Minggu, November 20, 2011

DARI MATRILINI HINGGA WANITA TERAKHIR

Catatan Festival Teater Naskah-naskah Wisran Hadi 2011 

Oleh: Afrizal Harun
Koran Padang Ekspres, Minggu 20 November 2011

Festival Teater 2011 dengan sembilan karya naskah drama Wisran Hadi (alm) yang dilaksanakan pada tanggal 12-16 November 2011 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat sebagai bentuk in memoriam dan a tribute to Wisran Hadi telah usai. Tinggal segudang cerita, dokumentasi foto, dokumentasi audio-visual, poster, baliho, liflet, dan beberapa kritik media massa (koran) mengenai pertunjukan sebagai arsip otentik sehingga dapat menjadi rujukan dalam memahami visualisasi karya-karya besar naskah drama Wisran Hadi. 

Iven Festival Teater 2011 diikuti oleh sutradara dengan membawa nama komunitas atau kelompok teater independen yang terdapat di kota Padang dan Padangpanjang seperti Enrico Alamo dan Vanny Dila Sari (teater Sakata-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Dr. Anda, Muslim Noer (teater Camus-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Malin Kundang, Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Pulau Puti, S Metron (Ranah Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Uji Coba, Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Kemerdekaan, Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul off the Record-Sebatas kita, dan Syuhendri (KSST Noktah-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Wanita Terakhir (Puti Bungsu).

Selama lima hari berturut-turut menyaksikan seluruh pertunjukan teater di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, saya menilai bahwa aktivitas berteater yang selama ini terlelap dalam etalase-etalase egosentrisme, tersentak bangun dan harus bergegas dalam waktu yang singkat untuk mempresentasikan kerja artistik dan estetik teater dihadapan publik penonton yang mayoritas adalah pelajar, mahasiswa, seniman, budayawan dan masyarakat secara umum, saya sangat terkesan akan hal itu. Muncul respons positif dalam penyelenggaraan iven ini. Dari tanggal 12 sampai dengan tanggal 16 November 2011, Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat dipenuhi oleh penonton teater, sehingga secara tidak langsung tercipta sebuah kesadaran bahwa menonton teater itu menjadi penting, terciptanya interaksi melalui pertemuan yang dialektis selama kegiatan berlangsung. iven ini juga mampu mempertemukan para seniman teater Sumatera Barat sehingga terbangun ruang untuk berdiskusi, share pengalaman berproses teater, khususnya dalam mempersiapkan pertunjukan naskah-naskah drama karya Wisran Hadi.

Membaca Hafalan Teks
Berkaitan dengan karya-karya teater yang ditampilkan, saya melihat ada kecenderungan sutradara dalam merekonstruksi naskah drama Wisran Hadi melalui strategi visual (mise en scene), elemen spektakel pertunjukan seperti dialog aktor-aktris, setting, properti, pencahayaan, rias dan kostum. Kecenderungan ini menurut hemat saya hanyalah satu keinginan sutradara untuk mencermati naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan gaya bahasa puitis, tema naskah drama yang kental dengan idiom-idiom lokal Minangkabau, sehingga masing-masing sutradara merasa memiliki ‘kemerdekaan’ dalam menafsirkan naskah drama Wisran Hadi dalam perspektif pemanggungan yang berbeda-beda, namun menarik untuk diapresiasi.

Hal penting yang barangkali belum menjadi perhatian beberapa sutradara dalam menggarap naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan kekuatan bahasa (dialog antar tokoh) adalah pendalaman terhadap analisis teks sehingga terkesan bahwa proses yang dilakukan lebih mengedepankan aspek bentuk semata. Aktor-aktris cenderung mengucapkan dialog dengan gaya deklamasi dan selalu menghantarkan dialog tersebut kepada penonton, justru yang terjadi adalah situasi yang berjarak antara peristiwa dengan peran tokoh yang sedang dimainkan. Dialog-dialog yang diucapkan bukan berdasarkan pada pemahaman terhadap teks dan motivasi peran namun yang terlihat adalah membaca hafalan naskah dihadapan penonton. Ditambah dengan aspek teknis pencahayaan panggung dan pemanfaatan teknologi (LCD Projector) yang tidak tergarap dengan baik, justru sangat mengganggu peristiwa pertunjukan yang sedang berlangsung.
Situasi ini begitu terasa ketika saya menyaksikan pertunjukan Dr. Anda sutradara Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang), Matrilini sutradara Muslim Noer (teater Camus-Padang), Pulau Puti sutradara Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) dan Malin Kundang sutradara Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang). Kalau seandainya para aktor-aktris bermain secara wajar tanpa harus distilir sedemikian rupa maka jelas akan tercipta interaksi sesama pemain yang tidak artifisial, justru akan mempertegas suasana tokoh yang sedang diperankan oleh aktor-aktris. Ada kesadaran untuk menjaga irama permainan secara wajar, sehingga penonton dapat merasakan daya empati pertunjukan melalui suasana psikologis yang tidak dibuat-buat. 

Wanita Terakhir sutradara Syuhendri (KSST Noktah-Padang) dan Uji Coba sutradara S Metron (Ranah Teater-Padang) seperti berada pada titik jenuh dalam mengolah dialog-dialog secara wajar sehingga muncul kecenderungan untuk mengeksplorasi tubuh, setting, properti sembari mengucapkan dialog-dialog. Sutradara terjebak pada memberi beban makna, pemanfaatan simbol-simbol visual dan koreografi tanpa memperhatikan kekuatan kata-kata dalam naskah Wisran Hadi sehingga pertunjukan terasa kehilangan chemistry, lambat, menoton dan eksperimen yang dilakukan sutradara terlihat tanggung (kurang total). Justru akan lebih menarik apabila sutradara memiliki keberanian untuk mendekonstruksi naskah dan mengambil bagian-bagian yang dirasa penting untuk kebutuhan eksplorasi melalui proses elaborasi yang murni berakar pada bahasa tubuh aktor-aktris. 

Matrilini sutradara Vanny Dila Sari dan Enrico Alamo (teater Sakata-Padangpanjang) mengingatkan saya ketika menonton Ah, Matjam-matjam Maoenja saduran dari naskah asli berjudul Les Precieuses Ridicules karya Jean Baptiste Poquelin (Moliere) produksi Studiklub Teater Bandung (STB) di Teater Arena Jawa Tengah 14 Juni 2010 melalui spirit gaya Komedie Stamboel. Asumsi saya ketika menyaksikan pertunjukan Matrilini adalah sutradara juga  terinspirasi pada spirit Komedie Stamboel dalam mewujudkan naskah drama Matrilini karya Wisran Hadi. Pertunjukan Matrilini yang sarat dengan aspek musikal, tarian, stilisisasi gestur tubuh yang parodi dan komikal sedikit membuat penonton tertawa namun bukan pada kecerdasan suasana dialog-dialog yang diucapkan oleh aktor-aktris tetapi justru karena ‘lucu’ yang diekspresikan secara fisikal (gaya banci, ekspresi dan gestur yang didramatisir, dan tarian yang dipaksa harus terlihat ‘lucu’). Ke’lucu’an yang dibangun akhirnya kehilangan kontrol, justru mengganggu irama pertunjukan.
Gaya yang berbeda juga terlihat dalam pertunjukan Kemerdekaan sutradara Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang). Penonton digiring pada suasana masa lalu ketika Indonesia dijajah bangsa kolonialis. Dalam frame drama ‘ala’ perjuangan untuk memperingati ‘kemerdekaan’, pertunjukan ini menghadirkan beberapa audio orasi-orasi, irama lagu perjuangan. Sutradara memberikan nuansa yang khas Aceh dalam pertunjukan Kemerdekaan, hal ini ditandai dengan adanya properti rencong, ikat kepala dan kesenian Didong. Irama nyanyian, tarian, musik dengan syair yang berbunyi “amanlah, aman duniaku, aman tak pernah hancur” (dinyanyikan oleh sembilan orang pemain Didong) tampil memukau. Namun, saya menilai terdapat tafsir yang keliru dalam memahami naskah Kemerdekaan karya Wisran Hadi. Hal ini tercermin dari pemahaman sutradara dalam memandang kata ‘kemerdekaan’ sebagai produk masa lalu di era kolonialisme. Dua orang tokoh yang berada di suatu lembah dalam hutan kering. Dua orang tokoh seperti mengalami gejala traumatik, depresi, sehingga takut memperlihatkan ekspresi wajah karena rambut terlalu mendominasi muka mereka. Analisa teks yang kurang dielaborasi secara mendalam menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ tidak dipahami sebagai konsep filosofi yang esensial dalam kehidupan manusia. Kemerdekaan idealnya menjadi konsep berfikir dan bertindak yang universal tentang hak untuk mengendalikan diri sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain. Kegagalan interpretasi ini menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ dipandang terbebas dari belenggu penjajah semata sehingga aktor-aktris mencoba mengimajinasikan memori ‘kemerdekaan’ di masa lalu seperti apa, bukan ‘kemerdekaan’ yang bersifat filosofis. Kegagalan dalam menginterpretasi, akhirnya aktor-aktris menjadi cepat dalam berkata-kata, tidak jelas apa yang sedang mereka perdebatkan, hanya kemarahan-kemarahan yang tidak jelas apa maksud dan tujuannya. 

Off the Record-Sebatas kita sutradara Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah Wisran Hadi yang hanya berisi petunjuk adegan berbasiskan pada gerak-gerak pantomim. Namun secara penggarapan, pertunjukan Off the Record-Sebatas kita memasukkan instrumen lokal Minangkabau melalui gerak tari seperti silat dan Ulu Ambek. Kecenderungan untuk mengejar aspek bentuk mengakibatkan pertunjukan Off the Record-Sebatas kita terkesan seperti demonstrasi tubuh yang datang dan pergi begitu saja, belum mengarah pada pendalaman makna sehingga aktor terjebak pada gerak-gerak yang artifisial. Tema tentang kemuliaan, kekuasaan, kesenian dan perselingkuhan seyogianya mampu bersinergi satu sama lain, pertanyaan yang muncul adalah dunia seperti apa yang ingin dibangun oleh sutradara melalui aktor-aktris di atas panggung?. Aspek teknis seperti musik yang diharapkan dapat membantu atmosfer pertunjukan, justru terasa mendominasi pada setiap adegan dari awal sampai akhir, musik seolah-olah hanya menempel dan tidak menyatu dengan peristiwa yang sedang ditampilkan di atas panggung. *Salam Teater*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar