Sabtu, Februari 06, 2010

CATATAN FESTIVAL DRAMA REALIS REMAJA SE-EKS KERESIDENAN SURAKARTA 27-30 DESEMBER 2009 (mendidik generasi muda pelajar melalui pertunjukan teater)



PENDAHULUAN

Hari begitu mendung, walau rintik sudah meneteskan titik airnya pada kepala, tepat di depan Teater Kecil ISI Surakarta pada hari Senin, 27 Desember 2009. Terdapat layar screen di luar gedung, mungkin saja, apabila penonton begitu sesak maka masih bisa melihatnya di luar gedung. saya sempat menyaksikan atraksi Jimbe dari mahasiswa ISI Surakarta, kemudian bergegas mengisi buku tamu dan menerima sebuah hadiah dari seorang gadis cantik berupa booklet rangkaian kegiatan Festival. Saya langsung menuju pintu sebelah kanan, duduk di deretan bangku nomor tiga dan dengan tenang saya mulai mempersiapkan diri, mengamati dialog dua MC yang menceritakan rangkaian acara festival dan tujuan kenapa acara ini diselenggarakan. Saya membuka booklet kegiatan, dan melihat isi pengantar dari Rektor ISI Surakarta bapak Prof. Dr. Slamet Suparno, S.Kar, MS yang berbunyi secara ringkas “saya menyambut baik atas diselenggarakannya lomba/festival Drama Realis Remaja se-Solo Raya tahun 2009, menyampaikan penghargaan kepada panitia festival dan para peserta yang sudah berpartisipasi dan berharap agar kegiatan ini merupakan titik awal bagi adik-adik mahasiwa khususnya UKM Teater Jejak Institut Seni Indonesia Surakarta” dan sambutan dari ketua panitia yang berbunyi secara ringkas yaitu “dapat kita sadari, bahwa untuk memajukan apresiasi teater tidak cukup dengan wacana, akan tetapi perlu dilakukan kegiatan aktif, semoga festival ini selain menjadi wacana juga dapat memajukan apresiasi dan menjadi saksi dari dinamika perkembangan seni teater ditingkat SMA dan se-derajat”. Sebagai penonton yang baru pertama kali menyaksikan festival teater dalam konteks drama realis remaja, menilai isi dari pengantar dan sambutan ini memiliki suatu harapan besar dalam memajukan seni dan budaya di kota Solo, khususnya teater.



SEDIKIT KRITIK PERTUNJUKAN, SEMOGA BERMANFAAT

Penampilan pertama, dari SMA N 1 Slogohimo dengan nama kelompok Teater Awan Hijau. Kelompok ini membawa naskah “Les Chaises” karya Eugene Ionesco adaptasi “Kereta Kencana” W.S Rendra. Yang di sutradarai oleh Heru Purwoko. Umi Rohmah sebagai nenek dan Tarjo sebagai kakek. Sebuah naskah absurd yang diusung dalam tema Festival Drama Realis ini, menceritakan tentang dua orang (kakek dan nenek) telah berusia ratusan tahun, dua orang yang kesepian dan tidak memiliki anak, dua orang yang memilki kejayaan masa lalu namun di masa tuanya hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera mejemput mereka berdua dapat menjadi sesuatu yang bermakna, namun tetap saja absurd. Dari pertunjukan ini, saya melihat kurangnya suatu pendalaman terhadap proses akting yang dilakukan di atas panggung sehingga terkesan dialog-dialog yang dimunculkan sangat tergesa-gesa, karakter, gestur dan vokal yang coba dieksplorasi tidak tampak hadir secara maksimal. Di tambah dengan unsur pencahayaan yang sama sekali tidak mencerminkan penegasan dramatik pertunjukan. Ada satu momen yang membuat saya tertawa geli waktu itu yaitu, terjadinya sebuah kecelakaan teknis di atas panggung yaitu copotnya kumis tokoh kakek sehingga membuyarkan seluruh impresi yang sudah saya bangun dari awal ketika menyaksikan pertunjukan ini.

Pertunjukan kedua yaitu dari kelompok Teater Ngilir yang berasal dari SMA N 1 Karanganyar. Naskah yang mereka bawa berjudul “Pesta Terakhir” karya Ratna Sarumpaet, sutradara Dukul Wahyu Nugroho. Pertunjukan ini menceritakan tentang penghormatan terakhir terhadap pemimpin otoriter dengan nama pak Sepuh yang tidak dihadiri oleh siapapun kecuali anaknya bernama Haryati dan beberapa pelayan, mandor, sahabat dan kenalannya. Dengan keteguhan hati, Haryati tetap bersikukuh untuk tidak mensemayamkan bapaknya, sebelum orang-orang datang menghadiri upacara penghormatan tersebut. Pertunjukan dengan durasi 50 menit ini, sedikit memberikan warna lain dengan menghadirkan suasana yang cukup realis, dengan menghadirkan sett panggung yang sugestif sehingga penonton dapat memahami kalau itu adalah suasana penghormatan terakhir sebelum jasad dimakamkan. Dari awal sampai akhir pertunjukan, saya mengamati hampir seluruh pemain seperti tidak merasa punya beban di atas panggung. Hal ini sebenarnya cukup membahayakan juga, karena dalam sebuah pertunjukan teater dengan membawa naskah realisme, bukan berarti tidak ada stilisasi di dalamnya, tetap harus dilakukan karena sesuatu yang dimunculkan oleh aktor/aktris harus tertangkap dengan baik oleh penonton sehingga dialog-dialog, ekspresi, movement dan gestur yang dihadirkan betul-betul menjadi ruang komunikasi efektif antara panggung dan penonton. Hal inilah yang tidak terjadi dalam pertunjukan ini, hampir semua aktor asyik bermain dengan dirinya di atas panggung, mereka lupa bahwa pertunjukan mereka disaksikan oleh ratusan mata yang disebut penonton. Sehingga dari hal tersebut, pertunjukan kurang memberikan impression (kesan) dari apa yang sudah ditampilkan di atas panggung.

Pada hari Selasa, 28 Desember 2009, seperti biasa saya hadir sebagai penyaksi Festival Drama Realis yang diselenggarakan oleh UKM Teater Jejak ISI Suirakarta ini. Terdapat tiga pertunjukan pada malam itu yaitu Teater Biroe dari SMA Pagudi Luhur St. Yosef dengan mengangkat naskah berjudul “Pada Suatu Hari” karya Arifin C Noer dengan sutradara Didik Panji. Pertunjukan ini, memberikan paradigma yang sama dari apa yang saya pahami dari sebuah pertunjukan teater yang berangkat dari naskah-naskah realisme. Ada well made play (drama yang dibuat dengan baik) di dalamnya. Dengan penggambaran karakter yang jelas, perkembangan kejadian yang diatur secara cermat, penuh kejutan-kejutan logis, memiliki suspense, tidak artifisial, memilki konflik yang jelas, konvensi panggung empat dinding, memiliki dramatik, punya detail sett dan properti dan identifikasi tokoh yang jelas. Sepertinya sutradara sangat paham apa yang harus dilakukan kepada seluruh elemen pendukung di atas panggung. Sempat terlintas dibenak saya, kalau sutradaranya bukan seorang siswa SMA, namun seseorang yang diminta untuk melatih proses pertunjukan festival ini. Ternyata dugaan saya benar, setelah semua pertunjukan usai, di luar gedung, saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan sutradara pertunjukan ini. Bukan siswa SMA, tetapi juga seorang sutradara yang cukup dikenal di kota Solo. Orangnya begitu asyik diajak ngobrol, tidak merasa seperti seniman besar yang cenderung inklusif, dan dia juga pernah membantu teman saya waktu ujian akhir S2 di ISI Surakarta.

Pertunjukan kedua pada malam itu berjudul “Eng Ing Eng” karya Taat Wihargo, sutradara M. Amiruddin. Dengan nama kelompok yaitu Teater Gandrung Gusti berasal dari Madrasah Aliyah Al Azhar. Pertunjukan ini bercerita tentang Wadul anak pak Suro yang masih berstatus pelajar SMP. Ibunya sudah meninggal. Ketika ia mengenal cinta, akhirnya ia-pun ingin mengungkapkan rasa cintanya kepada seorang gadis bernama Senuk. Percintaan keduanya ditentang oleh bulik Senuk, ketika bulik senuk mengetahui percintaan mereka secara diam-diam. Wadul-pun akhirnya dihina, dicaci maki dan diusir. Alasannya adalah bahwa bulik Senuk mengetahui bahwa Wadul adalah anak pak Suro yang notabene adalah mantan pacarnya dulu. Wadul melaporkan hal ini kepada bapaknya, dan mereka berdua mendatangi rumah bulik Senuk. Keadaan berubah, ketika pak Suro tidak memarahi bulik Senuk tetapi malah mengembalikan rasa cinta yang hilang selama ini, anaknya merestui hubungan mereka berdua asal mereka-pun juga merestui hubungan Senuk dan Wadul. Begitulah sekilas sinopsis dari pertunjukan ini. Pertunjukan ini, berusaha menembus garis imajiner yang dibangun antara penonton dan tontonan. Dengan adanya pergerakan aktor yang keluar dari panggung, sangat memecah konsentrasi penonton terhadap karakter tokoh yang coba dibangun, sehingga suasana yang dihadirkan menjadi cair, tidak menimbulkan sugesti dan impresi di dalamnya. Hal ini, merupakan sesuatu hal yang fatal dalam pertunjukan realisme, karena pertunjukan realisme sangat memberikan ketegasan terhadap batas antara pannggung dan penonton.

Pertunjukan ketiga berasal dari kelompok Teater Tiga SMA N 3 Wonogiri, dengan judul Si Badrun “Kado Buat Nenek” karya Pardyat Moko, sutradara Pardyat Moko sendiri. Dengan sinopsis pertunjukan yaitu sendiri itu menyakitkan, kesepian itu menyakitkan, tapi apa rasanya dilupakan orang-orang yang di cintai, dan ketika saat di nanti-nanti tiba, orang-orang yang dicintainya tak kunjung datang, kesedihan semakin menjadi, dan rasa putus asa mulai melanda dan di saat itu pahlawan pun datang untuk menyelamatkan situasi ini. Sebuah peristiwa yang sebenarnya menarik untuk disimak, terhadap situasi orang tua yang berhadapan dengan anak-anak yang tidak lagi mau mengurus di usia tuanya. Ia akan di masukkan kedalam Panti Jompo, dan itu-pun diketahui dari kedua orang cucunya yang kebetulan datang menjenguk perempuan tua yang kesepian tadi. Ketika anak-anaknya datang maka konflik cerita ini-pun dimulai. Saya melihat, pertunjukan ini terkesan dua orang laki-laki yang berprofesi sebagai salesment datang menawarkan produk kepada seorang perempuan tua yang sedang kesepian, sehingga terjadi suatu perdebatan. Artinya adalah, di sini tidak kelihatan feel (rasa) bermain dari tokoh laki-laki, seolah-olah mereka membangun jarak begitu jauh antara ibu dan anak yang seharusnya mereka harus dekat, terlihat akrab, intens, dan tidak terkesan artifisial (mengada-ada). Sehingga dari laku seperti tidak muncul suasana tragik yang seharusnya diberikan porsi yang menonjol dalam pertunjukan ini.

Pada hari ketiga, hari Rabu 29 Desember 2009 masih dalam rangkaian Festival Drama Realis yang diselenggarakan oleh UKM Teater Jejak ISI Surakarta. Pertunjukan pada malam itu diawali dengan penampilan Teater Lincak SMA N 1 Teras dengan membawa naskah berjudul “Tidak Penting” karya Bandung Mawasti, sutradara Doli. Pertunjukan ini mengisahkan tentang hidup yang hanya sekedar memperkarakan kekonyolan dan mencari bahan untuk tertawa. Dengan sett minimalis mengandalkan batas imajiner dengan menggunakan tali, pertunjukan ini cukup menarik juga untuk di apresiaisi. Terdapat suatu bakat alami yang dimunculkan oleh para pemain, sehingga pertunjukan realis yang sederhana dan minimalis ini memberikan suatu penyegaran baru. Namun, kontrol bermain yang harus diperhatikan dengan baik, sehingga tidak kebablasan melanggar garis yang berfungsi sebagai dinding imajiner rumah yang sudah di bangun. Fokus pencahayaan yang cukup menarik dalam memberikan batas area permainan. Dalam benak saya, mudah-mudahan saja kesalahan kecil yang bersifat teknis dapat ditolerir oleh dewan juri yang terhormat.

Penyaji kedua yaitu Teater Bungkus SMA N 2 Wonogiri, dengan judul naskah “Buruh” karya Dadang Catur. Mengisahkan tentang sisi kehidupan marginal (kelas pinggiran) yang hidup sebagai buruh. Namun, sangat banyak sekali tuntutan hidup yang harus dipenuhi, namun tetap saja tidak bisa merealisasikannya begitulah kehidupan keluarga Ibu Darsi dalam lakon ini. Ranti anak pertama ingin menikah dengan pemuda idamannya, sementara si Bungsu ingin kuliah di Perguruan Tinggi yang murah. Konflik sesama mereka terjadi, dan akhirnya amarah seorang bapak tidak bisa dipendam. Ia-pun marah besar sehingga menuntaskan klimaks pertikaian tadi. Sebuah naskah yang bagus, dan juga digarap begitu detail oleh sutradara. Hampir setiap pertunjukan memberikan suspense-suspense yang logis, tata sett yang memberikan kesan yang sesuai dengan tematik naskah, karena memuat detail-detail setting dan properti kehidupan keluarga miskin, juga aktor, musik, pencahayaan, pola bloking yang begitu mengalir terkesan tidak terlalu diatur, akting yang tidak terkesan artifisial sehingga unsur spektakel dalam pertunjukan ini benar-benar menjadi perhatian sutradara. Itu hal yang menarik dari pertunjukan ini.

Pertunjukan terakhir pada malam itu, menyuguhkan naskah berjudul “Opera Dua Cinta” karya Agung Pamuji Adi, sutradara Yustinus Popo. Sebuah cerita yang merupakan modifikasi dari cerita klasik William Shakespeare yang berjudul Remeo dan Juliet. Cerita Romeo dan Juliet gaya Yustinus Popo ini mengisahkan dua orang remaja yang menjalin cinta, namun hubungan mereka sangat ditentang oleh orang tua mereka terutama dari Ayah tokoh perempuan. Prinsip pertunjukan ini murni sebuah hiburan yang menarik untuk di apresisasi. Pertunjukan ini memberikan satu bentuk parodi gaya bercinta anak muda pelajar saat sekarang ini yang sudah dipengaruhi dengan budaya globalisasi yang hedon dan cenderung bersifat konsumeristik, teori-teori ilmu pengetahuan tidak dibutuhkan lagi, kecuali pola hidup hura-hura dan tidak lagi memperhatikan nasehat orang tua. Tidak ada penegasan dan intensitas karakter akting dalam pertunjukan ini, karena layaknya kesenian tradisional, ketika ia keluar dari area permainan yang masih kelihatan oleh penonton ia telah beralih fungsi sebagai dirinya, dan ketika ia mulai berdialog kembali, maka ia seolah-olah menjadi tokoh yang ada dalam cerita itu. Para pemusik berada ditengah-tengah panggung dengan seorang penyanyi cantik sambil melantunkan irama lagu dan tari-tarian mencoba menyesuaikan dengan peristiwa dramatik pertunjukan dari awal sampai akhir. Begitulah Bertold Brecht memberikan batasan efek alienasi di dalam akting, berbeda dengan konsep Constantin Sergeyev Stanislavsky dengan konsep inner act (akting yang lahir dari dalam diri) sebuah persenyawaan tubuh dan pikiran sehingga memberikan batasan yang disebut to be (menjadi). Sebenarnya pertunjukan ini, tidak pas dalam tajuk festival drama realis kali ini, harus dibuatkan ruang festival lain, mungkin saja festival drama eksperimental atau yang lain sebagainya. Tetapi untuk sebuah kreativitas, dan kerapihan adegan-peradegan maka pertunjukan ini sangat layak diapresiasi.

Pada hari terakhir, masih dalam rangkaian agenda Festival Drama Realis, tanggal 30 Desember 2009. Saya-pun kembali hadir sebagai penyaksi yang baik dalam iven ini. Penampilan pertama yaitu Teater Trie SMA N 3 Sragen. Menyajikan naskah berjudul “Pucung” adaptasi “Anak Kandung” karya N. Riantiarno, Pine Wiyatno. Mengisahkan tentang Pucung yang bertutur tentang rasa kekeluargaan yang telah tergilas oleh hedonisme dan materialisme ditengah gelombang kehidupan yang bernaung dalam globalisasi. Pucung bagi keluarga Mulyana adalah salah satu falsafah hidup bagi orang Jawa yang terdapat dalam tembang Macapat. Pucung menjadi pegangan dalam menyikapi tantangan zaman, di mana etika dan moralitas serta rasa kebersamaan terus terkuras oleh globalisasi. Begitulah hantaran dalam lakon pertunjukan ini., sudah 25 menit pertunjukan berlalu, itu artinya saya telat malam ini. Begitulah, hujan hadir lagi malam itu. Sehingga untuk pertunjukan yang satu ini, saya tidak berani berkomentar karena takut mengada-ada, lebih baik kita maklumkan saja dan siapa yang melihat dari awal barangkali saja dapat berkomentar pada tulisan yang lain.

Pertunjukan kedua, sebagai penampil terakhir dalam rangkaian Festival Drama Realis yang dilaksanakan oleh UKM Teater Jejak ISI Surakarta adalah Teater Tenda SMA N 2 Karanganyar, dengan membawa lakon berjudul “Pada Suatu Hari” karya Arifin C Noer, sutradara Rahmad M. lakon ini mengisahkan tentang kecemburuan tokoh nenek kepada nyonya Wenas di suasana ulang tahun perkawinan emas mereka. Cemburu ini, akhirnya berujung pada permintaan cerai tokoh nenek pada tokoh kakek. Pada saat yang sama, Novia datang dan juga menceritakan persoalan permintaan cerai pada suaminya yang bernama Vito. Melihat situasi ini, ibu dan bapak mereka tidak mungkin membiarkan hal ini terjadi, akhirnya keretakan rumah tangga antara ibu dan anak dapat teratasi dengan baik. Pada awal pertunjukan ini, terkesan dua orang pemain agak sedikit nervous (bingung, gugup dan grogi), sehingga suasana pertunjukan belum tercipta dengan baik, karena vokal dialog yang masih timbul tenggelam. Ketika pada suasana tokoh nenek merasa cemburu kepada nyonya Wenas, barulah roh pertunjukan mulai terangkat, sehingga tiap-tiap peristiwa dramatik yang mereka mainkan sangat dibantu dengan kekuatan ekspresi dan gestur realistik. Inilah pertunjukan yang menurut saya, juga mewakili ciri well made play dalam realisme. Karena aspek kausalitas, penggambaran karakter yang jelas, punya ruang surprise dan suspense, punya dramatik dan lain-lain sangat terasa dalam pertunjukan ini terutama pengkarakteran yang dilakukan oleh tokoh nenek, sangat memberikan dinamika terhadap pertunjukan “Pada Suatu Hari” karya Arifin C Noer ini. Seandainya tokoh nenek dihilangkan dalam pertunjukan ini, maka well made play dalam konteks realisme tidak menarik lagi untuk menjadi pembahasan.

PENGUMUMAN DAN PENYERAHAN HADIAH

Para juri Festival yang terdiri dari kalangan seniman dan akademi teater yaitu Suharyoso SK (ISI Yogyakarta), Tafsir Huda (ISI Surakarta) dan Hanindawan (Teater Gidag-Gidig-Taman Budaya Solo), setelah rangkaian pertunjukan usai. Maka mereka bertiga masing-masing ingin berdebat siapa kira-kira yang layak untuk menjadi pemenang dalam festival ini. Untuk mengisi waktu luang, UKM Teater Jejak bekerjasama dengan Bengkel Mime Yogyakarta membawakan karya Pantomime berjudul “Rudi Go to School” dan HMJ Teater ISI Yogyakarta dengan membawa karya monolog berjudul “Sepi” karya Putu Wijaya dengan aktor bernama Feri Kritz. Penampilan dari dua kelompok ini, memberikan ruang apresiasi yang menarik bagi kalangan siswa yang menjadi mayoritas penonton pada malam itu, disamping para guru, seniman, pejabat dan dosen ISI Surakarta.
Akhirnya, Tafsir Huda, selaku perwakilan Dewan Juri, membacakan hasil perdebatan mereka yang tidak dapat diganggu gugat, begitulah gaya festival yang berkonotasi lomba di mana-mana di Indonesia. Juara Favorit di raih oleh Teater Timboel SMA N 5 Surakarta (Opera Dua Cinta), Artistik terbaik diraih oleh Teater Biroe SMA Pagudi Luhur St. Yosef (Pada Suatu Hari) dan Teater Bungkus SMA N 2 Wonogiri (Buruh), pemeran terbaik pria adalah tokoh kakek (Kereta Kencana) Teater Awan Hijau SMA N 1 Slogohimo, pemeran terbaik wanita adalah tokoh nenek (Pada Suatu Hari) Teater Tenda SMA N 2 Karanganyar, penyaji terbaik 3 diperoleh oleh Teater Bungkus SMA N 2 Wonogiri (Buruh), Penyaji terbaik 2 diperoleh oleh Teater Biroe SMA Pagudi Luhur St. Yosef (Pada Suatu Hari), dan penyaji terbaik 1 adalah Teater Tenda SMA N 2 Karanganyar (Pada Suatu Hari). Setelah semua usai, hanya tinggal kelelahan, mungkin juga kepuasan, maka semua lampu gedung dimatikan. Di luar gedung Teater Keci ISI Surakarta, orang-orang melintas entah ke mana dan untuk tujuan apa? Pikiran itu terlintas dibenak saya, akhirnya saya-pun kembali menjadi penyaksi untuk sebuah panggung yang lebih besar, yaitu dunia itu sendiri. Selamat Malam.

Solo, 18 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar