Sabtu, Oktober 26, 2013

PEMENTASAN 'TANGGA' SUTRADARA YUSRIL KATHIEL

SAKSIKAN!
Teater dengan judul 'TANGGA' sutradara Yusril, produksi komunitas seni HITAM-PUTIH Padangpanjang-Sumatera Barat sebagai salah satu peserta pertunjukan dalam Indonesia Performing Arts Market (IPAM) tanggal 15 November 2013 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pukul 20.00 WIB.

Jumat, Maret 23, 2012

WORLD THEATRE DAY 2012- PANGGUNG PUBLIK SUMATERA


Tema: “Menjamu Penonton di Ruang Publik”
Senin-Selasa/26-27 Maret 2012
Tempat: Pasar Padangpanjang, Gedung. M. Syafei dan Bukit Tui Padangpanjang-Sumatera Barat

Pertumbuhan teater di Sumatera Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya dalama lima tahun terakhir tidak lepas dari sumbangsih kelompok maupun seniman yang berdomisili di Padangpanjang. Kelompok maupun seniman teater ini telah ikut mengharumkan nama perteateran nasional. Sayangnya untuk kota Padangpanjang sendiri keberadaan mereka belum terasa ‘akrab’ di masyarakat. Untuk itulah dalam satu diskusi antara sutradara teater dan seniman bersepakat kerja bersama mengenalkan teater baik secara bentuk, genre, style teater maupun senimannya kehadapan masyarakat (publik) di Padangpanjang.

Pertemuan sesama penggiat teater telah dilakukan di sekretariat Teater Sakata Padangpanjang, Jl. Soekarno - Hatta No. 62 Bukit Surungan, Padangpanjang pada tanggal, 29 Desember 2011 dan 4 Januari 2012 yang dihadiri oleh Komunitas Seni Hitam Putih, Komunitas Seni Kuflet, Teater Plong, Sembilan Ruang, Kelompok Pematang, Katatari, Batahimimetheatre dan Teater Sakata sebagai tuan rumah. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan antara lain: setiap kelompok mengirimkan utusannya untuk duduk di kepanitiaan dan memiliki tanggung jawab untuk mensukseskkan kegiatan yang sedang dirancang.

Kegiatan yang dianggap cocok untuk melaksanakan iven ini adalah Hari Peringatan Teater Sedunia (WORLD THEATRE DAY) yang jatuh pada tanggal, 27 Maret 2012, yang kemudian diberi tema “Menjamu Penonton diruang Publik” dengan judul publikasi “Panggung Publik Sumatera”. Lokasi acara yang direncanakan adalah: tambang perkapuran Bukit Tui (Bancalaweh) dan Pasar Padangpanjang.

Kemudian pertunjukan yang akan ditampilkan adalah: Monolog, Mime, Teater Modern, Teater Tradisi, dan Teater Kontemporer. Selanjutnya acara dilanjutkan oleh sarasehan teater dengan mengundang pembicara: Halim HD (pengamat teater nasional) Solo dan Yusrizal KW (kritikus teater-wartawan budaya Padang Ekspres).

Harapannya dari kegiatan ini masyarakat Padangpanjang dapat mengenal lebih jauh pentas seni teater baik secara bentuk maupun senimannya sebagai ruang silaturahmi sehingga perkembangan teater di kota Padangpanjang menjadi basis kekuatan teater di Sumatera.


RUN DOWN WORLD THEATRE DAY 2012
PANGGUNG PUBLIK SUMATERA
“Menjamu Penonton di Ruang Publik”


SENIN, 26 MARET 2012


1. Teater Tutur dengan judul ‘MALIN KUNDANG’. Aktor: Lee Production
(Pukul 13.30 wib-14.00 wib di Pasar padangpanjang)

2. Teater Tutur dengan judul 'TUPAI JANJANG'. Aktor : Fuji El Ikhsan
(Pukul 14.00 wib-15.00 wib di Pasar padangpanjang)

3. komunitas seni HITAM-PUTIH dengan pertunjukan berjudul "ORANG-ORANG BAWAH TANAH" karya Wisran Hadi-sutradara Yusril
(Pukul 13.00 wib-16.00 wib di Lapangan Voli KORAMIL Padangpanjang)

4. Teater Sakata dengan pertunjukan berjudul 'DONGENG MANDE DARI BUKIT TUI' karya-sutradara Tya Setiawati
(Pukul 16.30 wib-17.30 wib di Bukit Tui Padangpanjang)

5. Monolog dengan judul 'COMPLICATED' karya Yusril-sutradara Kurniasih Zaitun. Aktor :Edi Satria Mak Itam
(Pukul 16.30 wib-17.30 wib di Pasar Padangpanjang)

6. Naskah Monolog dengan judul 'CERAMAH ILMIAH Dr. ANDA' karya Wisran Hadi-sutradara Deri Shukaik. Aktris : Rakena Anjani Amak
(Pukul 20.00 wib-21.30 wib di Pasar Padangpanjang)

7. komunitas Sambilan Ruang dengan pertunjukan berjudul "MATAHARI DISEBUAH JALAN KECIL" karya Arifin C Noer-sutradara Fitri Noveri
(Pukul 20.00 wib-21.30 wib di Pasar Sayur Padangpanjang)

8. komunitas BATAHI MIME THEATRE dengan pertunjukan berjudul 'BATU' karya-sutradara Muhammad Hibban Mauludi Hasibuan
(Pukul 21.30 wib-22.30 wib di Pasar Sayur Padangpanjang)


SELASA, 27 MARET 2012

1. Arak-arakan
(Pukul 10.00 wib-10.30 wib, Bukit Surungan-Pasar Padangpanjang)

2. Pembukaan
(Pukul 10.30 wib-11.20 wib di Pasar Padangpanjang)

3. Baca Puisi, Happening Art
(Pukul 10.40 wib-12.00 wib di Pasar Padangpanjang)

4. Grup KUCIANG TUO dengan pertunjukan teater rakyat Minangkabau berjudul ‘SI TUPAI JANJANG’, sutradara Edi Satria Mak Itam
(Pukul 11.20 wib-12.00 wib di Pasar Padangpanjang)

5. Monolog dengan judul 'KORUPTOR BUDIMAN' karya NN. Aktor : Andi Jagger
(Pukul 14.00 wib-15.30 wib di Pasar Padangpanjang)

6. Pembukaan Sarasehan
Oleh Wakil Walikota Padangpanjang (Ir. H.Edwin, Sp)
(Pukul 16.00 wib-16.15 wib di Gedung M. Syafe’i Padangpanjang)

7. Sarasehan Teater bersama Halim HD (Kritikus Teater, Networker Kebudayaan) dan Yusrizal KW (Kritikus Teater, Sastrawan, Budayawan)
(Pukul 16.15 wib-18.00 wib di Gedung M. Syafe’i Padangpanjang)



PANITIA
PANGGUNG PUBLIK SUMATERA 2012

Minggu, November 20, 2011

DARI MATRILINI HINGGA WANITA TERAKHIR

Catatan Festival Teater Naskah-naskah Wisran Hadi 2011 

Oleh: Afrizal Harun
Koran Padang Ekspres, Minggu 20 November 2011

Festival Teater 2011 dengan sembilan karya naskah drama Wisran Hadi (alm) yang dilaksanakan pada tanggal 12-16 November 2011 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat sebagai bentuk in memoriam dan a tribute to Wisran Hadi telah usai. Tinggal segudang cerita, dokumentasi foto, dokumentasi audio-visual, poster, baliho, liflet, dan beberapa kritik media massa (koran) mengenai pertunjukan sebagai arsip otentik sehingga dapat menjadi rujukan dalam memahami visualisasi karya-karya besar naskah drama Wisran Hadi. 

Iven Festival Teater 2011 diikuti oleh sutradara dengan membawa nama komunitas atau kelompok teater independen yang terdapat di kota Padang dan Padangpanjang seperti Enrico Alamo dan Vanny Dila Sari (teater Sakata-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Dr. Anda, Muslim Noer (teater Camus-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Matrilini, Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Malin Kundang, Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Pulau Puti, S Metron (Ranah Teater-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Uji Coba, Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul Kemerdekaan, Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah drama berjudul off the Record-Sebatas kita, dan Syuhendri (KSST Noktah-Padang) menampilkan naskah drama berjudul Wanita Terakhir (Puti Bungsu).

Selama lima hari berturut-turut menyaksikan seluruh pertunjukan teater di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, saya menilai bahwa aktivitas berteater yang selama ini terlelap dalam etalase-etalase egosentrisme, tersentak bangun dan harus bergegas dalam waktu yang singkat untuk mempresentasikan kerja artistik dan estetik teater dihadapan publik penonton yang mayoritas adalah pelajar, mahasiswa, seniman, budayawan dan masyarakat secara umum, saya sangat terkesan akan hal itu. Muncul respons positif dalam penyelenggaraan iven ini. Dari tanggal 12 sampai dengan tanggal 16 November 2011, Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat dipenuhi oleh penonton teater, sehingga secara tidak langsung tercipta sebuah kesadaran bahwa menonton teater itu menjadi penting, terciptanya interaksi melalui pertemuan yang dialektis selama kegiatan berlangsung. iven ini juga mampu mempertemukan para seniman teater Sumatera Barat sehingga terbangun ruang untuk berdiskusi, share pengalaman berproses teater, khususnya dalam mempersiapkan pertunjukan naskah-naskah drama karya Wisran Hadi.

