Minggu, Juni 19, 2011

an Experience: Identitas Tubuh-Tubuh dan Pendistorsian Makna

Diterbitkan, koran HALUAN-SUMTERA BARAT, Minggu 19 Juni 2011


Oleh: Afrizal Harun

“Perjalanan tubuh memasuki ruang-ruang gerak dari atmosfir tari yang terus menerus bergerak seperti detak waktu melesat tanpa jeda atau perlahan seperti diam. Perjalanan tubuh pada distorsi ruang-ruang. Pada keringat penari, pada tegur sapa, mata, telinga dan hati. Proses menemukan keindahan, pergulatan keyakinan mengarungi kesederhanaan tubuh-tubuh yang bertemu, hingga pada akhirnya kosong. an Experience adalah kekosongan itu, perjalanan menjadi sunyi diriuh keramaian. Sebuah pengalaman tubuh yang penuh makna yang terus menerus harus dimaknai dan diamini dari tradisi tubuh dengan fenomena gerak yang berkembang”.
Sinopsis Tari an Experience, koreografer Tyaz De Nio

Cahaya Panggung dan penonton dibuat remang, tubuh keseharian melintas menuju ruang silih berganti, tak ada kebisingan yang ingin memekakkan selaput gendang telinga, hanya bisik-bisik sepertinya ingin bertanya tentang apa, siapa, di mana mungkin saja entah. Tubuh-tubuh mencari kursinya sendiri-sendiri, berdua atau bahkan berlima, tubuh-tubuh terlihat berjejer atau bahkan bersendiri menuju tepi, ia tidak ingin adanya relasi karena tubuh ini ingin menyendiri. Tubuh-tubuh yang lain terlihat hening seraya menatap sepi walaupun terkadang iapun mencoba menyapa tubuhnya sendiri atau bahkan menyapa tubuh-tubuh yang berada di sisi, tetapi entah tubuh siapa? Walaupun terkadang ia ingat, tetapi entah di mana? Ia tidak lagi melanjutkan interaksi ini karena mata telah tertuju pada titik tubuh-tubuh lain yang terlihat diam di tengah panggung. Tubuh mulai teralienasi, ruang telah dipenuhi oleh tubuh-tubuh yang tidak diketahui identitasnya apa, siapa dan di mana. Tubuh-tubuh telah menjadi pemaknaan yang metafor, karena ia memiliki dimensi yang multitafsir. Hanya beberapa tubuh-tubuh yang saling mengenal satu sama lain mencoba memperlihatkan daya ekspresi, pergulatan gestur, tipikal keseharian yang sering mereka lakukan tatkala sedang berinteraksi. Begitulah, ketika mata menyaksikan peristiwa tubuh di luar dirinya, ia melahirkan berbagai macam penafsiran, interpretasi, dan imajinasi. Sebelum pertunjukan dimulai, sepasang mata ini tetap saja terus memperhatikan tipikal tubuh-tubuh yang berada di luar dirinya. 

Tepat di tengah panggung yang sedikit gelap, mata dihadapkan pada situasi tubuh-tubuh yang statis, tubuh yang diam barangkali saja memiliki makna, namun saya tidak ingin mencari maknanya apa. Hanya menguras pikiran saja. Anggap saja, diam itu juga memiliki makna. Tidak berapa lama, seorang penari perempuan muncul dari wing kanan bagian belakang menuju wing kiri dibantu dengan pencahayaan spotlight. Ia bergerak mengikuti ritme dan irama tubuhnya. Ketika dipaksa untuk menelusuri lorong waktu yang panjang dan sepi, terkadang tubuhnya menolak, tubuhnya ingin kembali pada tempat semula ketika ia tidak ingin pergi, pola gestur dan teknik tubuh merepresentasikan penolakan tersebut. Walaupun terkadang elemen tubuh yang lain justru ingin menuju lorong waktu tersebut, tubuhnya mengalami perdebatan, tubuhnya kehilangan kesepakatan, tubuhnya telah terdistorsi, sampai pada akhirnya tetap ada yang harus dikalahkan. Akhirnya perempuan itu menembus lorong waktu menuju entah, tetapi untuk apa?.
Sesaat, terasa senyap. Lampu wing kanan bagian belakang-pun dimatikan. Tubuh-tubuh ditengah panggung masih saja diam dan statis. Kemudian satu persatu, tubuh mereka mulai menampakkan reaksinya. Layaknya sebuah proses metamorfosa masing-masing komponen tubuh-tubuh mereka mulai digerakkan dan bermetamorfosis. Ada yang memulainya dengan cara menggeliat, menggerakkan jemari, menggerakan kaki, dan juga ada yang memulainya dengan menggerakkan kepala secara perlahan. Layaknya sebuah proses kelahiran, tubuh-tubuh mulai mencari identitasnya masing-masing.

