Selasa, Oktober 26, 2010

Tya Setiawati : menampilkan monolog berjudul “Demokrasi” karya Putu Wijaya dalam Mimbar Teater Indonesia (MTI) II

Padang Ekspres, Edisi Minggu 24 Oktober 2010

Oleh : Afrizal Harun


Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tanggal 4-10 Oktober 2010, Taman Budaya Surakarta (TBS) kali ini mengambil tema “Menyoal karya-karya Putu Wijaya”. Terdapat dua puluh delapan penampil monolog dan empat penampil grup teater yang ikut berpartisipasi menjadi peserta dalam iven nasional tersebut seperti Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Teater Lungid (Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), Teater Tanah Air (Jakarta)Teater Cermin (Solo), Herlina Syarifudin (Jakarta), Dalif (Tinambung, Sulbar), Bramanty S. Riyadi (Tegal), Ria Ellysa Mifelsa (Bandung), Putu Satria Kusuma (Singaraja, Bali), Luna Vidya (Makassar), Genthong HAS (Yogyakarta), Anton Y. Kieting (Takengon, Aceh Tengah), Abuy Asmarandana (Samarinda), Wawan Sofwan (Bandung), Tya Setyawati (Padang), Ujang GB (Jakarta), Sih Wahyuning (Semarang), Agus Nur Amal (Jakarta), Nani Tandjung (Jakarta), Syamsul Fajri Nurawat (Mataram), Lingkar Study Teater Palembang (Palembang), Rizaldo Gonzales (Kotabaru, Kalimantan), Boni Avibus (Bandung), Agus Susilo (Medan), Heliana Sinaga (Bandung), Ikranagara (Jakarta), Irwan Jamal (Bandung), Lisa Syahtiani (Jakarta), dan Rita Matumona (Jakarta).
Pembicara seminar dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tersebut adalah Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff (Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin (Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).
Hari ketiga, 6 Oktober 2010 pukul 21.15 WIB di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), setelah pertunjukan “Dam” oleh Wawan Syofwan dari Bandung, Tya Setiawati menampilkan naskah monolog Putu Wijaya berjudul “Demokrasi”. Naskah ini pada dasarnya merupakan kritik Putu Wijaya dalam menyikapi persoalan demokrasi di Indonesia. Kita berada dalam paradigma demokrasi yang salah kaprah, demokrasi hanyalah sebuah jargon atas nama kepentingan oleh segelintir orang yang berkuasa, ambisius, dan hipokrit, demokrasi menjadi sebuah kata yang dekat dengan politik konspirasi. Kata demokrasi dalam perspektif Putu Wijaya hanyalah sebuah wacana belaka, tidak ada implementasi yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai pondasi dalam melihat kepentingan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian mampu dibayar dengan uang dan kekuasaan. Siapa yang terpedaya dengan uang dan kekuasaan atas nama demokrasi, maka demokrasi tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan, demokrasi sudah mati karena kita sendiri yang telah membunuh kata demokrasi tersebut.
Begitulah Tya Setiawati (sebut saja Tya) menampilkan naskah monolog “Demokrasi” karya Putu Wijaya melalui pendekatan sosio-kultur dan dialek vokal yang berirama ke-Jawa-an. Melalui gaya akting yang sedikit komikal, naskah ini mampu dikomunikasikan secara baik oleh Tya. Set dan properti yang minimalis berupa kursi panjang, keranjang, dan kostum ganti yang terdapat di dalam keranjang tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif. Elemen pencahayaan yang ditata oleh Enrico Alamo tidak begitu memilih efek warna secara dominan, hanya beberapa titik pencahayaan yang berfungsi untuk menegaskan pola bloking, suasana dramatik lakon yang sedang dimainkan dan juga berfungsi sebagai batas area permainan.
Kemampuan Tya dalam menjaga ritme permainan, kesadaran terhadap penggunaan set dan properti, bisnis akting, gestur dan caranya menyikapi penonton teater malam itu, penulis sangat mengapresiasinya dengan baik. Walaupun sebenarnya terdapat kecelakaan teknis diawal pertunjukan, hal itu disebabkan oleh operator sound system yang begitu lama dalam mengaktifkan musik digital, sehingga pertunjukan sempat tertunda sekitar tujuh menit. Jelas saja, kecelakan teknis yang disebabkan oleh operator Sound System sangat mengganggu konsentrasi penonton yang akan menyaksikan pertunjukan monolog ini.
Setelah lampu pertunjukan secara perlahan dihidupkan dan musik digital sudah bisa diaktifkan oleh operator sound system, lalu seorang tokoh perempuan (Tya) masuk sambil membawa keranjang ke area panggung, ia menari mengikuti irama musik sambil mengelilingi area permainan. Setelah musik berhenti (fade out), perempuan itu duduk di kursi panjang. Sejenak suasana kembali hening, perempuan itu menatap ke sekeliling penonton, menerawang ke langit-langit gedung pertunjukan, akhirnya ia mengucapkan kalimat “Saya mencintai Demokrasi” dalam dialek Jawa. Sebuah teknik muncul yang sederhana dan biasa namun mampu memberikan daya sugesti yang baik. Penonton telah membangun impresi positif dalam pikirannya terhadap apa yang dilakukan oleh Tya diawal pertunjukan. Persoalan-persoalan dalam pertunjukan mulai digulirkan kehadapan penonton. Tokoh perempuan tersebut menceritakan kalau dia adalah pimpinan demonstrasi RT Gang Gusus Depan. Ia bersama penghuni RT Gugus Depan menolak pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh petugas kelurahan yang telah bekerja sama dengan pimpinan pabrik tekstil di kota itu. Pelebaran jalan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan bersama dan atas nama nilai-nilai demokrasi.
Pelebaran jalan dengan cara memangkas rumah warga yang berukuran enam meter kali empat bertujuan untuk memudahkan akses para buruh pabrik menuju tempat kerja mereka. Hal ini dipahami sebagai bentuk cita-cita demokrasi yang akan membantu masyarakat RT Gugus Depan secara ekonomi. Jalan tersebut akan ramai dilalui, termasuk juga mobil-mobil, bajaj dan kendaran bermotor. Para demonstran tetap melakukan penolakan terhadap eksekusi tanah seluas dua meter tersebut. Petugas kelurahan mengerahkan Buldozer sebagai jawaban atas penolakan warga tersebut, warga terus melakukan perlawanan, walaupun nyawa yang harus menjadi taruhannya, demokrasi harus tetap ditegakkan.
Tokoh Perempuan yang berperan sebagai pimpinan para demonstran akhirnya tidak tega menghadapi situasi yang begitu parah tersebut. Dengan sedikit melakukan pergantian kostum di atas panggung, Ia berniat dan memberanikan diri untuk menemui pimpinan perusahaan tekstil itu sendirian. Berbagai bujukan dan rayuan secara lisan oleh pimpinan perusahan tekstil tersebut tidak mudah menggoyahkan sikap demokrasi yang sudah tertanam dalam dirinya. Namun, ketika uang disodorkan tepat dihadapan matanya, ia mulai bertanya dalam hati “apakah ia benar-benar mencintai demokrasi?” ternyata tidak, perempuan itu telah rapuh, goyah dan terpedaya. Matanya melotot memandang uang dalam amplop yang bertuliskan angka sebesar satu milyar. Kata-kata demokrasi yang selalu ia kumandangkan akhirnya hilang dan lenyap begitu saja waktu itu. Kemudian secara perlahan lampu mulai dipadamkan (fade out) dan penonton bertepuk tangan. Maka selesai sudah pula “Demokrasi” dalam pertunjukan malam itu.
Beberapa pertunjukan yang penulis amati dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, baik penampil grup maupun peserta monolog memiliki keberagaman dalam mencermati konsep pertunjukan dan tafsir terhadap teks-teks naskah drama Putu Wijaya. Keberagaman tersebut tercermin dari kemampuan para performer menyikapi wilayah permainan baik secara indoor maupun outdoor secara cerdas. Benny Yohanes dalam seminar Mimbar Teater Indonesia sempat memberikan ulasan terhadap beberapa pertunjukan yang telah disaksikannya, termasuk pertunjukan monolog “Dam” Wawan Syofwan dan “Demokrasi” Tya Setiawati. Dua pertunjukan ini dalan perspektif Benny Yohannes merupakan suatu usaha dalam mewujudkan akting representasional di atas pentas, pilihan ini tidak bisa dipandang secara sederhana begitu saja. Untuk menjadi seorang aktor yang baik dan mampu diterima oleh masyarakat penontonnya memang membutuhkan proses panjang dalam melatih kemampuan bermain tanpa henti, membina kecerdasan intelektual, emosional, spritual, termasuk juga kecerdasan secara sosial.
Konteks lain, menyangkut penyelenggaraan iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, tetap saja memiliki kekurangan yang cukup signifikan. Afrizal Malna menilai bahwa penyelenggaan iven ini seperti tidak ada persiapan yang matang. Tidak ada foto-foto dan dokumentasi visual mengenai pertunjukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri-nya. Iven ini begitu miskin dalam menyikapi masyarakat penonton teater terutama untuk penonton awam, karena (menurut Afrizal Malna) tidak semua penonton mampu mengetahui secara mendalam mengenai proses kreatif Putu Wijaya melalui teater Mandiri-nya. Kemudian, Benny Yohanes juga kembali menambahkan, bahwa tidak ada ruang tersendiri untuk para kreator dapat bertemu dan berbagi pengalaman mengenai proses kreatif dan sejauh-mana tafsir mereka dalam menyikapi teks-teks naskah drama Putu Wijaya tersebut.
Semoga kita semua dapat belajar dari peristiwa budaya yang telah berlalu ini. Salam Teater**

Penulis adalah Penonton Teater,
Sekarang tinggal di Solo