Kamis, Juni 17, 2010

Sayembara Penulisan Lakon Realis

SAYEMBARA PENULISAN LAKON REALIS DIPERPANJANG SAMPAI 31 JULI 2010

Dalam dua dekade terakhir panggung teater Indonesia mengalami kemerosotan drastis dalam kuantitas pementasan bergaya realis, seiring dengan semakin banyaknya kemunculan “teater tubuh”. Sejumlah pengamat pernah menyatakan bahwa dalam teater kita telah terjadi krisis aktor. Hal itu mengacu pada kenyataan bahwa tidak banyak aktor yang menunjukkan kepiawaian menghidupkan teks (dialog) dan membangun karakter. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah kelangkaan lakon yang mengutamakan seni peran. Beberapa naskah jenis itu, yang sedikit jumlahnya, terlalu sering dipentaskan ulang tanpa menawarkan kesegaran. Sehubungan dengan itulah Komunitas Salihara menyelenggarakan Sayembara Penulisan Lakon Realis.

Syarat-Syarat:
1. Tema bebas.
2. Ditulis dalam bahasa Indonesia.
3. Memperhitungkan durasi pementasan, antara 1 sampai 1,5 jam.
4. Tidak berbentuk monolog dan dibuat untuk dimainkan oleh maksimal 5 (lima) karakter/tokoh.
5. Belum pernah dipentaskan/diterbitkan sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.
6. Naskah diterima panitia paling lambat pada tanggal 31 Juli 2010.
7. Pementasan perdana naskah pemenang menjadi hak panitia.
8. Nama dan biodata pengarang ditulis pada lembar terpisah dari naskah.
9. Naskah dikirim rangkap 4 (empat) dalam amplop yang ditulisi “Sayembara Penulisan Lakon Realis” di pojok kiri atas, ke:

Komunitas Salihara
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520


Pemenang dan Hadiah:
1. Dewan Juri akan memilih 3 (tiga) finalis dan menentukan 1 (satu) lakon terbaik.
2. Pemenang akan diumumkan pada Festival Salihara, September 2010.
3. Lakon terbaik akan mendapatkan hadiah uang Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan dua lakon finalis lain masing-masing mendapat uang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah); pajak ditanggung penerima hadiah.
4. Lakon terbaik akan dipentaskan untuk pertama kalinya di Teater Salihara sebagai produksi Komunitas Salihara.


Dewan Juri dan lain-lain:
1. Dewan Juri terdiri dari 3 orang: Iswadi Pratama (penulis lakon dan sutradara Teater Satu, Lampung), Zen Hae (penyair dan penulis cerita), dan Seno Joko Suyono (wartawan budaya Koran Tempo, pengamat seni pertunjukan).
2. Panitia (kurator dan seluruh karyawan Komunitas Salihara) dan anggota Dewan Juri dilarang mengikuti sayembara ini.
3. Keputusan Dewan Juri akan dipertanggungjawabkan pada saat pengumuman pemenang, dan tidak dapat diganggu-gugat.


Jakarta, 01 Januari 2010
Komunitas Salihara,
Panitia Sayembara Penulisan Lakon Realis

Minggu, Juni 13, 2010

Nama Calon Pemenang Sayembara Naskah Pusbuk 2010

Bersama ini saya informasikan daftar nama calon pemenang sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan tahun 2010 dari Kementrian Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan yang saya dapatkan langsung dari teman saya yang lolos tahun ini.

Nama-nama hebat yang dipanggil itu berhak ke Jakarta dari tanggal 7 s.d. 10 Juni 2010 dan menginap di Hotel “OASIS AMIR” Jakarta Pusat. Pengumuman pemenang langsung disiarkan di TVRI hari Rabu 9 Juni 2010 di TVRI Pusat Jakarta, pukul 15.00 s.d. 16.30 WIB.

Cerita Anak

1. Suherma, S.PD, Guru SDN Paoman III, judul Keluarga Pelangi
2. Suparni, Guru TK Aissyiah Bustanul Athfal V, judul Sahabat
3. Tuswadi, Guru SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, judul Kidung Masa Kecil

Cerpen SMP

1. Al Varidah, S.Sos, Guru SMP Al-Muttaqin Fullday School, Judul wasiat Bunga
2. Gusti Diah Antasari, S.Pd, Guru SMPN 17 Jakarta Pusat, judul Pelangi tak Terbatas
3. Siti Anisah, Guru MTs Darul Farah Sukorejo Ponorogo, judul Mereka yang Tak Menyerah

Novel SMP/SMA

1. Drs. Asli br Sembiring, Guru SMK 1 Medan Area, Judul Laskar Sunggal- Membongkar Jaringan ekor Naga Putri Hijau di tanah Deli
2. Gatot Supriyanto, guru SMPN 1 Grabag (SSN), judul Nyanyian Codet
3. Lili Akhmad MR, guru SMAN 4 Bekasi, judul Namaku Abdul (Anak kampung Jejerukan)
4. Mirawati, S.Pd, Guru SMKN 1 Rangas Mamuju, judul Sang Guru
5. Suprihatin, S.Pd, Guru SMP 3 Jelita, Judul Kolong Surga
6. Yeni Sukmawati, Guru SMPN 2 Majalengka, judul Saat kamboja Berbunga

Pantun SD

1. Heri Kurniawan, Pustakawan SMPN 8 Yogyakarta, judul menjadi anak negeri: Kumpulan Pantun
2. Drs. Kamulyo Santosa Hasyim, guru SMAN 7 Tangerang, judul Mengenal Budaya Nusantara melalui pantun
3. Sadino, guru SDN Tepisari 02 Sukoharjo Jateng, judul Meningkatkan IQ dan EQ dengan pantun terpadu

Puisi SD/SMP

1. Bussairi D. Nyak Diwa, Drs, Guru SMAN 1 Kluet Utara, Aceh Selatan, judul Ziarah Hati
2. Hidayat Raharja, S.Pd, guru SMA Negeri 1 Sumenep, judul Jalan Ke Rumahmu
3. Lufiana, S.S, guru SMP Muh. Glondo, judul kabar dari alam
4. Purwaningsih, guru SMPN 23 Purworejo, judul Larik-larik Persembahan
5. Sultan Efendy, S.Pd, Guru SMP N 10 Pare-pare Sulsel, judul Menunggu di pintu waktu
6. Tjachjono Widarmanto, Guru SMAN 2 Ngawi, judul Mata Ibu

Drama SMA

1. Drs. Sumpeno, M.Sn, Dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta, judul Sepasang Mata yang Berharap
2. Muh Arif Wijayanto, S.Sn, Guru SMK 1 Kasihan Yogyakarta, judul Air Mata semar
3. Nanik Irawati, S.Pd, guru SMKN 7 Purworejo, judul Dolalak Dukuh Jenar

Pengayaan Pengetahuan Alam dan Matematika

1. Arief Fadillah, Guru SMAIT Thariq bin Ziyad Bekasi, judul Mangapa Harus Takut pada Radiasi?
2. Elizabeth Tjahja Darmawan, S.Si, M.Pd, guru SMA Xaverius 1 Jambi, judul Cassiavera dari Kelinci- Primadona Dunia
3. Endang Sri Sulistyrini, S.Pd, guru Guru SDN Karangsari 2 Blitar Jawa Timur, judul Ketika Mama Pergi
4. Gunawan, A.Ma.Pd, guru SD N 1 Sukokerto, judul Rahasia Dibalik sampah
5. Hary Tridayanto, S.Si, Widyaiswara P4TK, Cianjur Jawa Barat, judul Sumber energi dan Upaya penghematan Energi
6. Ikbal Gazalba, S.Si, Pengajara BTA Alumni Cijantung Jaktim, judul Aku dan Gempa
7. Ranny Noviany,guru SD yayasan cahaya mutiara Cimahi Jawa Barat, judul Matematika Itu Menyenangkan
8. Sri Kuncoro, A.Ma, Guru SDN 04 Jatisobo, Karang anyar jawa Tengah, judul Air (Antara Misteri, Kawan, dan Lawan)
9. Winda rahmalia, S.Si, M.Si., Dosen Univ. Tanjungpura Pontianak Kalbar, judul Mengenal Sumber Bahan baku dan Metode Pembuatan Bio diesel

Pengayaan Pengetahuan Sosial

1. Cucu Munawar bin Abduurohim, guru SMAN 3 Sukabumi Jawa Barat, judul Mengenal dasar ekonomi syariah
2. Drs. Heri Suritno, Kepala SDN Siwarak Wetan, Banyumas jawa Tengah, judul Pesona taman bawa tanah “Gua Petruk”
3. Ir. Soetawi, M.P., Dosen fakultas Pertanian Peternakan Kampus III UMM, judul Remaja dan Rokok Penyakit, Kemiskinan, dan fatwa
4. Johan wahyudi, guru SMPN 2 Kalijambe, Sragen Jawa Tengah, judul Menjadi Cerpenis
5. Murhamsyah, SI.P, guru SMP YPVDP Bontang Selatan Kal-Tim, judul Mengapa Bumiku makin panas?
6. Ruliani Indrawati, Guru SMP N 4 Cianjur, judul Bunga-bunga Bahasa
7. Sunarsih, guru SD Islam Terpadu Nurul Islam, judul Yuk, ke Desa

Pengayaan Keterampilan

1. Das Salirawati, M.Si, Dosen Univ Negeri Yogyakarta, judul Nata de Banana Skin Home Industri yang menjanjikan
2. Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd, Dosen UNNES Semarang Jawa Tengah, judul Mosaik-Menata Kepingan Menjadi Karya Menarik
3. Drs. Mudiono/Muslimah hariyani, guru SDN Trahan/SDN Karangturi, Rembang jateng, judul Aku Ingin Menjadi Jagoan Batik
4. Kurnia hadinata, s.Pd, guru SMP N 2 Pati Pasaman, Sumbar, judul Pelajar Ayo Buat Film (Penuntun Praktis dan Jitu Membuat Film Pendek Cara Indie)
5. Nur Laili Munazalah, guru Jarimatika Unit Cemani, Lawetan Jateng, judul Kebun sayur Organik
6. Tejo Wahyono, guru SDN 1 Banyuroto, jawa Tengah, judul Menjadi Peternak Kelinci Teladan

Biografi

1. Dra. Eko Sri Israhayu, M.Hum, Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Purwokerto Jateng, judul NH Dini, Tak Pernah kekeringan Ide

Kepada para pemenang sayembara penulisan naskah buku pengayaan tahun 2010, saya ucapkan selamat mendapatkan hadiah uang sebesar Rp.21.000.000 untuk Juara Pertama, Rp. 20.000.000 untuk juara kedua, dan Rp. 19.000.000 untuk juara ketiga.

Link Terkait: http://wijayalabs.com

Rabu, Juni 02, 2010

SEMOGA AROGANSI DAN INFANTILISME BERKESENIAN ITU CAIR


Oleh: Ganda Cipta
Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 30 Mei 2010


Benarkah seniman teater Sumatera Barat berkesenian antara sikap arogan dan kekanak-kanak? Atau itu hanyalah suatu kecemasan yang berlebih-lebihan dari Afrizal Harun, seorang teaterawan muda Sumatera Barat? Inilah yang menjadi pertanyaan besar dari Alee Kitonanma dalam tulisannya, Sebuah Kecemasan yang Berlebih-lebihan (Padang Ekspres, 23 Mei 2009, halaman 16)

Tulisan tersebut merupakan tanggapan dari tulisan Afrizal Harun yang dimuat pada koran dan halaman yang sama, seminggu sebelumnya. Dengan judul Senimat Teater Sumatera Barat, Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian.

Dari tulisan Afrizal Harun, saya mengambil kesimpulan, bahwa iklim teater di Sumbar cenderung arogan dan invantil. Di mana penyebabnya utamanya adalah dana untuk memproduksi karya yang terbatas dan sulit didapatkan. Kemudian dari ketersedian dana yang terbatas itu, para pelaku teater mesti saling saing, saling rebut, atau bahkan saling sikut. Layaknya orang-orang yang terjebak berhari-hari di tengah padang pasir luas bertemu satu sumber mata air.

Dari sana persaingan bermula. Para pelaku seni (oknum) yang sering kalah bersaing, dan tidak mampu mengakali jalannya produksi karya mereka, lebih banyak ngomong dari pada berkesenian. Sebagaimana Babab, begitulah panggilan akrab Afrizal Harun, saya juga merasakan arogansi dari sejumlah oknum teater di Sumbar ini.

Banyak contoh yang telah bersua oleh saya, selama 7 tahun saya berdekatan dengan dunia teater Sumbar (waktu yang masih pendek tentunya). Sebuah atau beberapa group yang sering mendapat dana hibah dari berbagai sumber sering dipergunjingkan. Gawatnya, pergunjingan tersebut sering juga disampaikan ke tengah anak-anak muda yang baru bersentuhan dengan seni yang komplit dan kompleks ini. Secara tidak langsung para oknum ini, mengajak anak-anak muda itu, untuk tidak respek terhadap group yang sedang mereka pergunjingkan. Inilah salah satu penyebab gap itu menganga.

Contoh lain, ketika satu komunitas atau institusi pemerintahan membuat sebuah event, yang dengan dana terbatas, tentunya tidak bisa merangkul seluruh group yang ada, para oknum teater yang tidak dibawa serta, sering pula mencak-mencak. Tak jarang mereka menuduh, group yang ikut serta dalam sebuah ivent adalah group “dalam rangka”. Kalau ada iven baru berkesenian, kalau tidak, tidur dalam khayalan-khayalan kreativitasnya. Padahal, tanpa mereka (oknum) sadari, hal yang sama juga mereka lakukan. Bukankah ini sifat yang kekanak-kanakan?

Pada kesempatan lain saya juga menemukan arogansi sebagaimana dimaksudkan Afrizal, dalam bentuknya yang lain barangkali. Oknum tersebut merasa dan sering mengungkapkan, bahwa dia telah berpuluh tahun berkesenian, dan telah banyak karya yang dibuat dan dimainkan, tapi kenapa tidak mereka yang diundang. Lalu pertanyaan muncul dari kegelisahan oknum tersebut, apakah saya tidak seniman pula? Saya rasa itu juga sebuah bentuk arogansi berkesenian.

Jadi saya setuju dengan unek-unek Babab dalam tulisannya tersebut. Tapi pertanyaan kemudian yang ingin saya munculkan, apakah tak pernah disadari dan dilakukan perbaikan terhadap geliat buruk itu? Dengan yakin dan percaya saya ingin menjawabnya sendiri dalam kesempatan ini. Pernah dan sedang dilakukan.

Lalu siapa yang melakukannya? Mereka adalah para pemula atau anak-anak muda yang baru seumur jagung berkecimpung dalam dunia teater. Dari bantuan “kaum tua” yang sadar akan buruknya persaingan dunia teater kita dari berpuluh tahun yang lalu. Dari kaum tua tersebut, para pemula ini mendapatkan cerita tentang buruknya sejarah geliat teater Sumbar, dan itupun masih terasa sampai kini, saat mereka bersentuhan langsung. Dan tidak sekedar hanya mendapatkan cerita.

Dalam hal ini, saya tidak bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang mensinyalir Afrizal Harun –atau barangkali Alee sendiri?- kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda. Seperti tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dan seniman-seniman muda.

Pada kemudian, mereka merapatkan barisan, saling membuka diri dan bersilaturhmi. Membangun jejaring antar individu dam komunitas. Tidak hanya di Sumbar saja, tapi melebar hingga ke luar. Tidak hanya pada satu genre kesenian saja, tapi melintas antar genre seni lainnya. Tidak hanya kalangan mereka saja, tapi juga pada seniman yang telah lebih dahulu bereksenian daripada mereka. Hal itu saya rasakan, karena saya bagian dari mereka, anak-anak muda atau pemula.

Buktinya, antara lain bisa dilihat dalam catatan-catatan pementasan yang sering muncul di media cetak daerah ini. Sebagian besar yang menulis itu adalah anak muda. Dan tak ada saya temukan kritikan dalam catatan-catatan itu keluar dari konteks pementasan. Anak-anak muda ini tetap menulis catatan pementasan, tanpa memandang siapa dan group mana yang tampil

Meskipun harus diakui pula, bukan berarti pergunjingan antara mereka tidak ada. Namun pergunjingan itu hanya sebatas dalam komunitas masing-masing mereka, tidak dibawa keluar. Yang lebih sebagai bahan introspeksi diri. Sehingga kerapatan barisan yang telah disusun, sampai saat ini, setahu saya masih kokoh berdiri.

Dalam hal ini saya bersepakat dengan Alee Kitonanma, yang dalam tulisannya tersebut mengatakan, tidak sedikit acara yang diselenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara yang dibuat. Seperti acara “Seribu Puisi Untuk Chairli Anwar” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Sastra Unand. Di mana anak-anak muda penggiat seni teater dari berbagai komunitas juga terlibat dalam acara tersebut. Yang memperlihatkan ajang tersebut bukan sekedar silaturrahmi antar komunitas, tapi juga menunjukan keakraban mereka dalam berkesenian.

Lalu timbul pula pertanyaan lain. Apakah kesadaran dari generasi muda seniman Sumatera Barat untuk melakukan perubahan terhadap arogansi dan infatilisme berkesenian para seniman Sumatera Barat secara umum, sebagaimana dinyatakan Afrizal Harun itu, telah berhasil?
 
Seperti yang saya beberkan dalam tulisan di atas, maka saya menjawabnya belum. Dan saya meragukan, hal ini bisa merubah prilaku arogansi dan infantilisme pada sejumlah oknum seniman.

Namun, saya melihat ada harapan yang muncul dari kesadaran para anak-anak muda atau pemula itu. Kesadaran untuk tidak mengulang hal yang sama, yang menjadikan persoalan uang sebagai pemicu retaknya hubungan harmonis yang sedang mereka bangun ini, hingga ketika kelak mereka jadi tua dan jadi panutan pada generasi selanjutnya. Mudah-mudahan!


Penulis adalah penikmat dan pengamat seni teater


SEBUAH KECEMASAN YANG BERLEBIH-LEBIHAN [Tanggapan untuk tulisan Afrizal Harun]

Oleh : Alee Kitonanma,
anggota teater imam bonjol.

Diterbitkan Padang Ekspres, Minggu 23 Mei 2010



Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Afrizal Harun “SenimanTeater Sumatera Barat: Antara Arogansi dan Infantilisme Berkesenian” yang terbit di koran Padang Ekspres edisi 16 Mei 2010. Dalam tulisan tersebut, Afrizal Harun mengemukakan beberapa pikiran tentang seniman teater di Sumatra Barat.

Pertama, seniman Sumatra Barat memperlihatkan kepongahan dalam berkesenian. Kepongahan ini terutama muncul di kalangan seniman yang merasa diri punya kekuatan lebih dari apa yang sesungguhnya mereka miliki. Afrizal menyebut kecendrungan itu sebagai “panyakit Post-Power Syndrome.”

Saya berpandangan, arogansi yang muncul (kalau pun demikian realitasnya) adalah keawajaran belaka jika memang didukung oleh karya yang dihasilkan. Sebab, untuk memproduksi sebuah pementasan teater, kita tahu, para seniman teater melewati proses yang luar biasa. Mereka latihan berbulan-bulan tanpa menerima upah yang setimpal. Mereka dengan sukarela menghabiskan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk itu. Kemudian tidak jarang, mereka melewati konflik-konflik sesama aktor, atau dengan sutradara yang terkadang terasa menambah beban hidup demi mengharapkan tepuk tangan para penonton setelah pementasan usai. Apakah salah kiranya kalau seniman teater kemudian merasa puas, bangga, dan mungkin terkesan arogan—walaupun sebenarnya saya tidak yakin kata itu yang cocok dipakai untuk melihat realitas berkesenian hari ini di Sumatera Barat.

Kedua, Afrizal Harun menganggap seniman teater di Sumatera Barat dalam sepuluh tahun terakhir terkesan anti kritik, emosional dalam menanggapi kritik. Ini disebabkan karena, tutur Afrizal, adanya gap-gap, jurang-jurang yang memisahkan pekerja teater di Sumatera Barat. Afirzal Harun menulis: “Paradigma gap (jurang pemisah, kesenjangan) seperti ini telah menjadikan pribadi seniman teater cendrung anti-kritik dan emosional dalam menyikapi persoalan berteater yang sedang dihadapi.”

Pertanyaan saya, apakah benar telah tercipta gap-gap yang demikian lebar sehingga menyebabkan pekerja teater menjadi anti-kritik? Apakah memang separah itukah kehidupan teater Sumatera Barat? Saya rasa tidak, “Berperang Pikiran” merupakan sebuah pancingan untuk menghadirkan ide-ide baru ke depannya. Setidaknya, usai perdebatan, menyisakan hal-hal yang dapat diambil dari gagasan orang lain. Sepanas-panas apapun diskusi karya, toh belum ada terdengar kabar seorang seniman teater saling tidak bertegur sapa, atau saling benci setelah perdebatan teater usai. Bahkan tidak jarang kita melihat mereka tertawa riuh bersama di kedai kopi, atau bertemu di jalan setelah berperang pikiran di belakang pentas atau di media masa.

Ketiga, Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur dalam berkesenian, dengan membandingkan seniman teater Sumatra Barat dengan sepuluh lebih seniman teater di Indonesia yang terkenal. Setelah itu mengemukakan alasan mengapa mereka bisa exist di dunia teater. Berikut kutipannya; “Hal itu tercermin karena mereka berproses secara intens, kontinyu, dewasa dalam menyikapi teater Indonesia sehingga melahirkan karya-karya yang layak diapresiasi sampai saat sekarang ini.” Bukankah dengan kata lain Afrizal Harun menjadikan popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan seorang seniman teater. Saya rasa tidak seperti itu. Dunia teater bukanlah dunia sinetron yang sering “kita” tonton. Sering muncul, laris di pasaran, dan selalu rutin berkarya bukanlah tujuan utama dalam berteater. Bukankah kita lebih mengutamakan proses dan pembelajaran?

Pertanyaan yang juga muncul dari kutipan esai Afrizal Harun di atas untuk keteateran Sumatra Barat hari ini adalah; “Mengapa teater Sumatra Barat tidak sepopuler teater yang ada di luar?” Di daerah Jawa misalnya, para seniman berkesenian dengan kemapanan, menjual tiket pementasan teater dengan harga ratusan ribu perkepala adalah hal yang biasa. Begitu juga halnya dengan penonton, kesiapan dalam materil menjadi syarat utama untuk mendapatkan tontonan teater yang entah berguna entah tidak bagi mereka. Kemudian gedung pertunjukan pun penuh sesak. Sampai-sampai penonton harus memesan tiket jauh-jauh hari. Layaknya sebuah penerbangan pesawat terbang pada musim libur dan mudik. Hal inilah yang menjadi kecemasan bagi Afrizal Harun, lalu muncul perkiraan Afrizal Harun berupa keluhan-keluhan para seniman teater Sumatra Barat yang menurut Afrizal Harun tudak bisa dihindarkan lagi. Seperti kutipan berikut ini; “(1) mengenai minimnya dana produksi (2) proposal pertunjukan belum dikabulkan oleh pihak donator Instansi pemerintah dan swasta, dan (3) tiket pertunjukan belum begitu membudaya karena kecendrungan penonton ingin menyaksikan teater secara gratis.

Seperti kita rasakan bersama, iklim teater Sumatra Barat dari dulu sampai hari ini, para seniman teater memang melakukan pertunjukan teater dengan musiman, bila ada iven, festival, atau diundang untuk mengisi sebuah acara. Berdasarkan sejarah kultur di Minangkabau, segala bentuk permainan anak nagari di mainkan ketika mereka butuh saja. Mereka bermain atas kesenangan saja. Tidak tergantung mapan atau tidak. Ketika keinginan itu muncul, latihan tidak dapat dibendung lagi, lalu hadirlah mereka di atas pentas, entah dapat dana dari mana, entah ada dana atau tidak. Pernahkah kita mendengar sebuah pertujukan teater di Sumatra Barat dibatalkan karena tidak mendapatkan dana? Permasalahan yang sama muncul dari pikiran penonton. Sebagai anak nagari yang menikmati seni, wajarlah sebuah pementasan teater sepi ketika penonton harus merogoh saku dulu. Tapi pernahkah kita mendengar, seniman teater menjadi pesimis dan tidak mau berkarya lagi karena minimnya penonton yang datang ketika sebuah pementasan menjual tiket? Satu lagi kutipan dari tulisan Afrizal Harun; “Sehingga banyak seniman-seniman teater yang sebelumnya produktif berkarya menjadi pesimis, mengurangi proses kreatifnya atau bahkan meninggalkan teater itu sendiri.” Agaknya, sedikit lucu kalimat di atas.

Keempat, tidak adanya ruang dialog dan iven kreatifitas bersama antar komunitas dan seniman teater. Afrizal Harun mengatakan; “Berkaca pada situasi ‘seniman teater’ Sumatra Barat hari ini, penulis menilai, iklim kesenian teater tidak ubahnya seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Suatu suasana permainan yang penuh persaingan, gap-gap, penuh kecurigaan, ambisi, anti-kritik, emosional, dan lain-lain.” Adanya Temu Karya satu kali empat bulan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas seni dan teater di Sumatra Barat merupakan sebuah pernyataan bahwa komunitas teater tidak memiliki gap-gap dan mengutamakan arogansi dalam berkesenian seperti yang diperkirakan Afrizal Harun. Kemudian, tidak sedikit acara yang di selenggarakan sebuah komunitas dengan mengundang komunitas lain untuk hadir dan ikut andil dalam mengisi acara di sana. Pada tanggal 28 April 2010 lalu, Penggiat sastra UNAND menggelar acara “Seribu Puisi Untuk Chairil Anwar,” para penyair dan sastrawan Sumatra Barat menyumbangkan puisinya dalam acara tersebut. Terlihat para penggiat seni yang pada umumnya pekerja teater saling memberikan dukungan dan partisipasi dalam acara tersebut. Jelas, ini bukan hanya ajang silahturahmi antar komunitas seni, tapi mereka menunjukkan keakraban mereka dalam berkesenian.

Tidak hanya itu, bahkan satu komunitas tidak segan-segan mengundang personil dari komunitas lain untuk ikut “bermain” dalam sebuah pementasan. Seperti halnya pementasan “Rumah Jantan” produksi Teater Noktah kerya Syuhendri pada pertengahan Juli 2009 lalu. Di sana membaurlah tim produksi dan tim artistik yang tergolong dari komunitas yang berbeda. Seperti Julnadi yang berasal dari Teater Imambonjol, Rio SY dari komunitas Teater Oase, Tatang Rusmana, M.Sn dari ISI Padangpanjang dan lain sebagainya. Terbukti, mereka membuka diri satu sama lain, bermain asik, tanpa ada rasa pongah, rasa ingin muncul dan menang sendiri.

Sebagai orang akedimisi yang memberikan pandangan pada dunia teater, seharusnya Afrizal Harun mengadakan penelitian untuk menulis iklim teater Sumatra Barat hari ini. Tidak hanya menyangkal dan memperhatikan dari jauh.

Tapi, ada benarnya juga Afrizal Harun Berkata demikian, barangkali Afrizal Harun kecewa dengan kurangnya komunikasi antara seniman tua dengan seniman muda, seperti, tidak adanya keakraban yang terjalin antara Wisran Hadi dengan seniman-seniman muda. Barangkali kita mencemaskan hal yang sama.