Membaca Hafalan Teks
Berkaitan dengan karya-karya teater yang ditampilkan, saya melihat ada kecenderungan sutradara dalam merekonstruksi naskah drama Wisran Hadi melalui strategi visual (mise en scene), elemen spektakel pertunjukan seperti dialog aktor-aktris, setting, properti, pencahayaan, rias dan kostum. Kecenderungan ini menurut hemat saya hanyalah satu keinginan sutradara untuk mencermati naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan gaya bahasa puitis, tema naskah drama yang kental dengan idiom-idiom lokal Minangkabau, sehingga masing-masing sutradara merasa memiliki ‘kemerdekaan’ dalam menafsirkan naskah drama Wisran Hadi dalam perspektif pemanggungan yang berbeda-beda, namun menarik untuk diapresiasi.

Hal penting yang barangkali belum menjadi perhatian beberapa sutradara dalam menggarap naskah drama Wisran Hadi yang sarat dengan kekuatan bahasa (dialog antar tokoh) adalah pendalaman terhadap analisis teks sehingga terkesan bahwa proses yang dilakukan lebih mengedepankan aspek bentuk semata. Aktor-aktris cenderung mengucapkan dialog dengan gaya deklamasi dan selalu menghantarkan dialog tersebut kepada penonton, justru yang terjadi adalah situasi yang berjarak antara peristiwa dengan peran tokoh yang sedang dimainkan. Dialog-dialog yang diucapkan bukan berdasarkan pada pemahaman terhadap teks dan motivasi peran namun yang terlihat adalah membaca hafalan naskah dihadapan penonton. Ditambah dengan aspek teknis pencahayaan panggung dan pemanfaatan teknologi (LCD Projector) yang tidak tergarap dengan baik, justru sangat mengganggu peristiwa pertunjukan yang sedang berlangsung.
Situasi ini begitu terasa ketika saya menyaksikan pertunjukan Dr. Anda sutradara Armeynd Sufhasril dan Anita Dikarina (Gaung Ekspose-Padang), Matrilini sutradara Muslim Noer (teater Camus-Padang), Pulau Puti sutradara Rizal Tanjung (Old Track Teater-Padang) dan Malin Kundang sutradara Muhammad Ibrahim Ilyas (teater Imaji-Padang). Kalau seandainya para aktor-aktris bermain secara wajar tanpa harus distilir sedemikian rupa maka jelas akan tercipta interaksi sesama pemain yang tidak artifisial, justru akan mempertegas suasana tokoh yang sedang diperankan oleh aktor-aktris. Ada kesadaran untuk menjaga irama permainan secara wajar, sehingga penonton dapat merasakan daya empati pertunjukan melalui suasana psikologis yang tidak dibuat-buat. 

Wanita Terakhir sutradara Syuhendri (KSST Noktah-Padang) dan Uji Coba sutradara S Metron (Ranah Teater-Padang) seperti berada pada titik jenuh dalam mengolah dialog-dialog secara wajar sehingga muncul kecenderungan untuk mengeksplorasi tubuh, setting, properti sembari mengucapkan dialog-dialog. Sutradara terjebak pada memberi beban makna, pemanfaatan simbol-simbol visual dan koreografi tanpa memperhatikan kekuatan kata-kata dalam naskah Wisran Hadi sehingga pertunjukan terasa kehilangan chemistry, lambat, menoton dan eksperimen yang dilakukan sutradara terlihat tanggung (kurang total). Justru akan lebih menarik apabila sutradara memiliki keberanian untuk mendekonstruksi naskah dan mengambil bagian-bagian yang dirasa penting untuk kebutuhan eksplorasi melalui proses elaborasi yang murni berakar pada bahasa tubuh aktor-aktris. 

Matrilini sutradara Vanny Dila Sari dan Enrico Alamo (teater Sakata-Padangpanjang) mengingatkan saya ketika menonton Ah, Matjam-matjam Maoenja saduran dari naskah asli berjudul Les Precieuses Ridicules karya Jean Baptiste Poquelin (Moliere) produksi Studiklub Teater Bandung (STB) di Teater Arena Jawa Tengah 14 Juni 2010 melalui spirit gaya Komedie Stamboel. Asumsi saya ketika menyaksikan pertunjukan Matrilini adalah sutradara juga  terinspirasi pada spirit Komedie Stamboel dalam mewujudkan naskah drama Matrilini karya Wisran Hadi. Pertunjukan Matrilini yang sarat dengan aspek musikal, tarian, stilisisasi gestur tubuh yang parodi dan komikal sedikit membuat penonton tertawa namun bukan pada kecerdasan suasana dialog-dialog yang diucapkan oleh aktor-aktris tetapi justru karena ‘lucu’ yang diekspresikan secara fisikal (gaya banci, ekspresi dan gestur yang didramatisir, dan tarian yang dipaksa harus terlihat ‘lucu’). Ke’lucu’an yang dibangun akhirnya kehilangan kontrol, justru mengganggu irama pertunjukan.
Gaya yang berbeda juga terlihat dalam pertunjukan Kemerdekaan sutradara Sulaiman Juned (komunitas seni Kuflet-Padangpanjang). Penonton digiring pada suasana masa lalu ketika Indonesia dijajah bangsa kolonialis. Dalam frame drama ‘ala’ perjuangan untuk memperingati ‘kemerdekaan’, pertunjukan ini menghadirkan beberapa audio orasi-orasi, irama lagu perjuangan. Sutradara memberikan nuansa yang khas Aceh dalam pertunjukan Kemerdekaan, hal ini ditandai dengan adanya properti rencong, ikat kepala dan kesenian Didong. Irama nyanyian, tarian, musik dengan syair yang berbunyi “amanlah, aman duniaku, aman tak pernah hancur” (dinyanyikan oleh sembilan orang pemain Didong) tampil memukau. Namun, saya menilai terdapat tafsir yang keliru dalam memahami naskah Kemerdekaan karya Wisran Hadi. Hal ini tercermin dari pemahaman sutradara dalam memandang kata ‘kemerdekaan’ sebagai produk masa lalu di era kolonialisme. Dua orang tokoh yang berada di suatu lembah dalam hutan kering. Dua orang tokoh seperti mengalami gejala traumatik, depresi, sehingga takut memperlihatkan ekspresi wajah karena rambut terlalu mendominasi muka mereka. Analisa teks yang kurang dielaborasi secara mendalam menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ tidak dipahami sebagai konsep filosofi yang esensial dalam kehidupan manusia. Kemerdekaan idealnya menjadi konsep berfikir dan bertindak yang universal tentang hak untuk mengendalikan diri sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain. Kegagalan interpretasi ini menyebabkan kata ‘kemerdekaan’ dipandang terbebas dari belenggu penjajah semata sehingga aktor-aktris mencoba mengimajinasikan memori ‘kemerdekaan’ di masa lalu seperti apa, bukan ‘kemerdekaan’ yang bersifat filosofis. Kegagalan dalam menginterpretasi, akhirnya aktor-aktris menjadi cepat dalam berkata-kata, tidak jelas apa yang sedang mereka perdebatkan, hanya kemarahan-kemarahan yang tidak jelas apa maksud dan tujuannya. 

Off the Record-Sebatas kita sutradara Kurniasih Zaitun (komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang) menampilkan naskah Wisran Hadi yang hanya berisi petunjuk adegan berbasiskan pada gerak-gerak pantomim. Namun secara penggarapan, pertunjukan Off the Record-Sebatas kita memasukkan instrumen lokal Minangkabau melalui gerak tari seperti silat dan Ulu Ambek. Kecenderungan untuk mengejar aspek bentuk mengakibatkan pertunjukan Off the Record-Sebatas kita terkesan seperti demonstrasi tubuh yang datang dan pergi begitu saja, belum mengarah pada pendalaman makna sehingga aktor terjebak pada gerak-gerak yang artifisial. Tema tentang kemuliaan, kekuasaan, kesenian dan perselingkuhan seyogianya mampu bersinergi satu sama lain, pertanyaan yang muncul adalah dunia seperti apa yang ingin dibangun oleh sutradara melalui aktor-aktris di atas panggung?. Aspek teknis seperti musik yang diharapkan dapat membantu atmosfer pertunjukan, justru terasa mendominasi pada setiap adegan dari awal sampai akhir, musik seolah-olah hanya menempel dan tidak menyatu dengan peristiwa yang sedang ditampilkan di atas panggung. *Salam Teater*

PARADE TEATER NASKAH WISRAN HADI

“Selamat Datang di Koto Tingga”

Padang Ekspres • Minggu, 13/11/2011  
Oleh: Gusriyono

…. Ada kunjungan. Datang sumbangan. Tidak berbunga. Kalungkanlah!
Kalungkan bunga-bunga….
…. Ada kunjungan. Turun bantuan. Lunak bunganya. Sajikan!
Sajikanlah adat budaya lama….
Selamat datang di Koto Tingga. Welcome….


Malin meneriakkan kata-kata tersebut beberapa kali melalui toa atau pengeras suara yang dipegangnya. Pemberitahuan tersebut sebagai isyarat agar penduduk Koto Tingga, yang tinggal beberapa orang itu, bersiap-bersiap menyambut tamu yang berkunjung dengan tarian sesuai budaya yang mereka pertahankan—dalam hal ini Minangkabau. Muncullah penduduk Koto Tingga yang berprofesi sebagai pedagang, yang menjual berbagai macam produk Koto Tingga termasuk adat dan budaya.


Kemudian, pemusik dengan gandang tamburnya menyajikan musik riang menyambut pengunjung, diiringi penari, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Mereka menarikan budaya lama itu di depan kuburan yang dianggap kuburan Bundo Kanduang. Kuburan itu didirikan di atas tanah yang disewa secara kredit kepada Panglimo.

Adalah 7 orang pelarian revolusi, Malin (Afrizal Harun), Ustad (Dedi Darmadi), Pakih (Anggi Hadi Kesuma), Katik (Syafriandi Afridil), Siti Cannon (Ayuning Saputri), Puti Xerox (Elsa Novri Asminda), dan Gadih (Winda Sesmita). Mereka menetap dan mempertahankan budaya lama di Koto Tingga, sebagai tameng persembunyian.
Kemudian, masing-masing menganggap diri pahlawan kebudayaan, yang mempertahankan adat dan pusaka lama itu, sembari menjualnya kepada para pengunjung. Termasuk memperkelam sejarah, melalui kuburan Bundo Kanduang dan ahli warisnya, seperti perebutan pemimpin upacara adat antara Puti Xerox dengan Siti Cannon.

Berbagai kejadian lengkap beserta konfliknya tersaji dengan renyah dan penuh olok-olok di lapangan terbuka yang dijadikan Koto Tingga itu. Sebagaimana naskah itu ditulis oleh Wisran Hadi—pun naskah-naskahnya yang lain—berisi kritikan terhadap adat dan budaya lama dengan gaya bercemooh atau olok-olok yang satir.

Menariknya, pementasan naskah Orang-Orang Bawah Tanah yang disutradarai Yusril dan diproduksi Komunitas Hitam Putih ini memilih pakaian adat Minangkabau sebagai kostum pemain. Sesuatu yang sudah sangat jarang ditemukan dalam pementasan teater atau sandiwara sekali pun di zaman sekarang.
Pilihan pakaian adat ini akan mengingatkan penonton pada pementasan sandiwara pada tahun-tahun 1980an atau sebelumnya. Untung saja, Yusril tidak menggunakan layar yang buka-tutup setiap pergantian adegan. Kalau iya, klop deh, jadulnya…. Serasa berada di tahun-tahun Yusril muda, barangkali. Hehe…

Diakui Yusril, pilihan kostum tersebut sebagai upaya memberikan tontonan alternatif bagi penonton terutama kalangan generasi muda. Bahkan, katanya, ketika dipentaskan di teater arena ISI Padangpanjang, beberapa penonton terharu, melihat masih ada yang memakai pakaian adat dalam pertunjukan teater.

Kemudian, pilihan lain yang diambil Yusril, mendekatkan pemain dan permainan ke penonton dengan pentas di lapangan terbuka. Seperti yang dilakukan pada Jumat (11/11) malam.
Di tanah lapang bekas reruntuhan Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumbar, Orang-Orang Bawah Tanah dipentaskan Yusril dengan penonton yang duduk lesehan di karpet. Sesekali, terjadi interaksi antara pemain dan penonton. Melalui cara ini, Yusril ingin menunjukkan teater bisa pentas dan hadir di mana saja. Tidak mesti di gedung pertunjukan. Ia bisa hadir di pasar, di mall, di lapangan bola, dan ruang-ruang publik lainnya.


Hanya saja, diakui Yusril, pementasan di lapangan terbuka malam itu sedikit luput dari perhitungan distorsi bunyi atau suara. Tidak seperti pementasan sebelumnya di ISI Padangpanjang yang berada dalam gedung teater arena, pementasan di lapangan terbuka Taman Budaya diwarnai dengan bunyi mesin kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor hingga pesawat, suara-suara orang latihan menyanyi dan musik, dan sebagainya. Jadilah Koto Tingga, seperti kota yang riuh.

Termasuk juga, perhitungan bloking pemain, yang membuat letih karena jarak yang terlalu jauh. Lapangan terbuka yang lebih luas panggung teater arena telah menguras stamina pemain. Mungkin, resiko ini perlu juga dipertimbangkan di masa datang.

Naskah Orang-Orang Bawah Tanah ini dipilih Yusril, karena mengetahui proses penulisan naskah tersebut, mulai dari ide sampai observasi yang dilakukan oleh Wisran Hadi. Kemudian, sekitar 20 tahun lalu, Yusril juga membawa berkeliling pementasan naskah ini. Dengan konsep yang berbeda dari pementasan sekarang.
Ketika itu, naskah ini dimainkan dengan konsep realis di atas panggung gedung pertunjukan. Kuburan Bundo Kanduang dihadirkan berbentuk kuburan sebenarnya, tidak seperti pementasan kali ini, yang hanya disimbolkan dengan bentangan kain merah persegi panjang. Serta berbagai perbedaan lainnya.

Penulisan naskah ini, menurut Yusril, ketika pemerintah menggalakkan program Visit Indonesian Year 1990. Ketika itu, seperti juga sekarang, pemerintah kasak-kasuk ingin melestarikan kebudayaan daerah untuk dijual kepada para pengunjung atau wisatawan, sebagai penambah devisa bagi Negara.
Maka, muncullah orang-orang yang menganggap diri pahlawan pelestari kebudayaan dengan berbagai atributnya. Fenomena inilah yang bertahun-tahun silam dikritik oleh Wisran Hadi melalui naskah dramanya tersebut. Termasuk juga persoalan-persoalan sejarah dan mitos yang dipercayai masyarakat, yang sengaja digadang-gadang untuk mengembangkan pariwisata.

Begitulah, orang-orang mulai meninggalkan Koto Tingga satu persatu. Hingga menjadi negeri yang ditinggalkan dan tertinggal. Tidak ada lagi ucapan selamat datang atau welcome. (*)


Web: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=16762

DUA PEMENTASAN TEATER YANG ANTIKLIMAKS

35 TAHUN BUMI DAN IN MEMORIAM WISRAN HADI

Haluan, Minggu, 13 November 2011 01:02 
Ditulis oleh Teguh  
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar
 
dua kelompok teater yang menasbihkan dirinya sangat dekat dengan sosok almar­hum teaterawan Wisran Hadi, menyuguhkan pementasan teater dalam helat 35 Tahun Bumi. Masing-masing mengu­sung bentuk garapan yang berbeda.

Gaung Eskpose Padang mengangkat naskah—yang tak jelas maksudnya, mengapa bukan karya Wisran Hadi—Gubernur Nyentrik dipentaskan prosenium. Kelompok seni Hitam Putih membawakan karya Wisran Hadi, Orang-orang Bawah Tanah yang ditampilkan di luar pentas atau di lapangan terbuka.

Kedua orang yang me­nyutradarai pertunjukan teater itu: Armeynd Sufhasril dan Yusril, bukan anak kemarin sore dalam jagat teater Su­matera Barat. Keduanya—kendati beda usia— sudah bertungkus lumus bersama Bumi Teater, tapi, sayang sekali, kedua garapan yang disuguhkan seperti men­jauh dari apa yang pernah dihasilkan Bumi Teater selama ini. Dua pementasan yang menjadi antiklimaks. Menurun dari dari berbabagai aspek.

Tiga puluh lima tahun silam, sekitar Januari 1976, saat proses latihan teater berjudul Gaung dengan naskah dan sutradara Wisran Hadi, sema­cam manifes dinyatakan untuk penanda kehadiran Bumi Te­ater.
“...Teater kami adalah teater yang berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami mencari bumi yang lain untuk kami bertolak. Pertanggungan jawab dari corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah SWT. Karena kami percaya bahwa bumi tempat kami berpijak adalah bumi yang dititipkan Allah SWT pada kami.”

Manifes ini bukan sekadar kalimat basa-basi pelengkap kehadiran Bumi Teater. Mani­fes ini merupakan gejolak keprihatinan atas gelombang ‘kematian’ kesenian Sumatera Barat, khususnya teater pada saat itu. Di mana Sumatera Barat tidak tampak dalam peta perteateran di Indonesia. Di mana ruang, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), ruang kebanggaan kesenian yang di bangun di pusat negeri ini (Jakarta) seolah tak terjangkau oleh penggiat teater Sumatera Barat. Tak terjangkau, atau bisa jadi pada saat itu, tak ada kemampuan untuk men­jang­kau.

Sejak manifes itu, Bumi Teater, Sastra, dan Seni Rupa dengan ujung tombaknya Wis­ran Hadi berusaha masuk dalam ruang-ruang yang belum terjangkau. Wisran Hadi, secara personal atau atas nama Bumi telah menjadi catatan penting dalam konstelasi perteateran Indonesia.

Setidaknya, sudah sekitar 50 pementasan teater yang dihadirkan, dari pementasan pertama (Gaung, 1976) sampai pementasan paling akhir (Wa­yang Padang, 2006). Puluhan naskah karya Wisran Hadi pun menjadi tolok ukur, men­jadi per­bincangan ber­bagai pihak, atas muatan-mua­tan yang dikan­dungnya. Naskah yang sebagian be­sar men­jadi jawara di ajang-ajang per­lom­ba­an naskah bergengsi di Indo­nesia.

Tapi sejak me­ning­galnya Wis­ran Hadi be­-­be­rapa bulan silam, sejak Bumi Teater kali terakhir mementaskan pertun­jukannya, apakah manifes atau spirit teater moderen yang dihadirkan Wisran Hadi dise­rap oleh para teaterawan atau kelompok teater di Sumatera Barat sebagai suatu kebaruan yang patut terus dieksplorasi?

Dan pembukaan peringatan 35 Tahun Bumi dan In Me­moriam Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatera Barat adalah pembuktian. Dari tanggal 9-11 November, tiga kegiatan digelar, yakni pementasan teater oleh grup Gaung Ekspose berjudul Gubernur Nyentrik (karya Agustan T Syam) sutradara Armeynd Sufhasril, Temu Anak Bumi Teater dengan pembacaan obituari Wisran Hadi oleh Darman Moenir, serta pementasan teater berjudul Orang-orang Bawah Tanah (karya Wisran Hadi) oleh kelompok seni Hitam Putih dengan sutradara Yusril. Tiga tajuk acara yang bisa jadi adalah penggambaran dari spirit 35 tahun Bumi, peng­gambaran sejauh mana manifes yang dipatrikan puluhan tahun silam itu diterima dan dieksp­lorasi terus menerus oleh para teaterawan di Sumatera Barat.

Tiga tajuk acara yang diisi oleh orang-orang yang pernah berproses panjang di Bumi Teater atau berde­katan secara emo­sional dengan Wisran Hadi. Tiga tajuk acara mem­buka sembilan per­tun­jukan lain, akan beruturut-turut dalam sepekan, pertunjukan yang akan membuka celah-celah wacana dalam naskah yang pernah dibuat Wisran Hadi.

Gaung Berusaha “Nyentrik”
Kelompok Teater Gaung Ekspose, mempertunjukkan “Gubernur Nyentrik” di Teater Utama Sumatera Barat (9/11) malam. Dengan naskah yang ditulis Agustan T Syam terse­but Armeynd Sufhasril berusaha menghadirkan (ulang) per­soalan ‘korupsi’ yang sudah sering dibahas dalam berita televisi. Beberapa pemain di dalam pertunjukan tersebut, sebagian besar sudah pemain lama, sudah pernah ikut ber­proses di Bumi Teater. Akan tetapi pertunjukan malam itu terasa tidak memberikan kon­tribusi penting dalam penanda angka ’35 tahun’.

Secara menyeluruh pementasan tersebut berusaha memparodikan kegiatan harian seorang gubernur dengan istri, ajudan, dan orang-orang yang berdekatan dengan lingka­rannya. Parodi yang hampir sama pembawaannya dengan cara grup “Teater Keliling” Rudolf Puspa mementaskan. Entah mana yang menyalin?
Sepanjang permainan ter­kadang tampak totalitas proses berteater dihancurkan secara tiba-tiba, entah kenapa, meski di beberapa sisi ada ‘aktor’, ada ‘properti’ ada keinginan untuk membangun totalitas tersebut.

“Apakah ini pertunjukan teater atau show musik dengan tema lagu-lagu Iwan Fals dan Slank sebagai penguat bahwa malam ini ada gugatan atas pemerintahan korup?”
Penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater ‘pintar’ tentu akan mem­perta­nyakan hal tersebut. Tapi tentu mereka yang senang dengan kelucuan banal seperti tayangan di televisi akan bertepuk tangan dan girang.

Bisa jadi kegagalan ini disebabkan Gaung Ekspose memainkan naskah yang tidak pas dengan karakter mereka yang selama ini mereka tunjuk­kan? Pertanyaan yang akan dijawab bersama. Pertanyaan yang pastinya akan dikem­balikan pada spirit angka ‘35’ tersebut—meski Gaung Eks­pose bukan Bumi Teater, tapi sebagian pemainnya pernah berproses dengan Wisran Hadi, angka ’35’ ter­s­ebut me­rupakan beban moral yang mesti di­tanggung.

Kembali pada Pijakan
Istilah ‘kembali pada pija­kan’ akan jadi perwakilan bagi pertunjukan ko­mu­nitas seni Hitam Putih dari Pa­dang Pan­jang yang me­men­taskan Orang-orang Ba­wah Tanah, Jumat (11/11) malam. Yusril, selaku su­tradara pemen­tasan tersebut berusaha masuk pada celah yang diberi dalam naskah Wsi­ran Hadi tersebut. Meski pada akhirnya garapan Yus­ril tersebut akan ke­luar, dari konteks, dan gugatan-gugatan filosofis yang ditututkan Wisran Hadi dalam naskah.

Agak lain memang, meski bukan baru, pemen­tasan Orang-orang Bawah Tanah dikem­balikan lagi pada sesuatu yang ‘asal’ dalam pertunjukan tradi­sional Minangkabau. Pertun­jukan ini oleh sutradaranya dibawa pada situasi yang lebih nyata, dimana interaksi pemain lebih utuh dengan penon­tonnya, seperti ‘randai’ yang bukan randai.

Orang-orang Bawah Tanah seperti dua dunia yang di­bangun atas wacana besar Minangkabau, wacana yang dirasuki berbagai kepen­tingan pribadi atau kelompok, termasuk politik dan cinta. Pertunjukan ini seolah menjadi tantangan bagi pertunjukan teater yang lazim diper­ton­tonkan dalam ruangan, tanta­ngan bagi sutradara, aktor, juru lampu, dan juga penonton.

Tempat pertunjukan  Orang-orang Bawah Tanah dihadirkan pada tanah yang sedikit lapang antara mess dan galeri lukisan Taman Budaya Sumatera Barat, yang dulunya merupakan Ge­dung Teater Tertutup. Tempat ini pun diubah menjadi (na­gari) ‘Koto Tingga’, tempat para pelarian politik yang ingin mempertahankan kebudayaan lama tapi pada akhirnya malah menghancurkan kebudayaan itu.

Setumpak tanah keter­wakilan dari pandam paku­buran di bagian belakang panggung pertunjukan. Trap yang membelah ruang seakan garis imajiner, batas antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’. Dua menara bambu dengan orang-orangan sawah dan ben­dera hitam berkibar di atasnya, serta para pemain yang me­makain baju-baju adat seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir banyak hal.

Orang-orang Ba­wah Tanah semacam sandiwara gelak-tawa kebudayaan antara tokoh Malin, Pakih, Ustad, Puti Serong, dan Siti Canon. San­diwara yang mengikutsertakan pemain dari awal sampai akhir pertunjukan. Pandam pekuburan Bundo Kanduang menjadi kekuatan yang dibangun, dihancurkan, dan dibangun lagi dalam pe­mentasan ini.

Bagaimana tidak, kuburan Bundo Kanduang dimani­festasikan sebagai kebohongan publik yang dibagun oleh orang-orang yang secara kasar mata mempertahankan kebu­dayaan, tapi di lain sisi mereka ingin menjual kebudayaan tersebut.

Pada pementasan ini Yusril mencoba melakukan proses menafsir lagi estetika lama sembari mencoba mencari bentuk baru dalam melakukan eksplorasi pada ‘tanah’ dimana teater itu di mainkan. Orang-orang Bawah Tanah dijadikan tontonan teater alternatif. “Pementasan ini digarap agar penonton sadar ini sebuah permainan yang juga bukan sekadar permainan,” kata Yusril.

Isu tentang pariwisata dan budaya yang dihadirkan dalam pementasan, sebagaimana para aktor selalu terlihat ingin mendapatkan materi dari kebongan publik yang di­bentuknya, sesuatu yang kini intim dengan kita. “Budaya untuk kepentingan ekonomi, sementara kebu­dayaan tidak bisa dilihat begitu. Jadi ada sebagian orang yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan ekonomi. Saya tidak menyangkal kehadiran Bundo Kanduang dalam pe­men­tasan, tapi yang saya tolak kuburan Bundo Kanduang itu,” tafsir Yusril terhadap perteng­karan antara dua tokoh yang bernama Siti Canon dan Puti Serong yang mengaku ketu­runan sah Bundo Kanduang dan pewaris kuburannya.

Orang-orang Bawah Tanah bisa jadi berhasil memper­tunjukkan naskah Wisran Hadi tersebut melalui interaksi berlanjut dari awal sampai akhir dengan penonton. Ratu­san penonton malam itu pun sibuk dalam wacana yang dibangun, sesekali ‘kecewa’ dengan pembohongan publik, dan berbahagia atas pem­bongakaran isu dalam pe­mentasan.

Penonton malam itu jadi aktor sekaligus, jadi pembuat wacana sekaligus. Meski dalam tafsir yang tidak utuh, pe­mentasan ini jadi perwakilan dari spirit 35 tahun Bumi Teater, spirit 35 tahun ma­nifes semangat berteater yang pernah dibunyikan itu

Tantangan baru, pen­carian dan penemuan jawa­ban, seperti kata Darman Moenir dalam obituari tentang Wisran Hadi, Kamis malam (10/11) mung­kin usaha yang harus disiasati berlanjut. “Membaca naskah, me­nonton pertunjukan Wis­ran Hadi.... kritik-kritik sosial disampaikan dalam cemooh, gurau, plesetan. Wisran Hadi benar-benar sadar akan kekua­tan kata. Dan itu disiasati dengan bacaan, dari permainan tradisi, dari kehidupan masya­rakat menengah kebawah, dari perilaku pe­mang­ku adat dan pejabat...” sebut Darman.

Dan ini tentu sesuatu yang berharga bagi konstelasi pertea­teran di Sumatera Barat. Tidak hanya bagi Gaung Ekspose dengan pertunjukan Gubernur Nyentrik yang bisa dibilang ‘gagal’ dalam menunjukkan totalitasnya, atau komunitas Hitam Putih dalam pementasan Orang-orang Bawah Tanah yang berhasil menyiasati celah bagi penontonnya untuk ikut hibuk dalam sandiawara yang ditulis Wisran Hadi itu.

Spirit 35 tahun dan se­mangat manifes Wisran Hadi bukan hanya milik anak Bumi, bukan cuma milik orang-orang yang pernah berproses di sana, tapi telah jadi milik perteateran Sumatera Barat, Indonesia. Jeda waktu yang panjang memang untuk membuat kebaruan bagi sebagian kelompok teater di Sumatera Barat yang kini layak­nya ‘katak dalam tempu­rung’ dan tidak menghargai proses sebagai bagian dari pencarian berteater itu sendiri.

Web: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10121:dua-pementasan-teater-yang-antiklimaks&catid=46:panggung&Itemid=160

MERAYAKAN SEBATAS KITA TANPA KATA


PEMENTASAN TEATER KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH   
Koran Haluan, Minggu, 20 November 2011
Laporan: Esha Tegar Putra, Nasrul Azwar

Pada hari terakhir A Tribute to Wisran Hadi, Rabu (15/11) sorenya di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat tampil Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang memanggungkan naskah Sebatas Kita dengan sutradara Kurniasih Zaitun. Pada malamnya, di tempat yang sama tampil Teater Noktah Padang membawa Wanita Terarkhir sutradara Syuhendri.
Pementasan Sebatas Kita ini merupakan tafsir bebas sutradara Kurniasih Zaitun atas naskah Wisran Hadi berjudul Of the Record.

Galibnya sebuah tafsir terhadap teks naskah—konsekuensi yang paling dirasakan penonton adalah kesan dari “teks” dan simbolisasi di atas panggung. Sutradara punya otoritas terhadap tafsir teks. Pang­gung sebagai wilayah yang akan diisi dengan tafsir itu. Kemunculan simbol, tokoh yang tak memerlukan dialog, properti yang sangat fung­sional, tubuh sebagai rep­resentasi kon­flik, busana sebagai identitas kultural, dan sebagainya, sepanjang 70 menit, Komunitas Seni Hitam Putih memberi makna dan roh pada pentas, yang selama 3 hari diisi dengan hal-hal yang monoton.

Sutradara merambah pada wi­layah teks budaya Minang, se­bagaimana datuk adalah “ke­kua­saan” tertinggi dalam pe­sukuan di Minangkabau, meleleh dan cair ketika pada awalnya ia tanpa pakaian, lalu merampok pakaian kebesaran dan atribut datuk, dan menge­nakannya. Tapi pakaian datuk itu menyiksanya sehingga ia lepas lagi. Pesan ini membuka kemungkinan multitafsir bagi penonton yang paham tentang simbolisasi adat Minang.

Awalnya, Kurniasih Zaitun membuka panggung dengan me­ngahadirkan kursi kayu dan meja rotan di sudut kiri (depan). Sepetak ruang ganti, berisi tiga kamar kecil, dengan penutup kain putih, di bagian kanan (belakang) panggung. Ini mengingatkan saya kamar ganti di mal-mal. Melalui properti kursi, meja, dan ruang ganti inilah, para aktor melakukan aksi panggung yang diolah tanpa dialog ini.

Penanda dipapar bervariasi di atas panggung. Gerak dan simbol-simbol yang diciptakan atau tercipta sendiri, komunikatif. Aktor-aktor tak memerankan dirinya saja. Ia menjadi multifungsi dan memberi efek pada aktor-aktor lainnya. Gerak dan ketelanjangannya memberi dan menguatkan simbol lainya.

Seorang aktor hadir melalui gerakan dramatik di atas kursi kayu dengan lembaran-lembaran koran yang dibuka dengan cepat sebagai tanda kebosanannya. Ia muntah setiap halaman koran yang dibuka. Dalam wacana media massa, si aktor seakan menerima efek efektif (berhubungan dengan emosi, pe­rasaan, dan attitude [sikap]). Efek yang dalam pandangan Mc. Luhan, seorang pakar ‘efek komunikasi massa’, di mana seseorang (aktor-red) cenderung merima informasi dari apa yang dilaporkan media massa, efek dari sajian adegan kekerasan yang menimbulkan semacam kemuakan dan mengang­gap dunia ini sekan me­ngerikan.

Efek media massa ini terlihat sebentar pada pementasan. Berlanjut pada permainan beberapa orang aktor di bagian kamar ganti. Di sini terlihat penggambaran kritik atas kebebasan seksual yang diumbar-umbar. Berahi yang tak jelas juntrungannya dihadirkan melalui aksi dari dua orang aktor laki-laki yang (sepertinya) sedang melakukan hubungan intim di dalam sebuah ruangan, yang bisa jadi ruang ganti, atau kamar mandi.

Penggambaran wacana (homo) seksual tersebut terlihat hanya sebatas kaki aktor yang melakukan gerakan dari belakang kain tabir ruangan. Tapi, bisa jadi, penonton telah bisa menafirkan melalui kaki aktor yang tampak dan gerakan-gerakan dari balik belakang kain tabir.

Kehadiran ‘pakaian’ merupakan bagian yang paling inti dari pe­mentasan ini. Pakaian sebagai titik mula dari wacana ‘pencitraan’. Pada salah satu bagian muncul seorang perempuan yang membawa berbagai pakaian memalui sebuah gerobak, lantas pakaian tersebut digantung di tiga ruangan kamar ganti.

Pakaian tersebut terdiri dari pakaian kebesaran datuk, baju haji, seragam polisi, seragam tentara, pakaian wisuda (toga), dan pakaian prakter dokter. Pada bagian ini pementasan hadir melalui tari, di mana salah seorang aktor keluar dari dalam gerobak, lantas bergerak ke arah ruang ganti pakaian.

Saat si penari membuka tabir kain ruang ganti, terlihat para aktor dengan pakaian-pakaian tadi. Hadirlah seorang datuk, seorang pak haji, seorang polisi, seorang tentara, seorang dokter, dan seorang sarjana. Tapi orang-orang di balik pakaian tersebut hadir seperti sebuah manekin, bisa jadi robot, yang hanya kaku dan tidak melalukan gerakan.

Pertunjukan yang diperkaya dengan koreagrafi Ali Sukri ini memberi dampak yang kuat pada jalannya pementasan. Naskah Wisran Hadi yang selalu dipentaskan dengan sangat nyinyir oleh kelompok-kelompok teater sebelumnya, di tangan Tintun—begitu ia akrab dipanggil—dihantamnya. Tanpa kata sekalipun, apa yang ingin dicapai naskah Wisra Hadi, tercapai.

Sekelompok penari me­nang­galkan pakaiannya sampai yang tersisa hanya pakaian dalamnya. Saat bersamaan, muncul tokoh datuk dengan segenap atribut kebesarannya. Penari pun terkesima dan dengan gerakan yang sangat komunikatif, ia mempreteli pakaian sang datuk tanpa perlawanan. Datuk itu pun diganti pakaiannya dengan baju dan kopiah putih seorang haji.

Lantas si penari mulai me­lakukan gerakan-gerakan tarian yang seolah-oelah menggugat ke­kuasaan datuk yang seolah hadir hanya melalui pakaian besarnya. Gugatan-gugatan ini ditonjolkan si penari seketika ia memakai pakaian ke­besaran datuk. Tafsir datuk seakan hanya seorang yang dihadiahi pakaian, lantas punya kuasa atas keputusan terhadap kemenakannya, punya kuasa atas hak putus tanah ulayat, atau pemberian gelar pada seseorang. Dan sang penari terlihat gerah ketika memakai pakaian datuk tersebut, ia tanggalkan satu persatu, ia buang di atas panggung.Hal yang sama juga dilakukan dengan simbol kuasa lainnya, seperti polisi dan tentara, haji, serta pakaian wisuda sarjana.

Kaum Nudism
Konsep pakaian sebagai penanda dan identitas dihadirkan melalui pemberontakan atas ‘pakaian’ sebagai harkat, martabat, status sosial. Penolakan-penolakan ini meng­gambarkan kesepakatan kaum nudism. Kaum yang mengganggap pakaian telah mencipatakan ko­munikasi personal seseorang men­jadi terhambat, kaum yang menganggap pakaian telah meninggalkan pe­maknaan hakiki dari kebudayaan manusia itu sendiri, kaum yang menganggap ’ketelanjangan’ kembali ke hal yang harfiah dari manusia. Dalam pandangan nudism, ketika melepaskan baju, manusia men­ciptakan pembenaran sendiri yang mengaitkan seksualitas, pornografi.

Minimalis Kata
Wacana-wacana di atas panggung selama pertunjukan memang hadir dengan dialog yang minim. Meski pada suatu bagian ada suara ter­dengar mengucapkan huruf vokal “a-i-u-e-o” dan “kabau”. Musik pun mengiringi lajunya pertunjukan dan menghadirkan degradasi pada suasana. Musik seolah me­nghi­dupkan setiap tafsir yang dibangung di atas panggung.

Kurniasih Zaitun mengatakan, pementasan tersebut merupakan tafsirnya utuhnya terhadap karya Wisran Hadi. “Naskah berjudul Of the Record, dalam tanda kurung Sebatas Kita. Dan saya membaliknya menjadi Sebatas Kita tapi dalam kurung Of the Record,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa memang dalam teks naskah Wisran Hadi tersebut memang hanya ada peristiwa tematik tanpa dialog. “Di dalam naskah ada beberapa tematik tentang kebudayaan, kekuasaan, hukum, tradisi, keadilan. Dan dengan naskah yang tanpa dialog ini, saya leluasa dengan konsep teater tubuh yang saya dalami sejauh ini,” tambahnya.

Ia pun mengungkapkan, dirinya secara penuh bersetia pada tematik yang dihadirkan dalam naskah Wisran Hadi. “Akan tetapi dalam konsep pemanggungan, suasananya jauh dari naskah tersebut, dengan penghadiran pakaian yang berbeda,” jelas Tintun lagi.

Dan dalam anggapannya, tafsir ‘ke-kini-an’ terhadap naskah Wisran Hadi melalui pementasan “Sebatas Kita” menandakan naskah tersebut relevan dengan wacana kekinian yang hadir dalam persoalan masya­rakat. “Dalam naskah tidak di­sebutkan jelas tentang per­seling­kuhan, homo seksual, dan lainnya. Tapi hal tersebut ada, dan saya mengkaji ulangnya,” kata Tintun.

Tubuh yang Menguat
Satu gerak dalam panggung teater merepresentasikan sekian makna. Gerak dan laku diperhitungkan efektifitasnya. Sutradara Sebatas Kita tampaknya memperhitungkan ini.
Jika diurut ke belakang, selama ini, Komunitas Seni Hitam Putih yang didirikan pada 1996 selalu ketat dengan konsep eksploratif dan semiotif visual siapa pun sutra­daranya.  Jika mau diban­dingkan, garapan terakhir Yusril Katil, pendiri  Komunitas Seni Hitam Putih ini, yaitu Orang-orang Bawah Tanah, sepertinya itu bukan identitas kelompok ini sesungguhnya.

Sore itu panggung Sebatas Kita memang memberi pembedaan tegas terhadap tujuh pertunjukan dalam rangka Parade Naskah Wisran Hadi yang telah digelar sejak 12 Novem­ber.

Jika tujuh kelompok sebelumnya sore dan malam panggung dipenuhi dengan kata-kata, gerak-gerak yang tak bermakna, miskin simbol, dan sangat melelahkan mendengar dialog aktor yang belepotan dengan intonasi yang datar dan merata.

Sore itu, semua terbalik. Tak ada lagi kita mendengar orang-orang marah di atas panggung. Tubuh mela­hirkan dialog. Gerak memunculkan simbol dan komunikasi yang nyaris sangat “nyambung” dengan penon­ton. Mengintegrasikan koreografi memang memperkuat semiotif visualnya. Kendati, beberapa gerakan dibuat berlama-lama, padahal pesan yang disampaikan telah dipahami. Tapi ini adalah salah satu perjalanan teater Sumatera Barat, yang beda dengan yang lain: jauh dari ke­cengengan.

Web. http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10311:merayakan-sebatas-kita-tanpa-kata&catid=46:panggung&Itemid=160 


Minggu, November 13, 2011

Minggu, Juni 19, 2011

an Experience: Identitas Tubuh-Tubuh dan Pendistorsian Makna

Diterbitkan, koran HALUAN-SUMTERA BARAT, Minggu 19 Juni 2011


Oleh: Afrizal Harun

“Perjalanan tubuh memasuki ruang-ruang gerak dari atmosfir tari yang terus menerus bergerak seperti detak waktu melesat tanpa jeda atau perlahan seperti diam. Perjalanan tubuh pada distorsi ruang-ruang. Pada keringat penari, pada tegur sapa, mata, telinga dan hati. Proses menemukan keindahan, pergulatan keyakinan mengarungi kesederhanaan tubuh-tubuh yang bertemu, hingga pada akhirnya kosong. an Experience adalah kekosongan itu, perjalanan menjadi sunyi diriuh keramaian. Sebuah pengalaman tubuh yang penuh makna yang terus menerus harus dimaknai dan diamini dari tradisi tubuh dengan fenomena gerak yang berkembang”.
Sinopsis Tari an Experience, koreografer Tyaz De Nio

Cahaya Panggung dan penonton dibuat remang, tubuh keseharian melintas menuju ruang silih berganti, tak ada kebisingan yang ingin memekakkan selaput gendang telinga, hanya bisik-bisik sepertinya ingin bertanya tentang apa, siapa, di mana mungkin saja entah. Tubuh-tubuh mencari kursinya sendiri-sendiri, berdua atau bahkan berlima, tubuh-tubuh terlihat berjejer atau bahkan bersendiri menuju tepi, ia tidak ingin adanya relasi karena tubuh ini ingin menyendiri. Tubuh-tubuh yang lain terlihat hening seraya menatap sepi walaupun terkadang iapun mencoba menyapa tubuhnya sendiri atau bahkan menyapa tubuh-tubuh yang berada di sisi, tetapi entah tubuh siapa? Walaupun terkadang ia ingat, tetapi entah di mana? Ia tidak lagi melanjutkan interaksi ini karena mata telah tertuju pada titik tubuh-tubuh lain yang terlihat diam di tengah panggung. Tubuh mulai teralienasi, ruang telah dipenuhi oleh tubuh-tubuh yang tidak diketahui identitasnya apa, siapa dan di mana. Tubuh-tubuh telah menjadi pemaknaan yang metafor, karena ia memiliki dimensi yang multitafsir. Hanya beberapa tubuh-tubuh yang saling mengenal satu sama lain mencoba memperlihatkan daya ekspresi, pergulatan gestur, tipikal keseharian yang sering mereka lakukan tatkala sedang berinteraksi. Begitulah, ketika mata menyaksikan peristiwa tubuh di luar dirinya, ia melahirkan berbagai macam penafsiran, interpretasi, dan imajinasi. Sebelum pertunjukan dimulai, sepasang mata ini tetap saja terus memperhatikan tipikal tubuh-tubuh yang berada di luar dirinya. 

Tepat di tengah panggung yang sedikit gelap, mata dihadapkan pada situasi tubuh-tubuh yang statis, tubuh yang diam barangkali saja memiliki makna, namun saya tidak ingin mencari maknanya apa. Hanya menguras pikiran saja. Anggap saja, diam itu juga memiliki makna. Tidak berapa lama, seorang penari perempuan muncul dari wing kanan bagian belakang menuju wing kiri dibantu dengan pencahayaan spotlight. Ia bergerak mengikuti ritme dan irama tubuhnya. Ketika dipaksa untuk menelusuri lorong waktu yang panjang dan sepi, terkadang tubuhnya menolak, tubuhnya ingin kembali pada tempat semula ketika ia tidak ingin pergi, pola gestur dan teknik tubuh merepresentasikan penolakan tersebut. Walaupun terkadang elemen tubuh yang lain justru ingin menuju lorong waktu tersebut, tubuhnya mengalami perdebatan, tubuhnya kehilangan kesepakatan, tubuhnya telah terdistorsi, sampai pada akhirnya tetap ada yang harus dikalahkan. Akhirnya perempuan itu menembus lorong waktu menuju entah, tetapi untuk apa?.
Sesaat, terasa senyap. Lampu wing kanan bagian belakang-pun dimatikan. Tubuh-tubuh ditengah panggung masih saja diam dan statis. Kemudian satu persatu, tubuh mereka mulai menampakkan reaksinya. Layaknya sebuah proses metamorfosa masing-masing komponen tubuh-tubuh mereka mulai digerakkan dan bermetamorfosis. Ada yang memulainya dengan cara menggeliat, menggerakkan jemari, menggerakan kaki, dan juga ada yang memulainya dengan menggerakkan kepala secara perlahan. Layaknya sebuah proses kelahiran, tubuh-tubuh mulai mencari identitasnya masing-masing.

Tubuh-tubuh terkadang mencari identitasnya sendiri-sendiri, terkadang rampak, berputar, berguling, berdiri, terjatuh, berjalan, berlari, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Gerak tubuh yang energik, tubuh yang akrobatik, tubuh yang teatrikal, pola lantai yang tertata dengan rapih layaknya ilmu koreografi yang memang sudah dipahami namun tetap saja terlihat sebuah tatapan yang kosong, tanpa ekspresi, datar (flat), sehingga sempat terfikir apakah ini identitas yang sedang mereka cari?. Pencahayaan terlihat rapih dalam menyikapi warna dan garis cahaya, transisi-transisi peristiwa tubuh yang berkorelasi dengan pencahayaan panggung menunjukkan adanya benang merah yang muncul secara konseptual. Tubuh-tubuh bergerak menuju titik cahaya, terkadang tubuh-tubuh juga kehilangan titik cahayanya sendiri. Pada saat tertentu musik terasa memberikan kekuatan terhadap gestikulasi tubuh, irama dan ritme tubuh. Penataan musik dalam karya tari ini terkadang memiliki posisi sebagai ilustrasi musik, namun dalam posisi yang lain tubuh-tubuhpun disetrum oleh berbagai efek bunyi dan vokal pemusik. Kehadiran pencahayaan panggung dan musik terasa mempertegas kekuatan dari karya ini. 

Tubuh-tubuh senantiasa terus bergerak. Tubuh-tubuh yang memiliki jenis kelamin ini (tiga perempuan dan satu laki-laki), mulai gelisah dan ingin pergi. Mereka menatap ke segala arah, ke mana ia akan pergi. Akhirnyal, tubuh-tubuh perempuan pergi menuju entah, mungkin saja kosong. Tinggal tubuh laki-laki yang berada pada titik cahaya, ia dipenjara oleh cahaya, ia tidak bisa lagi bergerak secara merdeka, tubuh laki-laki itu bergerak layaknya sebuah prosesi menuju kematian, ia bergerak dengan pendistorsian tubuh yang pada akhirnya terlihat mengecil, mengecil, dan mengecil. Lelaki itu melakukan gerakan-gerakan kecil, cahaya berusaha mengikuti irama gerakan tubuh tersebut, sampai pada akhirnya lampu fade out. 

Begitulah gambaran struktur puitik dari pertunjukan tari berjudul an Experience, koreografer Tyaz De Nio pada hari Rabu, tanggal 15 Juni 2011 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta pukul 20.00 Wib. Karya tari ini didukung oleh para penari yaitu Tyaz De Nio, Retno ‘Eno’ Sulistyorini, Astri Kusuma Wardani, Dewi Galuh Sintosari dan Danang Pamungkas. Penata Cahaya Tria Vita, Penata Musik Rudy Sulistanto dengan pemusik Rudy Sulistanto, Misbach Bilok dan Alam Wardhana.

Tubuh Personal-Publik, Tubuh yang mencari hakekat tentang ‘ada’
Epistimologi Pendistorsian Tubuh yang Estetis

Fenomena tubuh sebagai simbol personal atau simbol yang bersifat publik telah menjadi diskursus dalam kebudayaan di Eropa selama hampir ratusan tahun. Diskursus tentang tubuh ini merupakan suatu proses interpretasi terhadap objek material tubuh dan mencari pemaknaan terhadap hakekat tentang ‘ada’. Tubuh merupakan sebuah organisme fisik manusia yang memiliki aspek ‘antropologi biologis’. Nietzsche mengungkap persoalan tubuh dalam perspektif ‘ada’ (eksistensialisme) dengan menjelaskan bahwa “tubuh adalah kita sendiri”.
Gading J Sainipar mengutip pemikiran Louis Leahy menjelaskan bahwa keberadaan tubuh merupakan sebuah refleksi pada kenyataan keberadaan manusia. Manusia ‘ada’ dan menjadi ‘ada’, dalam arti tertentu menunjukkan manusia pernah ‘tidak ada’. Hal dibutuhkan sebuh kesadaran, bahwa ketika manusia sadar akan keberadaan dirinya, ia semakin mampu menjadi penanggung jawab atas gerakan dan proses yang menempatkannya dalam kenyataan hidup.
Tubuh abad 21 berada pada mekanisme virtualitas, individualistis, dunia imajinasi, realitas kongkrit yang kehilangan batas pemisah dan cenderung paradoks. Fenomena tubuh telah menjadi mainstream ideologi kapitalisme yang diwujudkan melalui ruang-ruang teknologi, industri, komunikasi, manusia urban, lifestyle, konsumeristik, dan lain-lain. Tubuh telah kehilangan identitas kultural karena begitu banyak ia mengadopsi fenomena tubuh impor. Prinsip keterasingan yang dialami oleh tubuh kultural ini, mengakibatkan muncul berbagai bentuk pendistorsian tubuh secara estetis. Suatu hal yang terlihat janggal, namun begitulah hegemoni estetika tubuh barat yang mengalami proses pendistorsian terhadap tubuh-tubuh kultural masyarakat Indonesia hari ini. Pada prinsipnya, tubuh terus mengalami pergulatan makna untuk menemukan hakekat tentang ‘ada’, ia terus bergerak menuju ruang sempit, lorong gelap, berputar pada detak waktu secara dialektis. Walaupun hakekat ‘ada’ yang sebenarnya ingin dicapai adalah ‘kosong’. 

Suatu pergulatan kreatif yang dilakukan oleh Tyaz De Nio dalam karya tari berjudul an Experience, sehingga karya ini memiliki pergulatan penafsiran simbolik yang arbitrer. Tidak ada ketentuan baku dalam menemukan apa yang ingin disampaikan oleh karya ini, walaupun pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Tyaz De Nio merupakan sebuah pengalaman estetika personal yang selama ini terpendam. Sebagai penari dan koreografer, ia sering terlibat sebagai penari dengan tokoh tari terkenal seperti Sardono W Kusumo, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido dan lain-lain.

Selasa, Juni 07, 2011

SAYEMBARA PENULISAN NASKAH DRAMA FEDERASI TEATER INDONESIA (FTI) 2 NASIONAL (UNTUK PELAJAR DAN MAHASISWA)


FTI berkehendak untuk menggairahkan kembali semangat menulis naskah drama, merangsang para penulis muda untuk juga bergiat di dalamnya, dan pada akhirnya meningkatkan perbendaharaan naskah Indonesia. Tidak tertutup pula harapan naskah-naskah baru tersebut dapat menjadi alternatif terutama bagi pertunjukan yang semakin dapat mewakili hidup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan mutakhir kita.
Tema
Tema bebas, namun diharapkan yang “berakar” berkonteks dengan kekinian Indonesia.

Waktu Kegiatan
Pendaftaran dimulai awal Mei 2011, batas pengiriman terakhir tanggal 30 Juli 2011 ( cap pos).



Dewan juri:
Afrizal Malna (Satrawan), Nano Riantiarno (Teaterawan), 
Radhar Panca Dahana (Pembina Teater).

Tempat
Sekretariat FTI, Jl. Muchtaruddin 20 B Komplek PU Pasar Jumat Jakarta Selatan 121310 Indonesia, Telp. 021-8637 4965, Email : ftindonesia@yahoo.com

Hadiah
Pemenang Terbaik dari Terbaik : Rp. 10,000,000,- plus tropi dan piagam penghargaan
Pemenang 5 naskah drama Terbaik : masing-masing mendapatkan Rp. 5000,000,- plus tropi dan piagam penghargaan

Ketentuan Peserta:
1. Isi Naskah Tidak Menyinggung SARA
2. Pelajar dan mahasiswa Indonesia
3. Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku
4. Jumlah HALAMAN NASKAH, MINIMAL 15 haL.maks.40 hal.
(Ukuran kertas A4, 2 Spasi, Arial), Berbahasa Indonesia.
5. Naskah dikirim dalam file digital (soft copy) 1 Buah
dan 3 rangkap berjilid (hard copy) dengan melampirkan :
- Photocopy Kartu Tanda Pelajar /Mahasiswa
- Biodata Penulis
- Surat pernyataan bahwa naskah yang dikirim adalah asli,
belum pernah diterbitkan dan tidak sedang diikutsertakan
dalam lomba sejenis, bermaterai 6000
6. Naskah drama dikirim ke panitia dengan kode:
SNPND FTI Pelajar/Mahasiswa 2011 ke sekretariat FTI.

Senin, Januari 17, 2011

MERASAKAN MINANGKABAU LEWAT FILM (Catatan Pameran Skenario dan Pemutaran Film Mahasiswa Jurusan Televisi ISI Padangpanjang)


Oleh: Edi Suisno dan Afrizal Harun
Koran Haluan, 9 Januari 2011


Tanggal 5-6 Januari 2011, Jurusan Televisi ISI Padangpanjang menyelenggarakan Pameran Skenario dan Pemutaran film dokumenter, fiksi, dan iklan layanan masyarakat sebagai bentuk agenda ujian akhir mahasiswa Jurusan Televisi. Nilai-nilai budaya, sejarah, dan kritik terhadap eksploitasi manusia (anak) menjadi sumber inspirasi utama dalam karya-karya yang mereka ciptakan.
Tiga jenis skenario yang dipamerkan dalam acara tersebut adalah: skenario film berjudul Jadul karya Novalina, Mak Tambaro karya Riri Irma Suryani, dan Koordinat  4820 karya Indah Susanti. Skenario film Jadul karya Novalina menceritakan tentang kisah seorang Sumando dari Jawa yang hidup dalam kultur Minangkabau. Skenario film Mak Tambaro karya Riri Irma Suryani, bercerita tentang implikasi jemputan dalam adat di Minangkabau. Sementara, skenario film berjudul Koordinat 4820 menceritakan tentang misi penyelamatan orang hilang dalam pendakian di gunung Singgalang.
Secara umum, tiga skenario yang dipamerkan nampak menghadirkan berbagai ‘bias’ terhadap fenomena kultur (Minangkabau) sebagai latar cerita. Jika Mak Tambaro hadir sebagai bentuk ‘gugatan’ terhadap keberadaan jemputan yang acapkali mereduksi kekerabatan sosial di Pariaman, maka Jadul diwujudkan  sebagai  pikiran kritis sang penulis terhadap ketimpangan sistem matrilineal di Minangkabau, tentu saja dalam sudut pandang yang ‘radikal’ dari seorang sumando urban (Jawa). Begitupun dengan Koordinat 8420, Indah Susanti nampaknya mencoba memotret prilaku anak muda Minangkabau yang melakukan perlawanan terhadap kondisi keluarga yang broken home. Hutan dan lereng gunung tiba-tiba menjadi tempat yang nyaman untuk melampiaskan perlawanan tersebut, meskipun resiko yang dihadapi justru merunyamkan persoalan.
Menelusuri konflik-konflik yang terdapat dalam tiga skenario tersebut, Nampak para penulis sudah berhasil mempertimbangkan struktur dramatik dalam rajutan alurnya. Penuturan konflik, juga sangat mempertimbang montage dan unsure-unsur videografi secara maksimal, sayang sekali penanda-penanda kultur tampak masih dieksplorasi secara global. Berbagai logika cerita, seringkali juga diterabas sehingga prilaku-prilaku yang muncul dalam dinamika karakter tampak terkesan ‘dipaksakan’. Pun begitu, tiga penulis skenario tersebut nampak mulai membekali semangat otokrtik pada tempat di mana ia berpijak secara ‘cerdas’ dan terkemas.
Terdapat tujuh karya yang menarik untuk diapresiasi dalam ajang tersebut yaitu: karya film berjudul Generasi Televisi oleh Edison, film dokumenter berjudul Pai ka Tampek karya Watnel Fitria, film fiksi berjudul Anak Pohon karya Depri Apriandi, film berjudul Ratapan Ibu sebuah Tugu karya Saufal Hadi, film dokumenter berjudul Tari Piring Suluah karya Dilmei Putra, film dokumenter berjudul Silek Pauah karya Toni Melza, dan penayangan tiga buah iklan layanan Masyarakat dengan tema Stop Ekspoitasi Anak karya Nurul Afdal Fitra.
Tiga karya film menonjol yang dapat dikedepankan di sini antara lain Anak Pohon karya Depri Apriandi, film Ratapan Ibu Sebuah Tugu karya Saupal Hadi dan tiga iklan layanan masyarakat dengan tema Stop Eksploitasi Anak karya Nurul Afdal Fitra. Anak Pohon karya Depri Apriandi menceritakan tentang seorang perempuan idiot (Ema) yang memiliki seorang anak (Son) di luar nikah. Konflik dalam lakon ini digentingkan secara runtut melalui kehadiran seorang perempuan (Susi) yang pernah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung perempuan idiot tersebut. Di akhir cerita, film ini menampilkan penyelesaian konflik secara mengejutkan, karena ternyata yang menghamili perempuan idiot tersebut adalah suami dari Susi sendiri. Jalinan konflik dalam film ini dituturkan secara logis, gambar-gambar dihadirkan secara filmis, alunan musik-pun diperdengarkan dengan sangat menyayat hati. Seluruh jalinan cerita mengalir secara ironis tanpa terkesan mendayu-dayu. Film ini semakin lengkap karena ditunjang oleh keaktoran para pemeran secara maksimal. Sayang sekali, casting para aktor yang tergolong masih muda, belum mampu memperlihatkan gambaran karakter secara fisik yang pas dengan tokoh di dalam cerita.
Film Ratapan Ibu Sebuah Tugu karya Saupal Hadi menceritakan tentang seorang nenek yang ditinggal suaminya yang gugur di masa perjuangan kemerdekaan. Nenek tersebut akhirnya dipertemukan dengan seorang anak nakal bernama Badu, ketika anak tersebut tengah mengejar layangan putus yang tersangkut di pohon depan rumahnya. Melalui cerita nenek tersebut, Badu akhirnya menyadari kenakalannya dan lahir kembali sebagai anak yang secara polos mencoba mengekspresikan rasa cintanya kepada tanah tumpah darah.
Tokoh-tokoh dalam Film Ratapan Ibu Sebuah Tugu terasa begitu unik dan memukau, gambar pun disajikan dengan sangat indah. Pilihan terhadap tone colour, agle kamera terlihat sangat ekslusif. Sayang sekali, tokoh-tokoh tidak diberikan ruang untuk berkembang dalam menajamkan dramatik cerita, sehingga interaksi tokoh-tokoh hanya terlihat selintas. Dialog yang dibuat minim pada akhirnya membatasi lahirnya ironi-ironi yang sesungguhnya sangat mungkin dihadirkan. Nampaknya, Saupal Hadi lebih percaya pada penonjolan bahasa gambar ketimbang kekuatan dramatik yang dimunculkan melalui dialog tokoh. Film-pun akhirnya terjebak pada landscape dokumentasi sejarah lokal. Namun demikian, film ini memang pantas mendapat apresiasi pada tingkatan gagasan atau ide  cerita.
Tiga iklan layanan masyarakat memiliki fokus pada tema eksploitasi anak sebagai komuditas untuk mendatangkan uang. Secara umum, tiga iklan tersebut dihadirkan dengan penggarapan editing yang sangat cermat dan maksimal. Metafor-metafor yang dipesankan dapat dikomunikasikan dengan baik. Bahkan, tiga sekuel iklan ini telah memenuhi kaidah spot, yakni memberikan pesan yang tajam dalam tayangan per detiknya. Sayang sekali, dalam beberapa gambar, Afdal terkesan masih sangat verbal dalam menuturkan iklannya. Pada adegan perkosaan perempuan di bawah umur misalnya, Afdal masih terkesan mengulang-ulang adegan, sehingga terlihat sedikit artifisial. Pun begitu, sentuhan iklan ini tidak hanya sanggup menyampaikan pesan, tetapi juga mampu menyajikan iklan secara artistik.
Sementara karya-karya yang lain seperti Pai ka Tampek karya Watnel Fitria, Tari Piring Suluah karya Dilmei Putra, Generasi Televisi oleh Edison dan Silek Pauah karya Toni Melza tampak memperlihatkan para kreator yang masih belum melengkapi karya-karyanya dengan gambar-gambar yang terencana secara maksimal. Narasi film yang dihadirkan, masih dodominasi oleh bahasa-bahasa verbal dan tidak tereksplorasi secara maksimal melalui bahasa gambar. Polemik obyek dokumentasi yang dihadirkan seperti dalam film dokumenter Tari Piring Suluah, Pai kaTtampek, dan Silek Pauah pun belum mengerucut secara tuntas. Bahkan dalam Generasi Televisi kecerdasan gagasan lakon yang menyoal dampak televisi justru terjebak pada bombase cerita yang terkesan sangat menggurui. Alhasil, karya film ini malah memperlihatkan gagasan yang justru mereduksi dan memiskinkan unsur-unsur film yang lain seperti kekuatan konflik, dinamika gambar, tampilan akting para pemeran di dalam film tersebut.
Di luar berbagai hal di atas, pameran dan pemutaran film oleh mahasiswa televisi ini tampaknya telah memberikan stimuluis besar terhadap para pembuat film, pemerhati film bahkan penonton awam sekali pun sebagai lecutan kreativitas. Hal ini penting untuk menjadikan Ranah Minang sebagai subjek maupun objek penciptaan film, yang akhir-akhir ini, terutama untuk jenis film-film Independen (lewat ajang Jiffest, festival confident, SCTV Award, festival Film Palembang, Festival Film Mahasiswa Nasional) ternyata telah diperhitungkan secara nasional. Lewat pameran dan pemutaran film ini, telah terbaca talenta-talenta muda, yang bisa jadi akan menyuburkan iklim perfilman daerah maupun nasional.