam pertunjukan tersebut, sebagian besar sudah pemain lama, sudah
pernah ikut berproses di Bumi Teater. Akan tetapi pertunjukan malam itu
terasa tidak memberikan kontribusi penting dalam penanda angka ’35
tahun’.
Secara menyeluruh pementasan tersebut
berusaha memparodikan kegiatan harian seorang gubernur dengan istri,
ajudan, dan orang-orang yang berdekatan dengan lingkarannya. Parodi
yang hampir sama pembawaannya dengan cara grup “Teater Keliling” Rudolf
Puspa mementaskan. Entah mana yang menyalin?
Sepanjang permainan terkadang tampak
totalitas proses berteater dihancurkan secara tiba-tiba, entah kenapa,
meski di beberapa sisi ada ‘aktor’, ada ‘properti’ ada keinginan untuk
membangun totalitas tersebut.
“Apakah ini pertunjukan teater atau show musik dengan tema lagu-lagu Iwan Fals dan Slank sebagai penguat bahwa malam ini ada gugatan atas pemerintahan korup?”
Penonton yang terbiasa menonton
pertunjukan teater ‘pintar’ tentu akan mempertanyakan hal tersebut.
Tapi tentu mereka yang senang dengan kelucuan banal seperti tayangan di
televisi akan bertepuk tangan dan girang.
Bisa jadi kegagalan ini disebabkan Gaung
Ekspose memainkan naskah yang tidak pas dengan karakter mereka yang
selama ini mereka tunjukkan? Pertanyaan yang akan dijawab bersama.
Pertanyaan yang pastinya akan dikembalikan pada spirit angka ‘35’
tersebut—meski Gaung Ekspose bukan Bumi Teater, tapi sebagian pemainnya
pernah berproses dengan Wisran Hadi, angka ’35’ tersebut merupakan
beban moral yang mesti ditanggung.
Kembali pada Pijakan
Istilah ‘kembali pada pijakan’ akan
jadi perwakilan bagi pertunjukan komunitas seni Hitam Putih dari
Padang Panjang yang mementaskan
Orang-orang Bawah Tanah,
Jumat (11/11) malam. Yusril, selaku sutradara pementasan tersebut
berusaha masuk pada celah yang diberi dalam naskah Wsiran Hadi
tersebut. Meski pada akhirnya garapan Yusril tersebut akan keluar,
dari konteks, dan gugatan-gugatan filosofis yang ditututkan Wisran Hadi
dalam naskah.
Agak lain memang, meski bukan baru, pementasan Orang-orang Bawah Tanah
dikembalikan lagi pada sesuatu yang ‘asal’ dalam pertunjukan
tradisional Minangkabau. Pertunjukan ini oleh sutradaranya dibawa pada
situasi yang lebih nyata, dimana interaksi pemain lebih utuh dengan
penontonnya, seperti ‘randai’ yang bukan randai.
Orang-orang Bawah Tanah seperti
dua dunia yang dibangun atas wacana besar Minangkabau, wacana yang
dirasuki berbagai kepentingan pribadi atau kelompok, termasuk politik
dan cinta. Pertunjukan ini seolah menjadi tantangan bagi pertunjukan
teater yang lazim dipertontonkan dalam ruangan, tantangan bagi
sutradara, aktor, juru lampu, dan juga penonton.
Tempat pertunjukan Orang-orang Bawah Tanah
dihadirkan pada tanah yang sedikit lapang antara mess dan galeri
lukisan Taman Budaya Sumatera Barat, yang dulunya merupakan Gedung
Teater Tertutup. Tempat ini pun diubah menjadi (nagari) ‘Koto Tingga’,
tempat para pelarian politik yang ingin mempertahankan kebudayaan lama
tapi pada akhirnya malah menghancurkan kebudayaan itu.
Setumpak tanah keterwakilan dari pandam
pakuburan di bagian belakang panggung pertunjukan. Trap yang membelah
ruang seakan garis imajiner, batas antara dunia ‘atas’ dan dunia
‘bawah’. Dua menara bambu dengan orang-orangan sawah dan bendera hitam
berkibar di atasnya, serta para pemain yang memakain baju-baju adat
seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir banyak hal.
Orang-orang Bawah Tanah
semacam sandiwara gelak-tawa kebudayaan antara tokoh Malin, Pakih,
Ustad, Puti Serong, dan Siti Canon. Sandiwara yang mengikutsertakan
pemain dari awal sampai akhir pertunjukan. Pandam pekuburan Bundo Kanduang menjadi kekuatan yang dibangun, dihancurkan, dan dibangun lagi dalam pementasan ini.
Bagaimana tidak, kuburan Bundo Kanduang
dimanifestasikan sebagai kebohongan publik yang dibagun oleh
orang-orang yang secara kasar mata mempertahankan kebudayaan, tapi di
lain sisi mereka ingin menjual kebudayaan tersebut.
Pada pementasan ini Yusril mencoba
melakukan proses menafsir lagi estetika lama sembari mencoba mencari
bentuk baru dalam melakukan eksplorasi pada ‘tanah’ dimana teater itu di
mainkan. Orang-orang Bawah Tanah dijadikan tontonan teater
alternatif. “Pementasan ini digarap agar penonton sadar ini sebuah
permainan yang juga bukan sekadar permainan,” kata Yusril.
Isu tentang pariwisata dan budaya yang
dihadirkan dalam pementasan, sebagaimana para aktor selalu terlihat
ingin mendapatkan materi dari kebongan publik yang dibentuknya, sesuatu
yang kini intim dengan kita. “Budaya untuk kepentingan ekonomi,
sementara kebudayaan tidak bisa dilihat begitu. Jadi ada sebagian orang
yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan ekonomi. Saya tidak
menyangkal kehadiran Bundo Kanduang dalam pementasan, tapi yang saya
tolak kuburan Bundo Kanduang itu,” tafsir Yusril terhadap pertengkaran
antara dua tokoh yang bernama Siti Canon dan Puti Serong yang mengaku
keturunan sah Bundo Kanduang dan pewaris kuburannya.
Orang-orang Bawah Tanah bisa
jadi berhasil mempertunjukkan naskah Wisran Hadi tersebut melalui
interaksi berlanjut dari awal sampai akhir dengan penonton. Ratusan
penonton malam itu pun sibuk dalam wacana yang dibangun, sesekali
‘kecewa’ dengan pembohongan publik, dan berbahagia atas pembongakaran
isu dalam pementasan.
Penonton malam itu jadi aktor sekaligus,
jadi pembuat wacana sekaligus. Meski dalam tafsir yang tidak utuh,
pementasan ini jadi perwakilan dari spirit 35 tahun Bumi Teater, spirit
35 tahun manifes semangat berteater yang pernah dibunyikan itu
Tantangan baru, pencarian dan penemuan
jawaban, seperti kata Darman Moenir dalam obituari tentang Wisran Hadi,
Kamis malam (10/11) mungkin usaha yang harus disiasati berlanjut.
“Membaca naskah, menonton pertunjukan Wisran Hadi.... kritik-kritik
sosial disampaikan dalam cemooh, gurau, plesetan. Wisran Hadi
benar-benar sadar akan kekuatan kata. Dan itu disiasati dengan bacaan,
dari permainan tradisi, dari kehidupan masyarakat menengah kebawah,
dari perilaku pemangku adat dan pejabat...” sebut Darman.
Dan ini tentu sesuatu yang berharga bagi
konstelasi perteateran di Sumatera Barat. Tidak hanya bagi Gaung
Ekspose dengan pertunjukan Gubernur Nyentrik yang bisa dibilang ‘gagal’ dalam menunjukkan totalitasnya, atau komunitas Hitam Putih dalam pementasan Orang-orang Bawah Tanah yang berhasil menyiasati celah bagi penontonnya untuk ikut hibuk dalam sandiawara yang ditulis Wisran Hadi itu.
Spirit 35 tahun dan semangat manifes
Wisran Hadi bukan hanya milik anak Bumi, bukan cuma milik orang-orang
yang pernah berproses di sana, tapi telah jadi milik perteateran
Sumatera Barat, Indonesia. Jeda waktu yang panjang memang untuk membuat
kebaruan bagi sebagian kelompok teater di Sumatera Barat yang kini
layaknya ‘katak dalam tempurung’ dan tidak menghargai proses sebagai
bagian dari pencarian berteater itu sendiri.
Web: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10121:dua-pementasan-teater-yang-antiklimaks&catid=46:panggung&Itemid=160