Tubuh-tubuh terkadang mencari identitasnya sendiri-sendiri, terkadang rampak, berputar, berguling, berdiri, terjatuh, berjalan, berlari, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Gerak tubuh yang energik, tubuh yang akrobatik, tubuh yang teatrikal, pola lantai yang tertata dengan rapih layaknya ilmu koreografi yang memang sudah dipahami namun tetap saja terlihat sebuah tatapan yang kosong, tanpa ekspresi, datar (flat), sehingga sempat terfikir apakah ini identitas yang sedang mereka cari?. Pencahayaan terlihat rapih dalam menyikapi warna dan garis cahaya, transisi-transisi peristiwa tubuh yang berkorelasi dengan pencahayaan panggung menunjukkan adanya benang merah yang muncul secara konseptual. Tubuh-tubuh bergerak menuju titik cahaya, terkadang tubuh-tubuh juga kehilangan titik cahayanya sendiri. Pada saat tertentu musik terasa memberikan kekuatan terhadap gestikulasi tubuh, irama dan ritme tubuh. Penataan musik dalam karya tari ini terkadang memiliki posisi sebagai ilustrasi musik, namun dalam posisi yang lain tubuh-tubuhpun disetrum oleh berbagai efek bunyi dan vokal pemusik. Kehadiran pencahayaan panggung dan musik terasa mempertegas kekuatan dari karya ini. 

Tubuh-tubuh senantiasa terus bergerak. Tubuh-tubuh yang memiliki jenis kelamin ini (tiga perempuan dan satu laki-laki), mulai gelisah dan ingin pergi. Mereka menatap ke segala arah, ke mana ia akan pergi. Akhirnyal, tubuh-tubuh perempuan pergi menuju entah, mungkin saja kosong. Tinggal tubuh laki-laki yang berada pada titik cahaya, ia dipenjara oleh cahaya, ia tidak bisa lagi bergerak secara merdeka, tubuh laki-laki itu bergerak layaknya sebuah prosesi menuju kematian, ia bergerak dengan pendistorsian tubuh yang pada akhirnya terlihat mengecil, mengecil, dan mengecil. Lelaki itu melakukan gerakan-gerakan kecil, cahaya berusaha mengikuti irama gerakan tubuh tersebut, sampai pada akhirnya lampu fade out. 

Begitulah gambaran struktur puitik dari pertunjukan tari berjudul an Experience, koreografer Tyaz De Nio pada hari Rabu, tanggal 15 Juni 2011 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta pukul 20.00 Wib. Karya tari ini didukung oleh para penari yaitu Tyaz De Nio, Retno ‘Eno’ Sulistyorini, Astri Kusuma Wardani, Dewi Galuh Sintosari dan Danang Pamungkas. Penata Cahaya Tria Vita, Penata Musik Rudy Sulistanto dengan pemusik Rudy Sulistanto, Misbach Bilok dan Alam Wardhana.

Tubuh Personal-Publik, Tubuh yang mencari hakekat tentang ‘ada’
Epistimologi Pendistorsian Tubuh yang Estetis

Fenomena tubuh sebagai simbol personal atau simbol yang bersifat publik telah menjadi diskursus dalam kebudayaan di Eropa selama hampir ratusan tahun. Diskursus tentang tubuh ini merupakan suatu proses interpretasi terhadap objek material tubuh dan mencari pemaknaan terhadap hakekat tentang ‘ada’. Tubuh merupakan sebuah organisme fisik manusia yang memiliki aspek ‘antropologi biologis’. Nietzsche mengungkap persoalan tubuh dalam perspektif ‘ada’ (eksistensialisme) dengan menjelaskan bahwa “tubuh adalah kita sendiri”.
Gading J Sainipar mengutip pemikiran Louis Leahy menjelaskan bahwa keberadaan tubuh merupakan sebuah refleksi pada kenyataan keberadaan manusia. Manusia ‘ada’ dan menjadi ‘ada’, dalam arti tertentu menunjukkan manusia pernah ‘tidak ada’. Hal dibutuhkan sebuh kesadaran, bahwa ketika manusia sadar akan keberadaan dirinya, ia semakin mampu menjadi penanggung jawab atas gerakan dan proses yang menempatkannya dalam kenyataan hidup.
Tubuh abad 21 berada pada mekanisme virtualitas, individualistis, dunia imajinasi, realitas kongkrit yang kehilangan batas pemisah dan cenderung paradoks. Fenomena tubuh telah menjadi mainstream ideologi kapitalisme yang diwujudkan melalui ruang-ruang teknologi, industri, komunikasi, manusia urban, lifestyle, konsumeristik, dan lain-lain. Tubuh telah kehilangan identitas kultural karena begitu banyak ia mengadopsi fenomena tubuh impor. Prinsip keterasingan yang dialami oleh tubuh kultural ini, mengakibatkan muncul berbagai bentuk pendistorsian tubuh secara estetis. Suatu hal yang terlihat janggal, namun begitulah hegemoni estetika tubuh barat yang mengalami proses pendistorsian terhadap tubuh-tubuh kultural masyarakat Indonesia hari ini. Pada prinsipnya, tubuh terus mengalami pergulatan makna untuk menemukan hakekat tentang ‘ada’, ia terus bergerak menuju ruang sempit, lorong gelap, berputar pada detak waktu secara dialektis. Walaupun hakekat ‘ada’ yang sebenarnya ingin dicapai adalah ‘kosong’. 

Suatu pergulatan kreatif yang dilakukan oleh Tyaz De Nio dalam karya tari berjudul an Experience, sehingga karya ini memiliki pergulatan penafsiran simbolik yang arbitrer. Tidak ada ketentuan baku dalam menemukan apa yang ingin disampaikan oleh karya ini, walaupun pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Tyaz De Nio merupakan sebuah pengalaman estetika personal yang selama ini terpendam. Sebagai penari dan koreografer, ia sering terlibat sebagai penari dengan tokoh tari terkenal seperti Sardono W Kusumo, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar