Rabu, Februari 04, 2009

Zona X : Kuasa Mesin, (catatan atas pementasan Zona X)


PADANG EKSPRESS, Minggu, 08 Juni 2008

Mereka datang jauh dari Padangpanjang. Disambut hujan, mereka seperti mengingatkan kita kembali tentang segala keruwetan hidup yang tak menentu. Tentang kecemasan pada kota yang akan tenggelam, atau kemurungan-kemurungan yang bisa muncul tiba-tiba. Dalam guyur hujan, semua itu serba mungkin.
Rabu, 28 Mei, dengan cahaya temaram, dikelilingi lebih dari seratus penonton, pementasan teater itu digelar di laga-laga Taman Budaya Sumatera Barat. Seseorang menari, mungkin hanya bergerak-gerak, seakan menggambarkan sebuah proses kelahiran. Di satu sudut panggung, dengan level yang lebih tinggi, seorang lain yang berkain putih masuk. Sikapnya hati-hati sekali, seperti malaikat yang menjaga sebuah kelahiran dari satu tempat lebih tinggi, lebih terpuji. Mereka berdua terus bergerak, barangkali mencari identitasnya masing-masing. Entah sebagai penjaga atau sebagai manusia yang terus-menerus dijaga.
Gerak yang ditampilkan aktor-aktor STSI Padangpanjang itu, menurut Sutradara Afrizal Harun, berakar dari gerak Uluambek. Uluambek, menurut beberapa literatur, merupakan tradisi religi yang menggambarkan pencaharian, zikir, juga penyerahan diri pada Tuhan. Seseorang yang melakukan ritual itu, seakan tidak mengenal lagi siapa dirinya dan kadang mengeluarkan hentakan kaki yang tak harmoni. Hentakan kaki ini merupakan lakuan yang tak disadari dari seseorang yang melaksanakan ritual tersebut. Kesenian melirik lakuan dan hentakan kaki itu dan menjadikannya gerak tari yang dibuat lebih harmoni. Uluambek lebih dikenal sebagai tradisi religi masyarakat pesisir Minangkabau.
Tak berapa lama, mereka berdua diintai beberapa aktor lainnya yang berlaku layaknya si Angkaramurka. Si Angkaramurka dengan bentuk yang kaku, dengan wajah yang kaku, dan tentunya dengan kelakuan yang kaku: mesin. Si Ankaramurka yang diam-diam masuk ke panggung itu disimbolkan dengan gerak, pergelangan tangan ditekuk seperti macan hendak mencakar mangsanya. Di sinilah persoalan terjadi. Sang Malaikat, yang diibaratkan sebagai penjaga itu hilang. Lenyap dengan gerak lurus ke luar panggung. Barangkali sama seperti apa yang ditakutkan malaikat lainnya ribuan tahun silam saat Tuhan akan menciptakan manusia. “...adakah engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah...” Al-Quran mencatat perkataan malaikat ribuan tahun silam itu.
Tinggallah si manusia tanpa penjaga. Sepeninggal malaikat, delapan pemain itu jadi liar dihempaskan oleh si Angkaramurka, si Mesin yang diciptakan sendiri oleh manusia. Gerak mereka seperti hendak menikam apa saja di dekatnya. Mereka telah cukup kehilangan intipati jiwa sebagai manusia, sepertinya. Manusia yang disepakati oleh beberapa agama di dunia sebagai makhluk pilihan dan memiliki tempat mulia. Tapi mereka telah kehilangan semua itu. Manusia yang kehilangan imbuhan. Semua tergantikan mesin.
Tak salah bila ada kelompok tertentu yang menolak mesin, dan mereka lebih cenderung bepergian dengan sepeda atau berjalan kaki. Mereka jauh dari kebisingan TV, asap knalpot, juga pabrik-pabrik. Barangkali banyak hal yang dapat kita pelajari dari komunitas yang lebih banyak tersisih di pinggiran kota—juga disisihkan sebagai ajaran yang “tidak-sama-dengan-kita”—ini.
“Mesin” Kata itu seakan luput dari ingatan kita di kurun waktu sekarang. Pemanasan global, semburan lumpur, banjir, dan segala kesemrawutan lain yang kita sebut bencana; bukankah berawal dari mesin? Juga keserakahan, tentunya.
***
Kembali ke panggung. Sepeninggal aktor berpakaian putih, mereka tak lagi mempersoalkan identitas sebagaimana alasan mereka terlahir. Bukankah identitas juga yang telah merenggut banyak nyawa? Mereka tambah liar. Musik berdentum, dan gambar-gambar dari siluet itu bergantayangan. Begitu banyak yang ditampilkan siluet itu: orang-orang yang kena radioaktif akibat perang, barisan serdadu, kematian, dan entah apalagi. Babak akhir dari tiga babak Zona X ini terlihat sedikit meneror nurani kita. Babak yang seakan mengajak kita “kembali-menjadi-manusia”.
Mereka masih terus mencari jalan keluar, keluar dari sengkarut persoalan. Di panggung dengan cahaya dominan merah itu mereka menemukan air. Air yang juga merah. Semua berebut untuk mandi, seperti merebut untuk mendapatkan wahyu yang datang dari langit. Wahyu yang berwarna merah, sebagaimana darah. Wahyu yang tak kalah berbahayanya. Wahyu yang membuat sebagian orang berperang atas nama Tuhan, membunuh atas nama kata Yang Maha Suci itu.
Akhirnya mereka mandi juga. Sesuara, mungkin musik, masuk dan mengusik. ...so now you do what they told ya... Rage Against The Machine, kelompok musik dari Barat sana juga ikut mengingatkan. “Killing In The Name”mengalun... Those who died are justified, for wearing the badge aku rela melakukan apapun kecuali untuk membunuh... dan mereka mandi dengan air yang jatuh dari atas itu, dengan wahyu itu.
***
Apa yang diusung pementasan ini bisa benar, tetapi juga bisa keliru. Yang datang dari atas butuh tafsir manusia yang di bawah. Maka yang menentukan bukan apa yang datang dari atas, tetapi ketetapan manusia menafsir yang datang itu. Dan tafsir, selalu tak bisa utuh. Itulah kenapa manusia tak bisa sepenuhnya kembali. Sekali pun setiap saat selalu ada titik-titik air yang jatuh dari atas. Tetapi selamanya, titik-titik itu tak selalu menyegarkan.
Zona X, zona yang berbahaya. Wilayah di mana manusia-manusia bergerak liar tak terkendali. Mungkin sebuah peradaban yang berantakan karena pencemaran, limbah, lumpur, kabut asap. Di tengah kekacau-balauan itu, pementasan ini seakan menyorakkan, “kembali-jadi-manusia” berarti kembali kepada langit.
Anjuran itu tak sepenuhnya tepat. “Kembali-jadi-manusia” tidak sepenuhnya berarti kembali kepada langit. Ketika Tuhan memisahkan manusia dari-Nya, menggelincirkan manusia ke dunia, maka identitas kemanusiaan ditandai oleh kemampuan manusia mengenali dan menyebutkan nama benda-benda. Dengan bekal itu, manusia diberi hak menentukan hidupnya sendiri.
Tetapi Tuhan kadang hadir ketika manusia sudah tak berdaya. Dan pementasan pun usai. Gerimis di luar panggung telah reda. Fatris Mohammad Faiz, sedang menyelesaikan studi di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. (Fatris Moh. Faiz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar