Minggu, November 20, 2011

DARI MATRILINI HINGGA WANITA TERAKHIR

Catatan Festival Teater Naskah-naskah Wisran Hadi 2011 

Oleh: Afrizal Harun
Koran Padang Ekspres, Minggu 20 November 2011

Festival Teater 2011 dengan sembilan karya naskah drama Wisran Hadi (alm) yang dilaksanakan pada tanggal 12-16 November 2011 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat sebagai bentuk in memoriam dan a tribute to Wisran Hadi telah usai. Tinggal segudang cerita, dokumentasi foto, dokumentasi audio-visual, poster, baliho, liflet, dan beberapa kritik media massa (koran) mengenai pertunjukan sebagai arsip otentik sehingga dapat menjadi rujukan dalam memahami visualisasi karya-karya besar naskah drama Wisran Hadi. 

Iven Festival Teater 2011 diikuti oleh sutradara dengan membawa nama komunitas atau kelompok teater independen yang terdapat di kota Padang dan Padangpanjang seperti Enrico Alamo dan Vanny Dila Sari (teater Sakata-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Dr. Anda, Muslim Noer (teater Camus-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Malin Kundang, Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Pulau Puti, S Metron (Ranah Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Uji Coba, Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Kemerdekaan, Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul off the Record-Sebatas kita, dan Syuhendri (KSST Noktah-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Wanita Terakhir (Puti Bungsu).

Selama lima hari berturut-turut menyaksikan seluruh pertunjukan teater di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, saya menilai bahwa aktivitas berteater yang selama ini terlelap dalam etalase-etalase egosentrisme, tersentak bangun dan harus bergegas dalam waktu yang singkat untuk mempresentasikan kerja artistik dan estetik teater dihadapan publik penonton yang mayoritas adalah pelajar, mahasiswa, seniman, budayawan dan masyarakat secara umum, saya sangat terkesan akan hal itu. Muncul respons positif dalam penyelenggaraan iven ini. Dari tanggal 12 sampai dengan tanggal 16 November 2011, Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat dipenuhi oleh penonton teater, sehingga secara tidak langsung tercipta sebuah kesadaran bahwa menonton teater itu menjadi penting, terciptanya interaksi melalui pertemuan yang dialektis selama kegiatan berlangsung. iven ini juga mampu mempertemukan para seniman teater Sumatera Barat sehingga terbangun ruang untuk berdiskusi, share pengalaman berproses teater, khususnya dalam mempersiapkan pertunjukan naskah-naskah drama karya Wisran Hadi.

Membaca Hafalan Teks
Berkaitan dengan karya-karya teater yang ditampilkan, saya melihat ada kecenderungan sutradara dalam merekonstruksi naskah drama Wisran Hadi melalui strategi visual (mise en scene), elemen spektakel pertunjukan seperti dialog aktor-aktris, setting, properti, pencahayaan, rias dan kostum. Kecenderungan ini menurut hemat saya hanyalah satu keinginan sutradara untuk mencermati naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan gaya bahasa puitis, tema naskah drama yang kental dengan idiom-idiom lokal Minangkabau, sehingga masing-masing sutradara merasa memiliki ‘kemerdekaan’ dalam menafsirkan naskah drama Wisran Hadi dalam perspektif pemanggungan yang berbeda-beda, namun menarik untuk diapresiasi.

Hal penting yang barangkali belum menjadi perhatian beberapa sutradara dalam menggarap naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan kekuatan bahasa (dialog antar tokoh) adalah pendalaman terhadap analisis teks sehingga terkesan bahwa proses yang dilakukan lebih mengedepankan aspek bentuk semata. Aktor-aktris cenderung mengucapkan dialog dengan gaya deklamasi dan selalu menghantarkan dialog tersebut kepada penonton, justru yang terjadi adalah situasi yang berjarak antara peristiwa dengan peran tokoh yang sedang dimainkan. Dialog-dialog yang diucapkan bukan berdasarkan pada pemahaman terhadap teks dan motivasi peran namun yang terlihat adalah membaca hafalan naskah dihadapan penonton. Ditambah dengan aspek teknis pencahayaan panggung dan pemanfaatan teknologi (LCD Projector) yang tidak tergarap dengan baik, justru sangat mengganggu peristiwa pertunjukan yang sedang berlangsung.
Situasi ini begitu terasa ketika saya menyaksikan pertunjukan Dr. Anda sutradara Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang), Matrilini sutradara Muslim Noer (teater Camus-Padang), Pulau Puti sutradara Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) dan Malin Kundang sutradara Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang). Kalau seandainya para aktor-aktris bermain secara wajar tanpa harus distilir sedemikian rupa maka jelas akan tercipta interaksi sesama pemain yang tidak artifisial, justru akan mempertegas suasana tokoh yang sedang diperankan oleh aktor-aktris. Ada kesadaran untuk menjaga irama permainan secara wajar, sehingga penonton dapat merasakan daya empati pertunjukan melalui suasana psikologis yang tidak dibuat-buat. 

Wanita Terakhir sutradara Syuhendri (KSST Noktah-Padang) dan Uji Coba sutradara S Metron (Ranah Teater-Padang) seperti berada pada titik jenuh dalam mengolah dialog-dialog secara wajar sehingga muncul kecenderungan untuk mengeksplorasi tubuh, setting, properti sembari mengucapkan dialog-dialog. Sutradara terjebak pada memberi beban makna, pemanfaatan simbol-simbol visual dan koreografi tanpa memperhatikan kekuatan kata-kata dalam naskah Wisran Hadi sehingga pertunjukan terasa kehilangan chemistry, lambat, menoton dan eksperimen yang dilakukan sutradara terlihat tanggung (kurang total). Justru akan lebih menarik apabila sutradara memiliki keberanian untuk mendekonstruksi naskah dan mengambil bagian-bagian yang dirasa penting untuk kebutuhan eksplorasi melalui proses elaborasi yang murni berakar pada bahasa tubuh aktor-aktris. 

Matrilini sutradara Vanny Dila Sari dan Enrico Alamo (teater Sakata-Padangpanjang) mengingatkan saya ketika menonton Ah, Matjam-matjam Maoenja saduran dari naskah asli berjudul Les Precieuses Ridicules karya Jean Baptiste Poquelin (Moliere) produksi Studiklub Teater Bandung (STB) di Teater Arena Jawa Tengah 14 Juni 2010 melalui spirit gaya Komedie Stamboel. Asumsi saya ketika menyaksikan pertunjukan Matrilini adalah sutradara juga  terinspirasi pada spirit Komedie Stamboel dalam mewujudkan naskah drama Matrilini karya Wisran Hadi. Pertunjukan Matrilini yang sarat dengan aspek musikal, tarian, stilisisasi gestur tubuh yang parodi dan komikal sedikit membuat penonton tertawa namun bukan pada kecerdasan suasana dialog-dialog yang diucapkan oleh aktor-aktris tetapi justru karena ‘lucu’ yang diekspresikan secara fisikal (gaya banci, ekspresi dan gestur yang didramatisir, dan tarian yang dipaksa harus terlihat ‘lucu’). Ke’lucu’an yang dibangun akhirnya kehilangan kontrol, justru mengganggu irama pertunjukan.
Gaya yang berbeda juga terlihat dalam pertunjukan Kemerdekaan sutradara Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang). Penonton digiring pada suasana masa lalu ketika Indonesia dijajah bangsa kolonialis. Dalam frame drama ‘ala’ perjuangan untuk memperingati ‘kemerdekaan’, pertunjukan ini menghadirkan beberapa audio orasi-orasi, irama lagu perjuangan. Sutradara memberikan nuansa yang khas Aceh dalam pertunjukan Kemerdekaan, hal ini ditandai dengan adanya properti rencong, ikat kepala dan kesenian Didong. Irama nyanyian, tarian, musik dengan syair yang berbunyi “amanlah, aman duniaku, aman tak pernah hancur” (dinyanyikan oleh sembilan orang pemain Didong) tampil memukau. Namun, saya menilai terdapat tafsir yang keliru dalam memahami naskah Kemerdekaan karya Wisran Hadi. Hal ini tercermin dari pemahaman sutradara dalam memandang kata ‘kemerdekaan’ sebagai produk masa lalu di era kolonialisme. Dua orang tokoh yang berada di suatu lembah dalam hutan kering. Dua orang tokoh seperti mengalami gejala traumatik, depresi, sehingga takut memperlihatkan ekspresi wajah karena rambut terlalu mendominasi muka mereka. Analisa teks yang kurang dielaborasi secara mendalam menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ tidak dipahami sebagai konsep filosofi yang esensial dalam kehidupan manusia. Kemerdekaan idealnya menjadi konsep berfikir dan bertindak yang universal tentang hak untuk mengendalikan diri sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain. Kegagalan interpretasi ini menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ dipandang terbebas dari belenggu penjajah semata sehingga aktor-aktris mencoba mengimajinasikan memori ‘kemerdekaan’ di masa lalu seperti apa, bukan ‘kemerdekaan’ yang bersifat filosofis. Kegagalan dalam menginterpretasi, akhirnya aktor-aktris menjadi cepat dalam berkata-kata, tidak jelas apa yang sedang mereka perdebatkan, hanya kemarahan-kemarahan yang tidak jelas apa maksud dan tujuannya. 

Off the Record-Sebatas kita sutradara Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah Wisran Hadi yang hanya berisi petunjuk adegan berbasiskan pada gerak-gerak pantomim. Namun secara penggarapan, pertunjukan Off the Record-Sebatas kita memasukkan instrumen lokal Minangkabau melalui gerak tari seperti silat dan Ulu Ambek. Kecenderungan untuk mengejar aspek bentuk mengakibatkan pertunjukan Off the Record-Sebatas kita terkesan seperti demonstrasi tubuh yang datang dan pergi begitu saja, belum mengarah pada pendalaman makna sehingga aktor terjebak pada gerak-gerak yang artifisial. Tema tentang kemuliaan, kekuasaan, kesenian dan perselingkuhan seyogianya mampu bersinergi satu sama lain, pertanyaan yang muncul adalah dunia seperti apa yang ingin dibangun oleh sutradara melalui aktor-aktris di atas panggung?. Aspek teknis seperti musik yang diharapkan dapat membantu atmosfer pertunjukan, justru terasa mendominasi pada setiap adegan dari awal sampai akhir, musik seolah-olah hanya menempel dan tidak menyatu dengan peristiwa yang sedang ditampilkan di atas panggung. *Salam Teater*

PARADE TEATER NASKAH WISRAN HADI

“Selamat Datang di Koto Tingga”

Padang Ekspres • Minggu, 13/11/2011  
Oleh: Gusriyono

…. Ada kunjungan. Datang sumbangan. Tidak berbunga. Kalungkanlah!
Kalungkan bunga-bunga….
…. Ada kunjungan. Turun bantuan. Lunak bunganya. Sajikan!
Sajikanlah adat budaya lama….
Selamat datang di Koto Tingga. Welcome….


Malin meneriakkan kata-kata tersebut beberapa kali melalui toa atau pengeras suara yang dipegangnya. Pemberitahuan tersebut sebagai isyarat agar penduduk Koto Tingga, yang tinggal beberapa orang itu, bersiap-bersiap menyambut tamu yang berkunjung dengan tarian sesuai budaya yang mereka pertahankan—dalam hal ini Minangkabau. Muncullah penduduk Koto Tingga yang berprofesi sebagai pedagang, yang menjual berbagai macam produk Koto Tingga termasuk adat dan budaya.


Kemudian, pemusik dengan gandang tamburnya menyajikan musik riang menyambut pengunjung, diiringi penari, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Mereka menarikan budaya lama itu di depan kuburan yang dianggap kuburan Bundo Kanduang. Kuburan itu didirikan di atas tanah yang disewa secara kredit kepada Panglimo.

Adalah 7 orang pelarian revolusi, Malin (Afrizal Harun), Ustad (Dedi Darmadi), Pakih (Anggi Hadi Kesuma), Katik (Syafriandi Afridil), Siti Cannon (Ayuning Saputri), Puti Xerox (Elsa Novri Asminda), dan Gadih (Winda Sesmita). Mereka menetap dan mempertahankan budaya lama di Koto Tingga, sebagai tameng persembunyian.
Kemudian, masing-masing menganggap diri pahlawan kebudayaan, yang mempertahankan adat dan pusaka lama itu, sembari menjualnya kepada para pengunjung. Termasuk memperkelam sejarah, melalui kuburan Bundo Kanduang dan ahli warisnya, seperti perebutan pemimpin upacara adat antara Puti Xerox dengan Siti Cannon.

Berbagai kejadian lengkap beserta konfliknya tersaji dengan renyah dan penuh olok-olok di lapangan terbuka yang dijadikan Koto Tingga itu. Sebagaimana naskah itu ditulis oleh Wisran Hadi—pun naskah-naskahnya yang lain—berisi kritikan terhadap adat dan budaya lama dengan gaya bercemooh atau olok-olok yang satir.

Menariknya, pementasan naskah Orang-Orang Bawah Tanah yang disutradarai Yusril dan diproduksi Komunitas Hitam Putih ini memilih pakaian adat Minangkabau sebagai kostum pemain. Sesuatu yang sudah sangat jarang ditemukan dalam pementasan teater atau sandiwara sekali pun di zaman sekarang.
Pilihan pakaian adat ini akan mengingatkan penonton pada pementasan sandiwara pada tahun-tahun 1980an atau sebelumnya. Untung saja, Yusril tidak menggunakan layar yang buka-tutup setiap pergantian adegan. Kalau iya, klop deh, jadulnya…. Serasa berada di tahun-tahun Yusril muda, barangkali. Hehe…

Diakui Yusril, pilihan kostum tersebut sebagai upaya memberikan tontonan alternatif bagi penonton terutama kalangan generasi muda. Bahkan, katanya, ketika dipentaskan di teater arena ISI Padangpanjang, beberapa penonton terharu, melihat masih ada yang memakai pakaian adat dalam pertunjukan teater.

Kemudian, pilihan lain yang diambil Yusril, mendekatkan pemain dan permainan ke penonton dengan pentas di lapangan terbuka. Seperti yang dilakukan pada Jumat (11/11) malam.
Di tanah lapang bekas reruntuhan Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumbar, Orang-Orang Bawah Tanah dipentaskan Yusril dengan penonton yang duduk lesehan di karpet. Sesekali, terjadi interaksi antara pemain dan penonton. Melalui cara ini, Yusril ingin menunjukkan teater bisa pentas dan hadir di mana saja. Tidak mesti di gedung pertunjukan. Ia bisa hadir di pasar, di mall, di lapangan bola, dan ruang-ruang publik lainnya.


Hanya saja, diakui Yusril, pementasan di lapangan terbuka malam itu sedikit luput dari perhitungan distorsi bunyi atau suara. Tidak seperti pementasan sebelumnya di ISI Padangpanjang yang berada dalam gedung teater arena, pementasan di lapangan terbuka Taman Budaya diwarnai dengan bunyi mesin kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor hingga pesawat, suara-suara orang latihan menyanyi dan musik, dan sebagainya. Jadilah Koto Tingga, seperti kota yang riuh.

Termasuk juga, perhitungan bloking pemain, yang membuat letih karena jarak yang terlalu jauh. Lapangan terbuka yang lebih luas panggung teater arena telah menguras stamina pemain. Mungkin, resiko ini perlu juga dipertimbangkan di masa datang.

Naskah Orang-Orang Bawah Tanah ini dipilih Yusril, karena mengetahui proses penulisan naskah tersebut, mulai dari ide sampai observasi yang dilakukan oleh Wisran Hadi. Kemudian, sekitar 20 tahun lalu, Yusril juga membawa berkeliling pementasan naskah ini. Dengan konsep yang berbeda dari pementasan sekarang.
Ketika itu, naskah ini dimainkan dengan konsep realis di atas panggung gedung pertunjukan. Kuburan Bundo Kanduang dihadirkan berbentuk kuburan sebenarnya, tidak seperti pementasan kali ini, yang hanya disimbolkan dengan bentangan kain merah persegi panjang. Serta berbagai perbedaan lainnya.

Penulisan naskah ini, menurut Yusril, ketika pemerintah menggalakkan program Visit Indonesian Year 1990. Ketika itu, seperti juga sekarang, pemerintah kasak-kasuk ingin melestarikan kebudayaan daerah untuk dijual kepada para pengunjung atau wisatawan, sebagai penambah devisa bagi Negara.
Maka, muncullah orang-orang yang menganggap diri pahlawan pelestari kebudayaan dengan berbagai atributnya. Fenomena inilah yang bertahun-tahun silam dikritik oleh Wisran Hadi melalui naskah dramanya tersebut. Termasuk juga persoalan-persoalan sejarah dan mitos yang dipercayai masyarakat, yang sengaja digadang-gadang untuk mengembangkan pariwisata.

Begitulah, orang-orang mulai meninggalkan Koto Tingga satu persatu. Hingga menjadi negeri yang ditinggalkan dan tertinggal. Tidak ada lagi ucapan selamat datang atau welcome. (*)


Web: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=16762

DUA PEMENTASAN TEATER YANG ANTIKLIMAKS

35 TAHUN BUMI DAN IN MEMORIAM WISRAN HADI

Haluan, Minggu, 13 November 2011 01:02 
Ditulis oleh Teguh  
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar
 
dua kelompok teater yang menasbihkan dirinya sangat dekat dengan sosok almar­hum teaterawan Wisran Hadi, menyuguhkan pementasan teater dalam helat 35 Tahun Bumi. Masing-masing mengu­sung bentuk garapan yang berbeda.

Gaung Eskpose Padang mengangkat naskah—yang tak jelas maksudnya, mengapa bukan karya Wisran Hadi—Gubernur Nyentrik dipentaskan prosenium. Kelompok seni Hitam Putih membawakan karya Wisran Hadi, Orang-orang Bawah Tanah yang ditampilkan di luar pentas atau di lapangan terbuka.

Kedua orang yang me­nyutradarai pertunjukan teater itu: Armeynd Sufhasril dan Yusril, bukan anak kemarin sore dalam jagat teater Su­matera Barat. Keduanya—kendati beda usia— sudah bertungkus lumus bersama Bumi Teater, tapi, sayang sekali, kedua garapan yang disuguhkan seperti men­jauh dari apa yang pernah dihasilkan Bumi Teater selama ini. Dua pementasan yang menjadi antiklimaks. Menurun dari dari berbabagai aspek.

Tiga puluh lima tahun silam, sekitar Januari 1976, saat proses latihan teater berjudul Gaung dengan naskah dan sutradara Wisran Hadi, sema­cam manifes dinyatakan untuk penanda kehadiran Bumi Te­ater.
“...Teater kami adalah teater yang berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami mencari bumi yang lain untuk kami bertolak. Pertanggungan jawab dari corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah SWT. Karena kami percaya bahwa bumi tempat kami berpijak adalah bumi yang dititipkan Allah SWT pada kami.”

Manifes ini bukan sekadar kalimat basa-basi pelengkap kehadiran Bumi Teater. Mani­fes ini merupakan gejolak keprihatinan atas gelombang ‘kematian’ kesenian Sumatera Barat, khususnya teater pada saat itu. Di mana Sumatera Barat tidak tampak dalam peta perteateran di Indonesia. Di mana ruang, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), ruang kebanggaan kesenian yang di bangun di pusat negeri ini (Jakarta) seolah tak terjangkau oleh penggiat teater Sumatera Barat. Tak terjangkau, atau bisa jadi pada saat itu, tak ada kemampuan untuk men­jang­kau.

Sejak manifes itu, Bumi Teater, Sastra, dan Seni Rupa dengan ujung tombaknya Wis­ran Hadi berusaha masuk dalam ruang-ruang yang belum terjangkau. Wisran Hadi, secara personal atau atas nama Bumi telah menjadi catatan penting dalam konstelasi perteateran Indonesia.

Setidaknya, sudah sekitar 50 pementasan teater yang dihadirkan, dari pementasan pertama (Gaung, 1976) sampai pementasan paling akhir (Wa­yang Padang, 2006). Puluhan naskah karya Wisran Hadi pun menjadi tolok ukur, men­jadi per­bincangan ber­bagai pihak, atas muatan-mua­tan yang dikan­dungnya. Naskah yang sebagian be­sar men­jadi jawara di ajang-ajang per­lom­ba­an naskah bergengsi di Indo­nesia.

Tapi sejak me­ning­galnya Wis­ran Hadi be­-­be­rapa bulan silam, sejak Bumi Teater kali terakhir mementaskan pertun­jukannya, apakah manifes atau spirit teater moderen yang dihadirkan Wisran Hadi dise­rap oleh para teaterawan atau kelompok teater di Sumatera Barat sebagai suatu kebaruan yang patut terus dieksplorasi?

Dan pembukaan peringatan 35 Tahun Bumi dan In Me­moriam Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatera Barat adalah pembuktian. Dari tanggal 9-11 November, tiga kegiatan digelar, yakni pementasan teater oleh grup Gaung Ekspose berjudul Gubernur Nyentrik (karya Agustan T Syam) sutradara Armeynd Sufhasril, Temu Anak Bumi Teater dengan pembacaan obituari Wisran Hadi oleh Darman Moenir, serta pementasan teater berjudul Orang-orang Bawah Tanah (karya Wisran Hadi) oleh kelompok seni Hitam Putih dengan sutradara Yusril. Tiga tajuk acara yang bisa jadi adalah penggambaran dari spirit 35 tahun Bumi, peng­gambaran sejauh mana manifes yang dipatrikan puluhan tahun silam itu diterima dan dieksp­lorasi terus menerus oleh para teaterawan di Sumatera Barat.

Tiga tajuk acara yang diisi oleh orang-orang yang pernah berproses panjang di Bumi Teater atau berde­katan secara emo­sional dengan Wisran Hadi. Tiga tajuk acara mem­buka sembilan per­tun­jukan lain, akan beruturut-turut dalam sepekan, pertunjukan yang akan membuka celah-celah wacana dalam naskah yang pernah dibuat Wisran Hadi.

Gaung Berusaha “Nyentrik”
Kelompok Teater Gaung Ekspose, mempertunjukkan “Gubernur Nyentrik” di Teater Utama Sumatera Barat (9/11) malam. Dengan naskah yang ditulis Agustan T Syam terse­but Armeynd Sufhasril berusaha menghadirkan (ulang) per­soalan ‘korupsi’ yang sudah sering dibahas dalam berita televisi. Beberapa pemain di dalam pertunjukan tersebut, sebagian besar sudah pemain lama, sudah pernah ikut ber­proses di Bumi Teater. Akan tetapi pertunjukan malam itu terasa tidak memberikan kon­tribusi penting dalam penanda angka ’35 tahun’.

Secara menyeluruh pementasan tersebut berusaha memparodikan kegiatan harian seorang gubernur dengan istri, ajudan, dan orang-orang yang berdekatan dengan lingka­rannya. Parodi yang hampir sama pembawaannya dengan cara grup “Teater Keliling” Rudolf Puspa mementaskan. Entah mana yang menyalin?
Sepanjang permainan ter­kadang tampak totalitas proses berteater dihancurkan secara tiba-tiba, entah kenapa, meski di beberapa sisi ada ‘aktor’, ada ‘properti’ ada keinginan untuk membangun totalitas tersebut.

“Apakah ini pertunjukan teater atau show musik dengan tema lagu-lagu Iwan Fals dan Slank sebagai penguat bahwa malam ini ada gugatan atas pemerintahan korup?”
Penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater ‘pintar’ tentu akan mem­perta­nyakan hal tersebut. Tapi tentu mereka yang senang dengan kelucuan banal seperti tayangan di televisi akan bertepuk tangan dan girang.

Bisa jadi kegagalan ini disebabkan Gaung Ekspose memainkan naskah yang tidak pas dengan karakter mereka yang selama ini mereka tunjuk­kan? Pertanyaan yang akan dijawab bersama. Pertanyaan yang pastinya akan dikem­balikan pada spirit angka ‘35’ tersebut—meski Gaung Eks­pose bukan Bumi Teater, tapi sebagian pemainnya pernah berproses dengan Wisran Hadi, angka ’35’ ter­s­ebut me­rupakan beban moral yang mesti di­tanggung.

Kembali pada Pijakan
Istilah ‘kembali pada pija­kan’ akan jadi perwakilan bagi pertunjukan ko­mu­nitas seni Hitam Putih dari Pa­dang Pan­jang yang me­men­taskan Orang-orang Ba­wah Tanah, Jumat (11/11) malam. Yusril, selaku su­tradara pemen­tasan tersebut berusaha masuk pada celah yang diberi dalam naskah Wsi­ran Hadi tersebut. Meski pada akhirnya garapan Yus­ril tersebut akan ke­luar, dari konteks, dan gugatan-gugatan filosofis yang ditututkan Wisran Hadi dalam naskah.

Agak lain memang, meski bukan baru, pemen­tasan Orang-orang Bawah Tanah dikem­balikan lagi pada sesuatu yang ‘asal’ dalam pertunjukan tradi­sional Minangkabau. Pertun­jukan ini oleh sutradaranya dibawa pada situasi yang lebih nyata, dimana interaksi pemain lebih utuh dengan penon­tonnya, seperti ‘randai’ yang bukan randai.

Orang-orang Bawah Tanah seperti dua dunia yang di­bangun atas wacana besar Minangkabau, wacana yang dirasuki berbagai kepen­tingan pribadi atau kelompok, termasuk politik dan cinta. Pertunjukan ini seolah menjadi tantangan bagi pertunjukan teater yang lazim diper­ton­tonkan dalam ruangan, tanta­ngan bagi sutradara, aktor, juru lampu, dan juga penonton.

Tempat pertunjukan  Orang-orang Bawah Tanah dihadirkan pada tanah yang sedikit lapang antara mess dan galeri lukisan Taman Budaya Sumatera Barat, yang dulunya merupakan Ge­dung Teater Tertutup. Tempat ini pun diubah menjadi (na­gari) ‘Koto Tingga’, tempat para pelarian politik yang ingin mempertahankan kebudayaan lama tapi pada akhirnya malah menghancurkan kebudayaan itu.

Setumpak tanah keter­wakilan dari pandam paku­buran di bagian belakang panggung pertunjukan. Trap yang membelah ruang seakan garis imajiner, batas antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’. Dua menara bambu dengan orang-orangan sawah dan ben­dera hitam berkibar di atasnya, serta para pemain yang me­makain baju-baju adat seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir banyak hal.

Orang-orang Ba­wah Tanah semacam sandiwara gelak-tawa kebudayaan antara tokoh Malin, Pakih, Ustad, Puti Serong, dan Siti Canon. San­diwara yang mengikutsertakan pemain dari awal sampai akhir pertunjukan. Pandam pekuburan Bundo Kanduang menjadi kekuatan yang dibangun, dihancurkan, dan dibangun lagi dalam pe­mentasan ini.

Bagaimana tidak, kuburan Bundo Kanduang dimani­festasikan sebagai kebohongan publik yang dibagun oleh orang-orang yang secara kasar mata mempertahankan kebu­dayaan, tapi di lain sisi mereka ingin menjual kebudayaan tersebut.

Pada pementasan ini Yusril mencoba melakukan proses menafsir lagi estetika lama sembari mencoba mencari bentuk baru dalam melakukan eksplorasi pada ‘tanah’ dimana teater itu di mainkan. Orang-orang Bawah Tanah dijadikan tontonan teater alternatif. “Pementasan ini digarap agar penonton sadar ini sebuah permainan yang juga bukan sekadar permainan,” kata Yusril.

Isu tentang pariwisata dan budaya yang dihadirkan dalam pementasan, sebagaimana para aktor selalu terlihat ingin mendapatkan materi dari kebongan publik yang di­bentuknya, sesuatu yang kini intim dengan kita. “Budaya untuk kepentingan ekonomi, sementara kebu­dayaan tidak bisa dilihat begitu. Jadi ada sebagian orang yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan ekonomi. Saya tidak menyangkal kehadiran Bundo Kanduang dalam pe­men­tasan, tapi yang saya tolak kuburan Bundo Kanduang itu,” tafsir Yusril terhadap perteng­karan antara dua tokoh yang bernama Siti Canon dan Puti Serong yang mengaku ketu­runan sah Bundo Kanduang dan pewaris kuburannya.

Orang-orang Bawah Tanah bisa jadi berhasil memper­tunjukkan naskah Wisran Hadi tersebut melalui interaksi berlanjut dari awal sampai akhir dengan penonton. Ratu­san penonton malam itu pun sibuk dalam wacana yang dibangun, sesekali ‘kecewa’ dengan pembohongan publik, dan berbahagia atas pem­bongakaran isu dalam pe­mentasan.

Penonton malam itu jadi aktor sekaligus, jadi pembuat wacana sekaligus. Meski dalam tafsir yang tidak utuh, pe­mentasan ini jadi perwakilan dari spirit 35 tahun Bumi Teater, spirit 35 tahun ma­nifes semangat berteater yang pernah dibunyikan itu

Tantangan baru, pen­carian dan penemuan jawa­ban, seperti kata Darman Moenir dalam obituari tentang Wisran Hadi, Kamis malam (10/11) mung­kin usaha yang harus disiasati berlanjut. “Membaca naskah, me­nonton pertunjukan Wis­ran Hadi.... kritik-kritik sosial disampaikan dalam cemooh, gurau, plesetan. Wisran Hadi benar-benar sadar akan kekua­tan kata. Dan itu disiasati dengan bacaan, dari permainan tradisi, dari kehidupan masya­rakat menengah kebawah, dari perilaku pe­mang­ku adat dan pejabat...” sebut Darman.

Dan ini tentu sesuatu yang berharga bagi konstelasi pertea­teran di Sumatera Barat. Tidak hanya bagi Gaung Ekspose dengan pertunjukan Gubernur Nyentrik yang bisa dibilang ‘gagal’ dalam menunjukkan totalitasnya, atau komunitas Hitam Putih dalam pementasan Orang-orang Bawah Tanah yang berhasil menyiasati celah bagi penontonnya untuk ikut hibuk dalam sandiawara yang ditulis Wisran Hadi itu.

Spirit 35 tahun dan se­mangat manifes Wisran Hadi bukan hanya milik anak Bumi, bukan cuma milik orang-orang yang pernah berproses di sana, tapi telah jadi milik perteateran Sumatera Barat, Indonesia. Jeda waktu yang panjang memang untuk membuat kebaruan bagi sebagian kelompok teater di Sumatera Barat yang kini layak­nya ‘katak dalam tempu­rung’ dan tidak menghargai proses sebagai bagian dari pencarian berteater itu sendiri.

Web: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10121:dua-pementasan-teater-yang-antiklimaks&catid=46:panggung&Itemid=160

MERAYAKAN SEBATAS KITA TANPA KATA


PEMENTASAN TEATER KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH   
Koran Haluan, Minggu, 20 November 2011
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar

Pada hari terakhir A Tribute to Wisran Hadi, Rabu (15/11) sorenya di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat tampil Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang memanggungkan naskah Sebatas Kita dengan sutradara Kurniasih Zaitun. Pada malamnya, di tempat yang sama tampil Teater Noktah Padang membawa Wanita Terarkhir sutradara Syuhendri.
Pementasan Sebatas Kita ini merupakan tafsir bebas sutradara Kurniasih Zaitun atas naskah Wisran Hadi berjudul Of the Record.

Galibnya sebuah tafsir terhadap teks naskah—konsekuensi yang paling dirasakan penonton adalah kesan dari “teks” dan simbolisasi di atas panggung. Sutradara punya otoritas terhadap tafsir teks. Pang­gung sebagai wilayah yang akan diisi dengan tafsir itu. Kemunculan simbol, tokoh yang tak memerlukan dialog, properti yang sangat fung­sional, tubuh sebagai rep­resentasi kon­flik, busana sebagai identitas kultural, dan sebagainya, sepanjang 70 menit, Komunitas Seni Hitam Putih memberi makna dan roh pada pentas, yang selama 3 hari diisi dengan hal-hal yang monoton.

Sutradara merambah pada wi­layah teks budaya Minang, se­bagaimana datuk adalah “ke­kua­saan” tertinggi dalam pe­sukuan di Minangkabau, meleleh dan cair ketika pada awalnya ia tanpa pakaian, lalu merampok pakaian kebesaran dan atribut datuk, dan menge­nakannya. Tapi pakaian datuk itu menyiksanya sehingga ia lepas lagi. Pesan ini membuka kemungkinan multitafsir bagi penonton yang paham tentang simbolisasi adat Minang.

Awalnya, Kurniasih Zaitun membuka panggung dengan me­ngahadirkan kursi kayu dan meja rotan di sudut kiri (depan). Sepetak ruang ganti, berisi tiga kamar kecil, dengan penutup kain putih, di bagian kanan (belakang) panggung. Ini mengingatkan saya kamar ganti di mal-mal. Melalui properti kursi, meja, dan ruang ganti inilah, para aktor melakukan aksi panggung yang diolah tanpa dialog ini.

Penanda dipapar bervariasi di atas panggung. Gerak dan simbol-simbol yang diciptakan atau tercipta sendiri, komunikatif. Aktor-aktor tak memerankan dirinya saja. Ia menjadi multifungsi dan memberi efek pada aktor-aktor lainnya. Gerak dan ketelanjangannya memberi dan menguatkan simbol lainya.

Seorang aktor hadir melalui gerakan dramatik di atas kursi kayu dengan lembaran-lembaran koran yang dibuka dengan cepat sebagai tanda kebosanannya. Ia muntah setiap halaman koran yang dibuka. Dalam wacana media massa, si aktor seakan menerima efek efektif (berhubungan dengan emosi, pe­rasaan, dan attitude [sikap]). Efek yang dalam pandangan Mc. Luhan, seorang pakar ‘efek komunikasi massa’, di mana seseorang (aktor-red) cenderung merima informasi dari apa yang dilaporkan media massa, efek dari sajian adegan kekerasan yang menimbulkan semacam kemuakan dan mengang­gap dunia ini sekan me­ngerikan.

Efek media massa ini terlihat sebentar pada pementasan. Berlanjut pada permainan beberapa orang aktor di bagian kamar ganti. Di sini terlihat penggambaran kritik atas kebebasan seksual yang diumbar-umbar. Berahi yang tak jelas juntrungannya dihadirkan melalui aksi dari dua orang aktor laki-laki yang (sepertinya) sedang melakukan hubungan intim di dalam sebuah ruangan, yang bisa jadi ruang ganti, atau kamar mandi.

Penggambaran wacana (homo) seksual tersebut terlihat hanya sebatas kaki aktor yang melakukan gerakan dari belakang kain tabir ruangan. Tapi, bisa jadi, penonton telah bisa menafirkan melalui kaki aktor yang tampak dan gerakan-gerakan dari balik belakang kain tabir.

Kehadiran ‘pakaian’ merupakan bagian yang paling inti dari pe­mentasan ini. Pakaian sebagai titik mula dari wacana ‘pencitraan’. Pada salah satu bagian muncul seorang perempuan yang membawa berbagai pakaian memalui sebuah gerobak, lantas pakaian tersebut digantung di tiga ruangan kamar ganti.

Pakaian tersebut terdiri dari pakaian kebesaran datuk, baju haji, seragam polisi, seragam tentara, pakaian wisuda (toga), dan pakaian prakter dokter. Pada bagian ini pementasan hadir melalui tari, di mana salah seorang aktor keluar dari dalam gerobak, lantas bergerak ke arah ruang ganti pakaian.

Saat si penari membuka tabir kain ruang ganti, terlihat para aktor dengan pakaian-pakaian tadi. Hadirlah seorang datuk, seorang pak haji, seorang polisi, seorang tentara, seorang dokter, dan seorang sarjana. Tapi orang-orang di balik pakaian tersebut hadir seperti sebuah manekin, bisa jadi robot, yang hanya kaku dan tidak melalukan gerakan.

Pertunjukan yang diperkaya dengan koreagrafi Ali Sukri ini memberi dampak yang kuat pada jalannya pementasan. Naskah Wisran Hadi yang selalu dipentaskan dengan sangat nyinyir oleh kelompok-kelompok teater sebelumnya, di tangan Tintun—begitu ia akrab dipanggil—dihantamnya. Tanpa kata sekalipun, apa yang ingin dicapai naskah Wisra Hadi, tercapai.

Sekelompok penari me­nang­galkan pakaiannya sampai yang tersisa hanya pakaian dalamnya. Saat bersamaan, muncul tokoh datuk dengan segenap atribut kebesarannya. Penari pun terkesima dan dengan gerakan yang sangat komunikatif, ia mempreteli pakaian sang datuk tanpa perlawanan. Datuk itu pun diganti pakaiannya dengan baju dan kopiah putih seorang haji.

Lantas si penari mulai me­lakukan gerakan-gerakan tarian yang seolah-oelah menggugat ke­kuasaan datuk yang seolah hadir hanya melalui pakaian besarnya. Gugatan-gugatan ini ditonjolkan si penari seketika ia memakai pakaian ke­besaran datuk. Tafsir datuk seakan hanya seorang yang dihadiahi pakaian, lantas punya kuasa atas keputusan terhadap kemenakannya, punya kuasa atas hak putus tanah ulayat, atau pemberian gelar pada seseorang. Dan sang penari terlihat gerah ketika memakai pakaian datuk tersebut, ia tanggalkan satu persatu, ia buang di atas panggung.Hal yang sama juga dilakukan dengan simbol kuasa lainnya, seperti polisi dan tentara, haji, serta pakaian wisuda sarjana.

Kaum Nudism
Konsep pakaian sebagai penanda dan identitas dihadirkan melalui pemberontakan atas ‘pakaian’ sebagai harkat, martabat, status sosial. Penolakan-penolakan ini meng­gambarkan kesepakatan kaum nudism. Kaum yang mengganggap pakaian telah mencipatakan ko­munikasi personal seseorang men­jadi terhambat, kaum yang menganggap pakaian telah meninggalkan pe­maknaan hakiki dari kebudayaan manusia itu sendiri, kaum yang menganggap ’ketelanjangan’ kembali ke hal yang harfiah dari manusia. Dalam pandangan nudism, ketika melepaskan baju, manusia men­ciptakan pembenaran sendiri yang mengaitkan seksualitas, pornografi.

Minimalis Kata
Wacana-wacana di atas panggung selama pertunjukan memang hadir dengan dialog yang minim. Meski pada suatu bagian ada suara ter­dengar mengucapkan huruf vokal “a-i-u-e-o” dan “kabau”. Musik pun mengiringi lajunya pertunjukan dan menghadirkan degradasi pada suasana. Musik seolah me­nghi­dupkan setiap tafsir yang dibangung di atas panggung.

Kurniasih Zaitun mengatakan, pementasan tersebut merupakan tafsirnya utuhnya terhadap karya Wisran Hadi. “Naskah berjudul Of the Record, dalam tanda kurung Sebatas Kita. Dan saya membaliknya menjadi Sebatas Kita tapi dalam kurung Of the Record,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa memang dalam teks naskah Wisran Hadi tersebut memang hanya ada peristiwa tematik tanpa dialog. “Di dalam naskah ada beberapa tematik tentang kebudayaan, kekuasaan, hukum, tradisi, keadilan. Dan dengan naskah yang tanpa dialog ini, saya leluasa dengan konsep teater tubuh yang saya dalami sejauh ini,” tambahnya.

Ia pun mengungkapkan, dirinya secara penuh bersetia pada tematik yang dihadirkan dalam naskah Wisran Hadi. “Akan tetapi dalam konsep pemanggungan, suasananya jauh dari naskah tersebut, dengan penghadiran pakaian yang berbeda,” jelas Tintun lagi.

Dan dalam anggapannya, tafsir ‘ke-kini-an’ terhadap naskah Wisran Hadi melalui pementasan “Sebatas Kita” menandakan naskah tersebut relevan dengan wacana kekinian yang hadir dalam persoalan masya­rakat. “Dalam naskah tidak di­sebutkan jelas tentang per­seling­kuhan, homo seksual, dan lainnya. Tapi hal tersebut ada, dan saya mengkaji ulangnya,” kata Tintun.

Tubuh yang Menguat
Satu gerak dalam panggung teater merepresentasikan sekian makna. Gerak dan laku diperhitungkan efektifitasnya. Sutradara Sebatas Kita tampaknya memperhitungkan ini.
Jika diurut ke belakang, selama ini, Komunitas Seni Hitam Putih yang didirikan pada 1996 selalu ketat dengan konsep eksploratif dan semiotif visual siapa pun sutra­daranya.  Jika mau diban­dingkan, garapan terakhir Yusril Katil, pendiri  Komunitas Seni Hitam Putih ini, yaitu Orang-orang Bawah Tanah, sepertinya itu bukan identitas kelompok ini sesungguhnya.

Sore itu panggung Sebatas Kita memang memberi pembedaan tegas terhadap tujuh pertunjukan dalam rangka Parade Naskah Wisran Hadi yang telah digelar sejak 12 Novem­ber.

Jika tujuh kelompok sebelumnya sore dan malam panggung dipenuhi dengan kata-kata, gerak-gerak yang tak bermakna, miskin simbol, dan sangat melelahkan mendengar dialog aktor yang belepotan dengan intonasi yang datar dan merata.

Sore itu, semua terbalik. Tak ada lagi kita mendengar orang-orang marah di atas panggung. Tubuh mela­hirkan dialog. Gerak memunculkan simbol dan komunikasi yang nyaris sangat “nyambung” dengan penon­ton. Mengintegrasikan koreografi memang memperkuat semiotif visualnya. Kendati, beberapa gerakan dibuat berlama-lama, padahal pesan yang disampaikan telah dipahami. Tapi ini adalah salah satu perjalanan teater Sumatera Barat, yang beda dengan yang lain: jauh dari ke­cengengan.

Web. http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10311:merayakan-sebatas-kita-tanpa-kata&catid=46:panggung&Itemid=160 


Minggu, November 13, 2011